Pintu rumah Salma sudah ada di depan mata. Perasaan buruknya juga sudah lenyap, malahan dia merasa semangat mengalir ke nadi dengan begitu panas. Saat masuk rumah, keadaan sepi, ibunya mungkin sudah tidur dan ayahnya belum pulang.
Jam delapan lewat.
Salma masuk kamar seperti zombie. Tas dilempar asal, sepatu tidak dilepas, juga atribut lain; dia ambruk ke kasurnya.
Masih belum ada balasan dari Raga sejak pesan terakhir dikirimkan, tapi tanda read sudah muncul. Salma berpikir apakah Raga mungkin kesal mendapat pesan semacam itu? Salma memang terlihat seperti seorang pacar yang ngambek, padahal dia bukan siapa-siapa, tapi Salma 'kan cuma penasaran.
Seingatnya Raga yang dulu tidak akan bersikap seperti ini; dia sangat lembut padanya, bahkan pada siapa pun.
Akhirnya Salma mengetik pesan lagi.
Di sini lain, Raga melirik ponsel yang tergeletak di meja makan saat dia tengah menyantap dimsum ayamnya. Sang ibu yang baru muncul dari dapur tampaknya mendengar dering pesan itu, dia membawa makanan ringan lain.
"Kemarin Salma ke sini," lapornya. Saat tidak ada balasan dari Raga, dia melanjutkan, "Nindi juga."
"Ngapain, Ma?"
"Salma balikin HP Reksi. Kok bisa HP itu sama Salma?"
Raga tidak menjawab, meraih ponselnya, kebetulan pesan yang baru masuk juga dari Salma. Ekspresinya tidak berubah saat membaca pesan itu. Dengan segera dia memasukkannya ke kantung.
"Kamu bohong ya sama Salma?"
Pertanyaan pertama belum terjawab, dan Yuli bertanya lagi, Raga masih tidak menjawab. Dia merasa semakin tidak minat untuk membahasnya.
Yuli mendesah. "Mama nggak sengaja bilang ke Salma kalau kamu udah pindah ke sini."
Ekspresi Raga akhirnya berubah. Jadi itulah sebabnya kenapa pesan Salma beberapa hari ini mulai aneh?
"Salma ketemu sama Nindi?" Raga menjawab dengan pertanyaan. Sebenarnya jawabannya sudah sangat jelas, karena kalau Nindi berkunjung, dia akan berada di sini dari pagi sampai malam demi Reksi.
"Salma cuma sebentar. Mungkin canggung karena nggak ada kamu." Yuli duduk di seberang Raga, memasang ekspresi ingin tahu. "Kata Reksi, kamu jalan sama Salma?"
Raga mengangguk.
"Apa akhirnya kamu udah buka hati?"
Raga meletakkan garpunya dan berdiri. Tapi kalimat ibunya terdengar lagi, "Apa Salma bisa nerima status kamu?"
Tangan Raga mengepal tanpa sadar, itu bukan kemarahan, tapi adalah sebuah kekesalan yang tak bisa dilampiaskannya.
Raga membuang muka. Dari posisinya, dia bisa melihat Reksi telah tertidur di karpet memeluk boneka, jadi untuk menghindari sang ibu, Raga memilih menghampiri putrinya dan mengangkatnya di lengan. Boneka di tangan Reksi tanpa sengaja jatuh dan dipungut Raga, boneka itu tidaklah besar namun asing, dia tidak ingat pernah membeli ini untuk Reksi.
Apalagi berbentuk pisang begini. Bukan seleranya.
"Itu boneka dari Salma." Sang ibu menjelaskan.
Dan Raga menanggapinya dengan senyum miring.
Cewek aneh.
Akibatnya, Salma yang jauh di sana bersin-bersin, dan ini untuk yang ketiga kali.
Mata menengok sekitar; pojok kamar, atas lemari dan jendela, lalu merasa ada yang mengawasinya. Salma ketakutan. Selimut langsung menutupi seluruh tubuhnya tanpa celah. Sialnya dia mendadak tidak bisa tidur gara-gara hal itu sampai pagi hari. Semua tulangnya linu. Remuk sudah dari ujung rambut sampai kaki.
Tapi pagi itu dia tetap tak lupa memeriksa ponselnya; masih tidak ada balasan. Saat dia akhirnya kecewa, sebuah pesan masuk;
'Sorry, gue sibuk kemarin banyak deadline.' Pukul 05.24
Salma kegirangan dan menutup mulut. Tak masalah kalau Raga masih terus bohong selama pesannya masih dibalas, itu artinya komunikasi masih terjaga. Raga pastilah punya alasan kenapa dia berbohong, Salma harus berpikir positif. Dan segera mengetik balasan.
