Dua minggu berlalu sejak Ruby tinggal di rumah milik Garcia, hari-harinya sungguh terasa tenang dan nyaman. Mia dan Daiya yang ditugaskan menjaga serta melayani Ruby, keduanya mengerjakan tugas mereka dengan sangat baik. Untuk pertama kalinya semenjak pengkhianatan Arslan, Ruby merasakan sebuah kedamaian. Akan tetapi, tentu saja hal itu tak memudarkan semangat Ruby untuk mendapatkan keadilan atas yang dilakukan oleh Arslan dan Nyonya Rose pada dirinya.
Garcia belum pernah datang semenjak mengantar Ruby hari itu, tetapi wanita itu akan menghubungi Ruby secara berkala sehingga komunikasi mereka berdua tetap terjalin. Setiap tiga hari sekali, seorang dokter kandungan juga akan datang untuk memeriksa Ruby. Semuanya berjalan dengan cukup baik. Ruby berharap, setidaknya itu terjadi sampai dirinya melahirkan.
Pagi itu, Ruby baru saja selesai berjalan santai di halaman rumah. Daiya langsung memberitahukan jika air hangat untuk Ruby mandi sudah disiapkan. Terkadang Ruby merasa agak sungkan pada kedua pelayan yang dipekerjakan oleh Garcia itu. Pasalnya, Ruby benar-benar dilayani bak seorang tuan putri. Padahal saat menikah dengan Arslan saja dirinya tak pernah mendapatkan pelayanan seperti ini.
"Sebenarnya, saya bisa menyiapkan air mandi sendiri, jadi tidak perlu repot-repot menyiapkannya untuk saya," ujar Ruby saat dirinya sudah berendam di dalam bathup.
"Saya dibayar oleh Nyonya Garcia untuk mengerjakan semua ini, Nona. Kalau Nona yang mengerjakannya sendiri, nanti saya dan Mia bisa kehilangan pekerjaan," sahut Daiya.
"Oh ...." Ruby tak tahu mesti menjawab apa lagi dan kehabisan kata-kata. Dia tentu tak ingin orang lain sampai kehilangan pekerjaan karena dirinya, jadi tak ada pilihan baginya selain menikmati semua pelayanan mereka.
"Baju ganti Nona sudah saya siapkan di atas tempat tidur. Kalau tidak ada lagi yang Nona butuhkan, saya permisi dulu, Nona." Daiya pamit undur diri setelah melakukan pekerjaannya.
Ruby mengangguk dan membiarkan pelayan itu berlalu. Setelah itu, dia menikmati sensasi rileks yang saat ini menjalar di sekujur tubuhnya, efek dari air hangat serta minyak aromaterapi yang digunakannya untuk berendam. Saking nyamannya, sampai-sampai Ruby terlelap dan baru terjaga kembali saat air rendamannya sudah terasa dingin.
Bergegas Ruby bangkit dan menyelesaikan mandinya. Setelah selesai berganti pakaian, giliran Mia yang menghidangkan sarapan untuknya. Hari ini, menunya adalah bubur dengan campuran daging dan sepiring salad sayuran. Bahkan dari aromanya saja sudah terasa sangat enak.
"Saya akan menyalakan televisi, supaya Nona bisa makan sambil menonton," ujar Mia.
Ruby tak melarang ataupun mengiyakan. Dia menyantap sarapannya dengan tenang, sementara Mia menyalakan televisi untuknya. Terkadang, Ruby memang sesekali menonton berita untuk mengetahui apa saja yang terjadi di luar sana.
Acara televisi yang sedang ditayangkan saat ini adalah berita pagi yang beragam. Mulai dari berita kriminal, olahraga, sampai ekonomi. Ruby masih menyantap sarapannya dalam diam, sampai kemudian seorang seporter melaporkan sebuah berita langsung dari lapangan.
Ruby yang baru saja meneguk air minum, tampak meletakkan kembali gelas di tangannya dengan ekspresi wajah yang sedikit berubah. Berita yang dilaporkan oleh reporter itu tak lain adalah berita tentang upacara pernikahan Arslan dan Gwen yang akan dilaksanakan hari itu, dan reporter itu sendiri melaporkan dari lokasi tempat bakal digelarnya pernikahan.
Tanpa sadar, tangan Ruby mengepal kuat. Rasa sakit itu kembali datang, membuat dadanya seketika terasa begitu sesak.
"Nona? Ada apa?" Mia yang menyadari perubahan raut wajah Ruby langsung bertanya.
