Para murid kelas 11E beserta murid kelas lainnya yang tertarik dengan hukuman Muslim, berkumpul di dekat Bilik 7. Mereka mengambil jarak dari ruangan tersebut, berdiri sekitar 10 meter jauhnya dari bibir pintu bilik. Hanya Moll Dryer II yang berani mengantarkan Muslim tepat di depan gerbangnya. Sebegitu menakutkannya ruangan itu sehingga tidak ada satupun murid yang berani mendekati. Mereka hanya berdiri dan berani melihat dari jarak sekian meter saja.
Cynthia kemudian tiba, terlihat membelah kerumunan untuk menuju ke depan, ingin menyaksikan langsung bagaimana teman-teman sekelasnya menghukum Muslim. Di tempatnya berdiri saat ini, Cynthia menatap Muslim dengan tatapan angkuh seorang wanita yang merasa telah menang. Entah merasa menang dari apa. Dari ego dan keangkuhannya tentu saja.
Kerumunan semakin bertambah sesak dengan lebih banyak lagi murid yang datang ingin menyaksikan peristiwa langka tersebut saking penasarannya. Si kembar Lana Lani juga terlihat berada diantara kerumunan. Mereka berdua menatap Muslim dengan rasa kasihan. "Itu anak baru nasibnya ngenes amat ya." Gumam Lana.
"Iya, baru sehari sekolah disini, sudah dihukum." Sahut Lani. "Tapi dari yang kudengar, ia dihukum oleh para murid 11E karena pemuda itu terang-terangan sudah menghina Grade C."
"Apa? Itu artinya dia memang pantas dihukum!" Lana menarik kembali empatinya terhadap Muslim. Mengingat Lana memang salah satu fans berat Grade C.
Kejadian itu juga diliput oleh media televisi mandiri milik sekolah Jati Harapan, JH News dari JH Channel. Sebagai sekolah swasta yang terbilang bonafit, Jati Harapan memang agak berbeda dengan sekolah swasta lainnya. Mereka menerapkan kemandirian dan struktur sosialisasi simulasi kehidupan nyata layaknya kurikulum sekolah di Amerika yang menyediakan kanal televisi khusus sekolah bagi wadah dan sumber aspirasi serta informasi para murid disana. Kameramen bernama Anto sekaligus reporter siswi bernama Nadia meliput secara langsung kejadian Muslim yang hendak dikurung di bilik paling menyeramkan di sekolah mereka.
Di jam istirahat, semua mata di setiap kelas menyaksikan proses hukuman itu lewat televisi LED layar datar yang tergantung di bagian depan ruangan kelas mereka masing-masing. Para murid di sekolah itu sangat antusias menyaksikan siaran langsung tersebut.
Pembaca berita JH News, Nada dan Nadi, memandu acara berita dari ruangan studio mereka. Nada, seorang siswi murah senyum berambut sebahu, dan Nadi yang berkulit agak keling dengan rambut agak keriting, menemaninya membawakan acara harian JH News.
"Nadia, bagaimana kelanjutan dari di hukumnya salah satu murid 11E tersebut?" tanya Nadi. "Dari yang kami dengar, pemuda itu merupakan murid baru ya?"
"Ya, benar sekali saudara Nadi. Dia merupakan murid baru di kelas 11E yang baru saja masuk pada hari ini. Dari informasi yang kami dapatkan, para murid 11E menghukum murid tersebut dikarenakan ia telah menghina Grade C. Entah hinaan yang seperti apa," Nadia selaku reporter lapangan melaporkan langsung dari tempat kejadian.
"Lalu bagaimana perkembangannya disitu?" tanya Nada.
"Kalian semua bisa melihatnya sendiri, murid itu sudah hendak dimasukan ke dalam bilik tersebut." Jawab Nadia sembari memegang sebuah Mic layaknya reporter berita sungguhan seraya tampilan televisi menyorot ke arah Muslim yang berdiri di depan pintu Bilik 7.
"Kau sudah siap?" tanya Molly, Muslim mengangguk pelan.
Molly mulai membuka gembok-gembok di pintunya yang kuncinya tadi sengaja dipinta Tony dari kantor guru. Satu persatu Molly mulai membuka kunci dari gembok di ruangan itu. Para murid yang hanya menyaksikan dari kejauhan serempak perlahan memundurkan kaki mereka dua langkah ke belakang ketika Molly membuka sepenuhnya pintu dari Bilik 7. Semua mata terbelalak, semua mulut ternganga lupa terkantup, ketika menyaksikan bagaimana Muslim bersiap akan memasuki ruangan paling angker di sekolah tersebut.
Berbagai macam ekspresi ditampilkan oleh para murid. Ada yang menggeleng, ada yang bergidik, ada yang menutup matanya, ada yang menggumamkan doa bagi yang muslim, dan ada pula yang menciptakan simbol salib ke tubuhnya bagi yang non-muslim. Sepertinya semua mata terlihat prihatin dengan nasib yang dialami oleh Ahmad Muslim saat ini.
