Dara tampak diam termenung di dalam kamarnya. Baru beberapa hari tinggal di istana milik Bram, ia sudah rindu dengan pekerjaannya yang otomatis ia tinggalkan tanpa kabar.
Bagaimana bisa ada kabar kalau semua akses untuk berhubungan dengan dunia luar, terputus secara tiba-tiba. Dari barang pribadinya yang tertinggal di kediaman Anton —suaminya, termasuk ponsel di dalam tas di kamarnya.
Ya, sebelum menjadi istri Anton, Dara bekerja sebagai seorang waitress di salah satu kafe. Pekerjaannya yang sebetulnya hanya melayani para pengunjung yang ingin makan atau minum, sempat membuat stigma negatif dari masyarakat di sekitar lingkungan rumahnya. Itu dikarenakan jam kerja Dara yang terkadang sampai pukul sepuluh atau sebelas malam.
Hingga ia diperistri oleh Anton, pekerjaan itu masih ia geluti sebab suaminya masih memberi ijin untuk tetap bekerja.
Hari-hari membosankan menjadi seorang istri dari lelaki setengah abad tersebut, bisa terobati ketika ia berada di dalam lingkungan kerjanya. Bertemu dengan banyak orang dari sesama karyawan, bahkan ada juga beberapa dari mereka yang merupakan p*langgan setia.
Anton seolah tak peduli dengan apa yang gadis itu lakukan, selama ia masih bisa melayani apa saja yang dirinya butuhkan ketika sedang berada di rumah, itu tak masalah buatnya.
Sungguh Dara merasa beruntung dengan hal itu. Ia bisa terhindar dari nyinyiran orang-orang yang menyangkanya sebagai seorang wanita pekerja malam. Menjadi istri Anton, membuat ia bisa lega sebab tidak lagi harus tinggal bersama kedua orang tuanya yang dengan tega membuatnya masuk ke dalam penjara seorang Anton —begitu ia pikir di awal. Tapi, setelah tinggal di rumah suaminya itu, Dara bisa beradaptasi dan menjalani perannya sebagai seorang istri dengan baik. Pembantu yang baik lebih tepatnya, sebab selama tiga bulan tinggal di rumah Anton, ia benar-benar bertugas sebagai seorang pembantu dibanding menjadi seorang istri. Tapi, itu sama sekali tidak membuat Dara sakit hati atau bersedih. Semua ia lalui dengan keikhlasan.
Menjadi penebus hutang kedua orang tuanya, minimal ia sudah membalas budi baik ibu dan ayahnya yang sudah melahirkan dan membesarkannya. Toh, kehidupan kerasnya sebelum tinggal dengan Anton, tak jauh berbeda ketika ia masih tinggal dengan kedua orang tuanya.
Menjadi anak tertua dari tiga bersaudara, tetapi sepertinya hanya dirinya yang tak pernah mendapatkan kasih sayang sebagai seorang anak. Dua adiknya lelaki selalu mendapatkan limpahan kasih sayang yang tak pernah ia rasakan. Segala hal yang dua adiknya inginkan selalu saja kedua orang tuanya turuti, hingga akhirnya mereka terlibat hutang yang banyak pada Anton, sebab selalu mencukupi segala kebutuhan mewah kedua adik lelakinya, dan malah menyerahkan dirinya sebagai alat untuk membayar hutang tersebut.
Dara akhirnya bisa sedikit bernapas lega ketika setelah hampir sebulan tinggal bersama Anton, hidupnya yang ternyata dijadikan pembantu meski awalnya dinikahi secara siri, bisa dirinya lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Ia bisa menikmati hidupnya di rumah bersamaan dengan pekerjaannya sebagai seorang waitress.
Tapi, kini semua itu seolah tak mungkin lagi bisa ia lakukan. Terpenjara dalam istana megah milik Bram, seorang lelaki yang kini memiliki dirinya, membuat kehidupan Dara hanya berada di dalam rumah itu saja.
Miris, tentu saja gadis itu berpikir demikian. Ia seperti tak memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Tuhan yang menciptakan dirinya, tetapi orang lain yang mengakui. Sungguh miris hidup seorang Dara.
Kebebasan hidupnya seperti terenggut paksa. Hari-hari menyenangkan ketika menikmati pekerjaan sebagai seorang waitress hancur sudah, terkubur dengan kesepakatan Anton yang menjadikannya jaminan pada Bram.
"Dara! Dara!" Suara dari seseorang di luar kamarnya, membuyarkan lamunannya.
"I—iya, sebentar!" sahut Dara dari dalam.
Gadis itu berjalan menuju pintu kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, ada hal apalagi yang mengharuskannya berada di luar kamar. Bukankah pekerjaan para asisten rumah itu selesai sesaat sebelum makan malam, yaitu sebelum Bram pulang.
"Iya, Bu Sita?" tanya Dara ketika dilihatnya wanita itu berdiri di depan pintu kamarnya.
"Tuan Bram sudah pulang."
Dara mengernyitkan dahinya. "Lalu?"