Ruby menggeleng sambil berusaha untuk tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Apa berita tentang penemuan mayat tadi membuat Nona terkejut?" Mia mengira jika berita kriminal yang tayang tayang sebelumnya membuat Ruby syok. "Saya ganti saja siarannya ya, Nona?"
"Jangan, biarkan siaran ini saja," sahut Ruby, mencegah Mia yang hendak meraih remote tv.
"Baiklah." Meski sedikit khawatir dengan ekspresi Ruby saat ini, Mia pun tak mendebat Ruby. Dia membirakan Ruby tetap menonton siaran tersebut.
Berita tentang pernikahan Arslan dan Gwen yang akan digelar beberapa saat lagi rupanya tak hanya berakhir di situ. Begitu berita pagi selesai dan berlanjut ke acara lain, mendadak muncul breaking news yang memberitakan jika saat ini pernikahan Arslan dan Gwen sedang berlangsung. Sehebat itu sosok perempuan yang dinikahi Arslan saat ini, sehingga pernikahannya pun terus diberitakan.
Ruby menantang dirinya sendiri untuk terus menyaksikan tayangan yang menyakiti hatinya itu. Dia ingin membunuh sisa perasaan yang saat ini bisa saja masih tersimpan untuk Arslan. Inilah wajah sesungguhnya dari seorang lelaki yang selama ini begitu dia puja. Munafik dan penuh dengan tipu muslihat!
Akan tetapi, meski Ruby berusaha untuk kuat menyaksikann kenyataan itu, tetap saja air matanya jatuh. Rasanya sangat menyebalkan karena dia masih saja menangis, bahkan kini perutnya juga terasa kram.
"Nona?" Mia kembali mendekati Ruby karena mendapati wajah Ruby yang terlihat meringis.
"Nona kenapa? Ada yang sakit?" tanya Mia dengan khawatir.
"Perutku mendadak kram dan sakit–" Ruby bahkan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya karena rasa sakit itu semakin bertambah.
"Ya ampun, Nona! Nona sepertinya mau melahirkan!" Mia seketika berteriak saat melihat ada cairan yang mengalir di kedua kaki Ruby.
Ruby memegangi perutnya yang kini terasa semakin melilit sembari menggigit bibir karena menahan sakit. Dia hendak berdiri, tetapi tubuhnya seolah tak bisa digerakkan.
"Daiya! Daiya!" Mia kembali berteriak memanggiol Daiya. "Cepatlah hubungi ambulan! Nona Ruby sepertinya mau melahirkan!"
"Hah? Apa?" Daiya yang muncul dari ruang belakang tampak terkejut. "Ah, iya. Baiklah. Tunggu sebentar!"
Daiyah bergegas menghubungi ambulan, juga tak lupa memberi tahu Garcia, sementara Mia juga bergegas mengambil barang-barang keperluan Ruby untuk melahirkan--yang sebelumnya telah disiapkan.
Ruby sendiri tampak masih duduk sembari menahan rasa sakit yang semakin lama semakin menjadi. Keningnya terlihat mulai mengeluarkan keringat dingin.
"Tunggu sebentar, Nona. Ambulannya akan segera datang," ujar Mia, berusaha untuk menghibur Ruby.
Ruby mengangguk tanpa bisa mengatakan apapun. Perutnya terlalu sakit, sehingga dirinya tak bisa mengatakan apa-apa.
Tak lama kemudian, ambulan pun datang bersama dengan beberapa petugas medis. Mereka langsung membantu Ruby masuk ke dalam ambulan, lalu mereka pun meluncur menuju rumah sakit terdekat. Daiya ikut mendampingi Ruby, sedangkan Mia tetap tinggal di rumah.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Ruby terus mengerang menahan sakit. Entah kenapa, rasa sakit di perutnya terus meningkat dan seolah tak memiliki jeda.
"Sabar, Nona. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit," ujar Daiya mencoba menghibur.
"Ughhh ... Sakit sekali ...." Ruby bergumam lirih di tengah rintihannya.
"Ya, memang seperti itu rasanya orang yang mau melahirkan, Nona. Rasanya memang sakit sekali, tetapi semua rasa sakit itu akan terbayar saat nanti Nona sudah melihat wajah bayinya."
Ruby mengatup mulutnya dengan bibir yang sedikit bergetar, antara menahan sakit juga menahan tangis. Dia tak tahu apakah wajah bayinya nanti akan memberikan penghiburan untuknya. Ruby justru takut akan membenci anaknya yang tak berdosa itu hanya karena mengalir darah Arslan di tubuhnya.