"Bismillah," gumam Muslim mulai melangkah masuk. Para murid serempak bergidik takut.
Lana dan Lani pun terlihat menutup mata mereka dengan jari-jari tangan karena tak ingin melihat kekejaman itu. Mereka coba mengintip sesekali dari jari jemari yang diregangkan.
Muslim menoleh ke arah Molly. Dengan tersenyum kecut Molly berucap, "semoga berhasil di dalam sana." Muslim pun masuk, lalu Molly hendak menutup pintunya.
"Ruangan ini hawanya tidak mengenakan," gumam Muslim menatap ke seisi ruangan yang gelap. Hanya ada pencahayaan matahari yang menyinari di sela-sela ventilasi. "Bisakah aku mundur dari hukuman ini? Aku tak ingin menjalaninya, aku takut." Kata Muslim memohon pada Molly.
"Tidak ada jalan keluar, sudah terlambat, tak bisa mundur lagi." Kata Molly perlahan menutup pintu ruangannya. "Selamat menikmatiiii," ledeknya sembari menutup dan mengunci pintu.
"Tidak, tidak, jangaaan!" kata Muslim sok-sokan merasa ketakutan. Ketika pintunya sudah tertutup sepenuhnya, Muslim membuang napas kemudian mengubah ekspresinya. Raut wajah Muslim setelah itu ternyata begitu santai. Ia hanya tersenyum kecil. Rupanya tadi hanya aktingnya saja. Orang dengan keimanan sekelas Muslim, tidak memiliki mental takut.
"Baiklah, aku disini hanya sampai istirahat kedua saja kan?" gumam Muslim. "Setidaknya ada hikmahnya, di hari pertamaku bersekolah aku tidak harus mengikuti beberapa mata pelajaran dan bisa bersantai disini. Akan kunikmati," Muslim begitu santai tanpa rasa takut.
Berbeda dengan kerumunan para murid di luar ruangan yang mulai gaduh. Mereka bersorak sorai setelah Muslim memasuki Bilik 7. Walaupun takut, tampaknya para murid sangat menikmati dan terhibur dengan itu. Mereka semua sangat ingin melihat kelanjutannya, bagaimana nanti ketika Muslim keluar dari sana. Apa yang akan terjadi terhadap Muslim di dalam sana? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenak para murid yang sedang menyaksikan. Baik secara langsung maupun via televisi di ruangan kelas mereka.
"Yap, reporter Nadia di lapangan tadi sudah melaporkan, bahwa murid bernama Muslim itu sudah memasuki Bilik 7 seperti yang tadi kita saksikan bersama." Kata Nada. "Apa yang akan terjadi pada Muslim setelah ini? Menarik untuk kita ikuti,"
"Semua murid disini sepertinya juga sudah tak sabar untuk mengetahui bagaimana kelanjutan nasib dari murid baru itu. Aku pun menantikannya." Sahut Nadi. "Kita akan mengetahuinya setelah istirahat kedua. Katanya para murid 11E menetapkan hukumannya berakhir pada jam istirahat kedua. Kita semua akan saksikan bersama, bagaimana akhirnya."
"Benar, Nadi. Untuk sementara ini kita akan melaporkan berita lainnya, yakni masalah pelaporan kehadiran kelas 12B yang rendah dalam bulan ini yang dipermasalahkan oleh wali kelas mereka, Ibu Sumiati. Ketua kelas dari kelas tersebut juga sudah dipanggil oleh wali kelas mereka. Berita lainnya ... terkait renovasi klinik dan ruang UKS yang sudah rampung hampir 89%,"
Begitu lah berita yang disuguhkan di acara JH News dari kanal JH Channel milik sekolah sehari-hari. Sedangkan di tempat kejadian, para murid di dekat Bilik 7 mulai membubarkan diri ketika bel penyudah istirahat pertama berbunyi. Tanda mereka semua harus masuk ke kelas masing-masing. Para murid 11E mendapati Grade C juga ada di sana. Mereka dengan bangga mengatakan sudah menghukum Muslim atas apa yang ia ucapkan pada Cynthia.
"Grade C, sekarang kau bisa tenang." Kata seorang siswi bernama Mia. "Murid baru itu akan jera karena sudah menghinamu. Kami sudah memberinya pelajaran."
"Ya, Cynthia. Semoga saja dia jera lalu kemudian mulai menghormatimu sebagaimana kami semua." Sahut seorang siswa bernama Bani.
"Sudah,sudah. Bel masuk sudah berbunyi. Ayo pada masuk kelas." Pinta Tony. "Biarkan Muslim disana hingga istirahat kedua nanti. Nanti kita akan kesini lagi untuk melihatnya. Ayo semuanya pada masuk kelas. Ada kelasnya Bapak Yunus kan habis ini?"
