Muslim duduk di kursinya dengan tenang. Ini adalah kelas yang akan ia jalani selama beberapa waktu ke depan. Kedua mata Muslim memindai seisi ruangan kelas beserta wajah-wajah tengik dari para muridnya yang jumlahnya hanya 20an orang saja. Kelas dengan perlakuan sangat dingin di awal perkenalan. Tapi semua kelas juga seperti itu kan? Pikir Muslim. Biasanya seiring dengan berjalannya waktu, kelas yang tadinya dingin, menyesakkan, tidak menyenangkan dan bak neraka, akan berubah menjadi kelas yang luar biasa menyenangkan, bahkan kelas yang takkan terlupakan ketika sudah lulus sekolah pasca ujian.
Mata Muslim terhenti pada sebuah kursi kosong, bangku istimewa dan nampak berbeda. Jika semua bangku murid lain hanyalah bangku kayu biasa yang keras sebagai penyiksa p****t seperti yang juga ada di pesantren-pesantren, bangku spesial itu adalah bangku besi dengan dudukan bantalan busa empuk berlapis kulit kain berwarna merah yang halus. Siapa gerangan yang duduk disitu? Posisi kursinya tepat berada di tengah, seakan-akan memang dimaksudkan sebagai episentrum bagi kelas tersebut.
Muslim lalu dihampiri oleh dua orang murid pria. Mereka hendak menanyakan sesuatu ke Muslim. Ibu guru yang melihat itu menegur dua murid tersebut.
"Hei kalian, jangan ganggu murid baru itu!" tegur sang ibu guru.
"Nggak Bu, cuman mau menanyakan sesuatu aja padanya. Semacam sensus,"
"Baiklah, asal jangan buat keributan disini. Jam istirahat sebentar lagi juga akan berbunyi." Ucap sang guru yang lanjut memperhatikan layar ponsel yang ada di tangannya.
"Kamu, namamu Muslim kan?"
"Ya, ada apa ya...?"
"Catat!" pinta murid yang satu.
"Ini sudah dicatat."
"Namaku Tony, dan ini Ipow. Aku adalah ketua kelas 11E dan dia adalah wakil ketua kelasnya."
Rupanya dua orang itu adalah semacam dewan kelas, salah satunya adalah ketua dan wakil ketua kelas mereka. Mereka berdua hanya ingin melakukan semacam pendataan kepada Muslim, terutama pilihannya akan Grade-Gils favorit.
"Kau sudah dengar tentang Grade-Gils?"
Muslim hanya mengangguk.
"Jadi, kalau begitu, siapa gadis Grade yang kau sukai? Biar kami catat dan serahkan ke dewan OSIS untuk dibuatkan kartu identitas murid."
Apa Grade-Gils sepenting itu? Pikir Muslim tak habis pikir. Bahkan kartu identitas murid saja ternyata menyertakan kolom siapa Grade-Gils favorit mereka. Itu artinya pemujaan atau pengidolaan gadis Grade disini sudah selevel dengan peran agama sebagai identitas pribadi. Astaga, bigot macam apa yang sedang terjadi di sekolah ini? Muslim menggeleng geli. Dirinya terpaksa harus menentukan pilihan. Satu yang akan menjadi gadis Grade kesukaannya. Tapi siapa...? Dia tak bisa menjawab. Muslim bahkan belum mengenali siapa saja mereka.
Tapi apa pentingnya kenal Grade-Gils atau tidak hanya untuk memilih satu diantara mereka. Ini bukan politik atau pemilu yang harus mengenali betul-betul siapa para kandidatnya beserta keunggulan dan kelebihan mereka. Sebut asal saja lah, pikir Muslim.
"Emm ... Grade-Gils favoritku adalah ...." Muslim harus menyebutkan satu gadis Grade. Terserah lah, yang mana saja. Bagi Muslim toh ini hanya sebentuk formalitas tak biasa dari sekolah ini saja. Muslim hendak menyebutkan gadis Grade favoritnya, namun seorang murid perempuan masuk ke kelas mereka. Sesosok gadis manis berambut hitam pekat dan panjang terurai.