Lelah di tubuh Salma lenyap begitu saja hari itu, dia bersenandung saat mandi bahkan sampai sarapan bersama sang ayah, sesekali tersenyum sendiri tiba-tiba. Ayahnya sampai dibuat kebingungan, berpikir mungkin anaknya baru saja kesurupan jin. Tapi Salma sendiri lebih sibuk memikirkan Raga, kali ini sepertinya Raga sudah kembali menjadi dia yang biasa, bahkan mereka berbalas pesan sampai hal-hal yang tidak penting dan topik pembicaraan mereka telah habis.
Raga sempat bertanya tentang jam kerjanya; kapan dia pulang, dan kapan jam makan siang, dengan alasan Raga bisa kembali menghubunginya di jam senggang.
Saat itu semangat yang panas dan menggebu-gebu sepertinya menular di sekitar ruangan staf di mana Salma bekerja. Karina mendorong kursi berodanya meluncur mendekat.
"Gue bisa liat semua rambut lo berdiri, bahkan rambut yang di bawah juga," celetuknya.
"Apaan sih?" Salma memutar bola mata.
Karina angkat bahu, memeriksa ponsel yang tadi sempat dia tengok saat Salma belum tiba, dan menemukan sesuatu yang menarik itu.
"Aries itu salah satu zodiak yang bucin."
Salma menoleh dan menyipitkan mata saat zodiak miliknya disebut, "Hah?"
"Aries itu bucin."
"Trus salahnya di mana?"
"Bucin itu hal yang memalukan bagi cewek." Karina mendengus. "Cewek itu harus punya harga diri, Sal."
Sedikit banyak Salma mengerti apa yang dibahas Karina, sahabatnya itu sudah dijadikan tempat sampahnya beberapa hari ini, tepat setelah Salma akhirnya memutuskan untuk mendekati Raga. Tujuan awal Salma memang ingin membuat Raga menjadi salah satu kandidat calon suami yang cocok, siapa yang menyangka kalau akhirnya sekarang dia benar-benar jatuh cinta.
Plus dikategorikan menjadi bucin.
Melihat gestur Salma dari hari ke hari, bukan hanya Karina yang menyadarinya, sepertinya seluruh divisi. Salma dikenal sebagai cewek yang cuek sama cowok, bahkan dia terkesan suka pilih-pilih, padahal dia sebenarnya tidak terlalu cantik. Kriteria Salma itu banyak dan semuanya tak masuk akal, salah satu yang diingat Karina adalah; yang menjadi cowoknya harus suka anime.
Tapi untuk sekarang bahkan Salma belum tahu apakah Raga sekurang kerjaan itu untuk menonton anime. Rasa suka kali ini tidak terbentuk karena kriteria tersebut.
Karina memegang tangannya tiba-tiba, menatap dengan serius. "Tapi apa pun jalan yang lo tempuh, gue tetep dukung kok."
"Belum sampe sejauh itu, Rin."
Raga itu orang yang sulit.
Pada langkah awalnya saja Raga sudah penuh dengan kebohongan. Apa pun yang diawali dengan kebohongan itu tidak baik, karena akan ada kebohongan lain untuk menutupi kebohongan itu. Kalau mereka akhirnya menikah (Salma memang ingin itu terjadi) tapi bagaimana hubungan mereka ke depannya?
Pikiran Salma belum sejauh itu.
"Lo suka sama duda itu?" Karina mengapit pipinya sampai mereka bertatapan. Dalam jarak sedekat ini kulit wajah Karina benar-benar halus, tidak salah kalau dia terlihat seperti remaja padahal sudah berusia 32 tahun. "Sal?"
"Raga namanya."
"Whatever." Karina memutar bola mata. "Suka apa nggak?"
"Awalnya biasa aja—"
"Suka atau nggak, Sal! Jawabannya cuma salah satu dari itu!"
Salma mengangguk. "Iya, suka, tapi—"
Karina melepaskannya. Mundur meluncur pada kursinya yang beroda. "Kalau udah suka harus dikejer sampe dapet. Tapi jangan keliatan bucin. Semangat!"
Dahi Salma berkerut tak habis pikir.
Kalimat itu bahkan terngiang sampai sore hari. Ketika pulang kerja, Salma melamun, berjalan tak tentu arah dan tanpa sadar sudah sampai di dekat rumah Raga. Tinggal beberapa langkah lagi. Dia gelagapan panik, saat ingin berbalik, kakinya malah membawanya mendekat ke rumah itu. Mengintip dari celah gerbang. Mobil Raga terparkir di depan. Artinya cowok itu masih di kota ini.
Sudah jelas, 'kan?
Tante Yuli bilang kalau Raga sudah sepenuhnya pindah kerja di sini. Tidak ada alasan untuk dia kembali. Apa ini adalah salah satu petunjuk bahwa Salma harus terus maju?
Salma mendengar suara pintu terbuka. Panik. Berbalik cepat-cepat, namun wajahnya menabrak sesuatu; yang lunak namun tegak. Dia membuka mata, melihat Raga menatapnya menunduk dari atas.
Barulah Salma sadar bahwa tingginya hanya sebatas leher Raga kalau dia tidak memakai sepatu tinggi. Lalu situasi sekarang mengingatkannya untuk kabur.