"Ketua kelas benar. Ayo kita masuk." Kata Cynthia, masih tersenyum licik penuh kepuasan tatkala ia mengingat-ingat saat ini murid baru menyebalkan itu sedang dikurung di ruangan paling berhantu. Mungkin saat ini dia sudah ketakutan setengah mati, pikir Cynthia.
Sementara di dalam Bilik 7 yang konon katanya berhantu dan paling angker di sekolah itu, Muslim masih terlihat santai. Dia mengarahkan pandangannya ke seisi ruangan, mencoba melihat-lihat ada apa saja di dalam sana. Tak lupa ia juga haturkan salam.
"Assalamualaikum pajenengan, sanak, saya hanya hamba Allah seperti kalian, mohon numpang disini sebentar." Muslim tidak percaya setan ataupun hantu, tetapi ia masih percaya setiap tempat mungkin ada penghuni atau penunggunya. Makanya ia memberi salam sebagai adab.
Tidak ada yang istimewa di ruangan itu bagi Muslim. Layaknya ruangan kosong lainnya, Bilik 7 hanya dipenuhi oleh debu, sarang laba-laba dan sampah dedaunan yang berserakan dari pohon-pohon yang ada di lahan parkir samping sekolah yang lokasinya memang berada tepat di samping Bilik 7. Daun yang masuk lewat jendela setelah tertiup angin. Bau ruangan itu juga menyengat tak sedap. Wajarlah untuk sebuah ruangan terbengkalai tak terurus.
"Berhantu apanya," gumam Muslim. "Astagfirullah, cuman ginian doang katanya angker."
Mata Muslim lalu terarah pada tujuh buah kursi kayu kosong yang ia sadari ada di ruangan tersebut. Tujuh buah kursi yang konon merupakan tempat duduk dari para murid ghaib di Bilik 7 yang menjadi legenda di sekolah tersebut seperti yang diceritakan oleh Molly.
"Jadi ini kursi mereka? Yang katanya dihuni oleh para hantu Belanda?"
Muslim perlahan mendekati kursi-kursi tersebut.
"Assalamualaikum," Sekali lagi Muslim memberi salam.
Walau dirinya sendiri skeptis terhadap cerita-cerita mistis tentang tempat itu termasuk eksistensi hantu-hantu belanda yang Molly ceritakan, akan tetapi Muslim tetap tidak melupakan adab bertamu dimanapun ia berada termasuk memberikan salam bahkan kepada sosok-sosok yang mungkin tak terlihat oleh mata.
"Permisi, siapapun yang ada disini." Muslim menyentuh salah satu kursi. Dia ingat dalam perjalanannya tadi kemari Molly sempat memperingatkannya untuk jangan sekali-kali berani duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan ini. Silahkan duduk jika kau ingin menanggung akibatnya, ucapan Molly yang begitu diingat oleh Muslim.
Tanpa rasa takut melanggar pantangan tersebut, Muslim mencoba untuk duduk di salah satu kursi terdekat. Memang akan sangat meletihkan jika Muslim harus terus berdiri selama dua jam lebih hingga istirahat kedua akhirnya tiba.
"Bismillah." Muslim mulai mendudukkan pantatnya di kursi yang berada di depan.
Memang tidak ada yang terjadi.
Empat puluh menit pertama, Muslim duduk disana dengan tenang. Mulutnya komat kamit melafalkan dzikir dan sholawat. Bukan karena Muslim ketakutan, tapi itu memang merupakan kebiasaan Muslim sehari-hari, mau diwaktu sibuk ataupun senggang. Ia selalu menyibukkan mulut dengan dzikir pengingat kehambaan dan sholawat kepada Nabi sebagai bukti kecintaan.
Suara gesekan mulai terdengar oleh Muslim. Arah suaranya tepat berada di kursi kedua dari belakang. Muslim menoleh. Matanya terbelalak ketika sebuah kursi didapatinya bergerak-gerak.
"Astagfirullah Hal Adzim, apaan tuh!?"
Muslim sontak berdiri dan langsung menghampiri kursi yang sedang bergerak-gerak tersebut.
Setelah ia dekati dan lihat dengan seksama, seekor tikus berukuran agak besar berlari dengan sangat cepat menjauhinya. Ternyata tikus itulah penyebabnya. Kursi itu bergerak karena ada tikus yang tadi bersembunyi di sampingnya. Muslim membuang napas lega sambil mengusap-usap d**a dengan tangannya. "Astagfirullah ya Allah, cuman tikus. Kirain apaan."
Satu jam berikutnya Muslim tetap duduk tanpa adanya gangguan ataupun mengalami kejadian yang aneh-aneh. Bahkan melihat sesuatu yang menyeramkan pun tidak. Muslim mengkonfirmasi sendiri bahwa Bilik 7 yang katanya sangat angker ini hanyalah sebuah ruangan kosong biasa. Ternyata Bilik 7 tidak semenakutkan yang orang-orang kira.
"Yang namanya mitos memang mudah dipercaya dan ditelan mentah-mentah. Padahal ketakutan hanyalah alat untuk memperdaya manusia." Kata Muslim.