"Masha Allah," gumam Muslim tanpa ia sadari keluar dari mulutnya. Perhatiannya tersorot penuh ke gadis yang baru masuk ke kelas itu.
Kedua murid yang sedang mendata Muslim saling menatap. Gumaman kekaguman Muslim barusan secara jelas telah memberitahu mereka, siapa Grade-Gils favorit Muslim. Tanpa pikir panjang lagi kedua murid itu menuliskan siapa gadis Grade pilihan Muslim.
"Kita sudah tahu siapa yang ia suka. Catat!" kata sang ketua kelas.
"Maaf Bu, saya telat, soalnya tadi lagi dimintai sama Pak Hasan menggratifikasi nilai fisikanya anak-anak yang bagus untuk dibubuhi tanda-tangan saya." Ucap gadis itu. Semua murid terpukau dengan kedatangannya yang bak putri raja.
"Tidak apa-apa, kamu kan murid istimewa disini. Nggak masalah kok, silahkan duduk." kata ibu guru.
"Makasih Bu,"
Gadis itu langsung duduk di bangku istimewa beralas kulit merah yang tadi Muslim perhatikan. Itu mengejutkan Muslim, gadis ini ternyata adalah pemilik bangku istimewa di kelas mereka tersebut.
Siapa sebenarnya gadis ini? Jangan bilang dia adalah salah satu Grade-Gils? Muslim kemudian bertanya pada kedua murid yang sedang mendatanya. "Oh ya, gadis yang baru datang itu ... dia siapa?" tanya Muslim.
"Dia...?"
"Iya,"
"Dia Cynthia Rahman. Ratu kelas kami. Kebanggaan dari kelas kami. Dialah Grade C!"
"Apa? Dia gadis Grade?" celetuk Muslim.
"Ya, yang terbaik dari semua Grade-Gils." Sahut sang pendata dengan penuh kebanggaan.
Muslim mengangguk pelan seraya tersenyum simpul. Kedua murid itu lalu beranjak pergi meninggalkan Muslim untuk kembali duduk di kursi mereka masing-masing. Muslim terkejut, perasaan dia belum didata oleh mereka.
"Eh, kalian mau kemana? Kan belum didata sayanya." Kata Muslim.
"Nggak usah, nggak perlu, ucapan Masha Allah mu tadi sudah memberitahu kami, siapa Grade-Gils favoritmu. Grade C kan...?"
Sejenak Muslim terdiam, lalu mengangguk pelan mengiyakan. Tidak ada salahnya.
"Pilihan bagus! Lagipula hampir 100% murid 11E ini Grade-Gils favorit mereka adalah Cynthia, Grade C. Kalau kau punya pilihan lain. Mungkin mereka semua tidak akan bisa terima. Bisa-bisa kau habis dimangsa oleh semua murid yang ada di kelas ini."
"Itu ... terdengar menyeramkan sekali. Kelas ini isinya karnivora semua apa? Atau melegalkan kanibalisme atau semacamnya gitu?" gumam Muslim.
"Kau bisa dideportasi ke kelas lain kalau gadis Grade favoritmu berbeda dengan kami." Kata ketua kelas pelan. "Kenapa? Kau punya pilihan lain selain Grade C?"
"Emang bisa murid di deportasi ke kelas lain? Kan nggak bisa," bisik wakil ketua kelas yang tadi juga mendata Muslim.
"Tidak ... itu tidak masalah. Kalian tulis saja Grade C. Aku memang memfavoritkan Grade C kok." Muslim sepertinya menemukan celah kesempatan besar untuk suatu tugas yang sedang diembannya di sekolah itu.
Setelah itu ... alarm tanda masuknya waktu istirahat berbunyi. Ibu guru yang tadi mengajar pun pamit pada para murid lalu keluar kelas. Muslim terus menerus memperhatikan gadis bernama Cynthia tersebut yang ternyata adalah seorang Grade-Gils yang ada di kelasnya.