Kalau memang lelaki itu sudah pulang, ya, pulang saja memang apa hubungannya dengan dirinya.
"Tuan Bram sudah pulang, Dara!" Bu Sita berbicara agak keras.
"Maaf, Bu Sita, saya sudah dengar Ibu bilang kalau Tuan Bram sudah pulang, yang saya tanyakan memang kenapa kalau Tuan pulang, memang apa yang harus saya lakukan?"
Wanita itu tampak menarik napas. Ia berusaha untuk sabar menghadapi gadis yang baru beberapa Tuannya bawa itu.
"Apakah kamu sudah lupa, Dara, apa tugasmu selama di rumah ini?"
Dara terlihat berpikir. Tugasnya selama di rumah besar ini? Tentu saja ia masih ingat, yaitu membersihkan area lantai dua dan terutama kamar utama milik sang tuan. Memang apa lagi?" batinnya.
"Apakah kamu lupa dengan apa yang diucapkan oleh Tuan Bram padamu ketika di kamar?"
Kembali ia mengingat apa yang diucapkan lelaki itu padanya.
"Aku akan memintamu untuk membantu membersihkan tubuhku setiap pagi sebelum aku berangkat kerja dan saat sore atau malam hari ketika aku pulang."
Apa? Benarkah itu pekerjaannya selama di sini? Lelaki itu sungguh serius? Dara bertanya dalam hati.
"Sekarang kamu ingat?" tanya Bu Sita yang melihat ekspresi terkejut di wajah gadis di depannya.
"Maaf, Bu Sita, ehm ... apakah saya harus melakukan itu?" Dara menatap ragu-ragu dengan wajah yang terlihat malu.
Masih teringat jelas dalam bayangannya ketika lelaki itu dengan cuek melepaskan semua pakaian di depannya. Memperlihatkan tubuh atletis-nya yang begitu menggoda meski usianya yang sudah menginjak angka empat puluh tahun.
Dara tidak memungkiri, ia sendiri sempat terhipnotis tatkala melihat untuk pertama kalinya tubuh polos seorang pria. Ditambah tubuh itu sangat sayang ia lewatkan sebab bentuk dan lekukan tubuhnya yang tampak sempurna.
Dara adalah manusia normal, perempuan normal pada umumnya. Ia yang belum pernah sekalipun jatuh cinta pada lelaki mana saja meski banyak yang mendekati dan terang-terangan menyatakan perasaan padanya, tiba-tiba bisa terpesona pada wajah dan tubuh tuannya itu.
Namun, ia tak ingin membiarkan perasaan itu berkembang lebih besar. Ia sadar diri di sini statusnya hanya pembantu, mungkin saja lebih hina daripada pembantu di rumah ini. Itulah mengapa ia sebisa mungkin menghindar dari makhluk tampan tersebut.
Tapi, sebuah kecupan pagi tadi membuat ia malu untuk kembali bertemu dengan Bram. Mau bagaimana pun ia sudah bertindak kurang ajar pada lelaki itu. Bisa saja Bram marah padanya kalau ia tidak segera pergi dari dalam kamarnya dan berusaha sembunyi dari lelaki itu setelahnya. Tapi sekarang, ia harus kembali menjalankan pekerjaan yang mana ia harus selalu menahan napas agar ketegangan dalam dirinya tidak terbaca oleh lelaki dewasa itu.
"Kenapa kamu bengong, ayo cepat temui Tuan Bram!" seru Bu Sita mengejutkan Dara.
"Tapi Bu Sita, apakah tidak ada pelayan lain yang bisa menggantikan posisi saya. Saya 'kan anak baru, saya takut kalau saya berbuat kesalahan." Dara masih berusaha menghindar. Wajahnya mengiba menatap sang kepala asisten rumah tangga.
"Seandainya aku bisa, tentu aku sudah melakukannya, Dara. Sayangnya Tuan sudah menaruh hati padamu, maka sebisa mungkin aku pun berusaha membantu dan mendukungnya!" batin Bu Sita sembari menatap wajah Dara.
Gadis itu masih menunggu jawaban dan reaksi dari Bu Sita, tentu saja berharap akan jawaban yang akan membuatnya lega.
"Tidak! Ini sudah menjadi tugasmu. Jadi, tidak ada lagi alasan atau apapun juga. Sekarang aku minta kamu segera temui Tuan Bram sekarang. Aku tidak mau Tuan marah-marah karena menunggumu terlalu lama." Setelah bicara begitu, Bu Sita pergi meninggalkan Dara yang berdiri mematung di ambang pintu kamarnya.
Gadis itu termenung. Ia tak bisa lagi menghindar, mau tidak mau ia memang harus menemui lelaki itu sekarang. Entah apa lagi yang harus ia kerjakan di dalam kamar yang sangat luas tersebut. Ia hanya bisa berdoa pada Tuhan, semoga tak ada lagi insiden di mana ia harus merasakan debaran di dalam hatinya yang tiba-tiba hadir.
***