Di waktu istirahat, banyak murid pria yang menawarkan diri untuk melayani Cynthia seperti membawakan makanan dan minuman atau apapun yang Cynthia butuhkan. Sosok Grade C benar-benar dieluhkan bak ratu di kelas mereka. Layaknya seorang Cleopatra yang memiliki nama dan pengaruh besar. Namun semakin lama Muslim memperhatikan sosok Cynthia, Muslim semakin mengernyitkan dahi dan mengangkat tinggi-tinggi alis matanya. Dia menyadari bahwa gadis berwajah manis itu ternyata memiliki sifat yang tidak semanis parasnya. Cynthia bersikap arogan, suka membentak dan terkesan memanfaatkan gelarnya sebagai gadis Grade untuk memberdayakan orang-orang di sekitarnya demi kepentingannya sendiri. Muslim mulai tidak menyukai apa yang dilihatnya itu. Muslim pun hendak langsung memberanikan diri untuk mendekati Cynthia.
"Maaf, permisi." Kata Muslim, mendekat ke arah Cynthia. "Harusnya kamu bisa memperlakukan mereka layaknya teman. Kamu kan punya kaki, kalau butuh sesuatu, kau bisa jalan sendiri. Daripada menyuruh-nyuruh mereka," ucap Muslim dengan berani.
Semua murid disekitar Cynthia merasa terperangah dengan manuver Muslim. Alih-alih mereka tersanjung dan senang karena telah dibela oleh Muslim, para murid itu memasang ekspresi muka beringas. Seakan-akan Muslim telah melakukan suatu kesalahan. Tentu saja, Muslim telah menghina simbol kebanggaan kelas mereka dan idola mereka semua tentu saja.
"Bicara apa kau, murid baru!" kata salah seorang murid pria.
"Berani-beraninya kau mengatakan itu pada Grade C kesayangan kami?" sahut salah seorang murid wanita.
"Kau pikir kau siapa, hah? Berlaga seperti pahlawan. Kami senang dan ikhlas melayani Grade C kecintaan kami." Timpal seorang murid pria lainnya.
Cynthia menatap Muslim, lalu berdiri perlahan. Matanya tajam melihat Muslim dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Jadi, kau murid barunya disini?" kata Cynthia. "Kamu pikir ... aku sedang memanfaatkan mereka, begitu? apa itu yang kau maksudkan?" tanyanya.
Semua mata menatap Muslim dengan tatapan kesal, tak terima karena idola mereka telah terang-terangan dihina.
Astaga, aku benar-benar salah bicara, pikir Muslim. Semua tatapan ini adalah tatapan orang-orang beringas yang ingin melakukan pembantean.
Tak pernah kusangka, nasibku akan sama seperti Municiopas, seorang petani malang yang digantung karena telah menghina raja Inca dari Peru, Cecibajaoxe, pikir Muslim seraya sekali lagi menenggak air liurnya.
"Tidak, maksudku bukan begitu. Maksudku tadi ... kau harus lebih menghormati sesama teman dengan memperlakukan mereka secara setara."
"Tak perlu kau mengajariku, murid baru! Kau tahu? Aku tidak pernah meminta semua ini. Mereka lah yang dengan senang hati melakukannya untukku." Ucap Cynthia melakukan pembelaan seraya mendekat ke arah Muslim. Beberapa centi wajah mereka berdua saling berhadapan.
Tangan Cynthia menarik dan mengangkat kuat kerah baju Muslim.
Muslim sadar telah membangunkan singa betina yang tidur dengan kata-katanya barusan. Masalah yang akan menunggu Muslim jauh lebih besar. Dengan mengatakan itu, secara tidak langsung dia tidak hanya akan dimusuhi oleh semua murid di kelasnya—padahal belum sampai satu jam ia berada disana—tetapi juga akan dimusuhi oleh seluruh fans fanatik Cynthia di sekolah itu. Kabar pasti cepat menyebar.
Muslim kini dalam masalah di hari pertamanya bersekolah.