"Mau maling, ya?"
Salma mencerna pertanyaan itu. "Ha?"
Tadinya Salma berniat kabur, tapi begitu melihat Raga muncul, seharusnya dia merasa menang karena Raga akhirnya ketahuan berbohong. Begitu dia ingin memprotes, Raga memegang lengannya. "Gue teriak nih."
"Ga—"
"Maling! Maling! Ada maling!"
Suara teriakan Raga bahkan tidak keras, bola matanya mengerling, seumpama dia sedang bermain-main.
Tapi, Salma tetap panik.
"Raga! Raga, stop! Stop! Stop, Ga!"
Salma menutup mulut Raga sekuat tenaga, tangannya yang kecil cukup untuk membungkusnya sampai ke hidung. Raga menatapnya, tidak berusaha melepas tangan Salma.
Dari posisi ini Salma memerhatikan bulu mata Raga yang panjang, cowok ini ganteng banget.
"Gue bukan mau maling." Salma melepaskannya. Lalu teringat sesuatu dan memasang ekspresi tengil. "Katanya lo balik ke Bandung? Kok di sini? Kenapa bohong?"
Dari kalimat itu, Salma sengaja memancing, tapi ekspresi Raga tak terlihat bahwa dia merasa bersalah sama sekali. Sebaliknya dia menarik Salma yang masih ada di cengkeramannya.
"Lo mau bawa gue ke mana? Raga, lepasin!"
Cengkeraman Raga sama sekali tak goyah saat Salma memberontak.
Raga tidak tersenyum sama sekali saat berkata, "Mau ke rumah RT, maling harus dilaporin."
"Ragaaa, gue bukan maling."
"Lalu?"
"Gue ... gue cuma numpang lewat aja kok." Salma berkilah.
"Oh."
"Oh?"
"Mau ke mana?"
Salma menunjuk asal ke depan. "Ke sana, mau motong jalan. Duh, lepasin dulu!"
Tidak diduga Raga malah tertawa kering. "Motong jalan di jalan buntu?"
Salma mengerutkan dahi. Sudah bertahun-tahun Salma tidak ke gang rumah Raga, makanya dia tidak tahu kalau di sana sudah menjadi jalan buntu, dulu masih berupa hutan-hutan lebat.
Mampus. Salah ngomong.
Dia akhirnya pasrah. "Iya, gue ngaku. Sekarang lepasin, sakit, Ga."
Raga melepaskannya. "Ngaku maling?"
"Aish, bukan!"
Tiba-tiba Tante Yuli muncul dari pintu rumahnya, memanggil, "Raga?"
Salma menoleh. Raga juga. Tapi dia tak mengatakan apa pun, segera masuk gerbang dengan gayanya yang elegan di mata Salma. Dia tidak memedulikan saat Salma tidak bergerak di depan gerbang. Menoleh pun tidak.
"Salma? Sini masuk."
Salma sama sekali tidak menolak, memang dia mungkin akan merasa canggung, tapi ini adalah kesempatan emas jika dia bisa memanfaatkannya dengan baik. Dia masuk ke dalam dengan langkah yang girang, Raga saat itu menoleh padanya, dan dia memberinya tatapan mengejek.
Raga sudah masuk saat Salma menyapa Tante Laura, mencium tangannya. "Maaf, Tante, aku nggak bawa apa-apa."
"Aduh, memangnya kalau mau ke sini harus bawa sesuatu? Dulu, bukannya kamu sering main, minta mangga?" Tante Laura tersenyum. "Liat tuh, mangganya udah mateng. Kamu mau?"
Salma mengangguk semangat.
"Tapi aku nggak bisa manjat pohon lagi, Tant," keluhnya.
Dulu saat dia remaja, dia lumayan jago memanjat pohon, sejak kecil Salma suka sekali berkeliaran di sekitar teman-teman laki-lakinya bahkan dulu dia dikira anak yang tomboy.
Tapi sekarang Salma malah berubah sangat feminin.
"Nanti biar diambilin sama Raga, kebetulan Reksi juga mau makan mangga."
Salma menengok ke pintu. "Oh ya, Reksi mana?"
Entah kenapa ekspresi Tante Laura berubah sedikit. "Reksi lagi nggak ada, Sal."
Oh. Sama bundanya?
Itulah yang ada di pikiran Salma. Tidak ada alasan lain ke mana Reksi pergi pada jam segini, petang sudah akan tiba dalam satu jam, tidak mungkin kalau jam segini Reksi sedang bermain.
Tante Laura menyuruhnya masuk, sedangkan wanita itu segera menghilang, lalu yang muncul tak lama kemudian adalah Raga. Dia sudah memakai baju yang santai berwarna putih, dia terlihat cuek dengan celananya yang pendek selutut. Dulu Salma tidak akan peduli melihat hal ini, sekarang dia gugup, meneguk ludah.
"Mau mangga?" Raga bertanya.
"Mau banget."
Raga menghela napas. "Ya udah, ayo ke depan."
Di depan sudah ada bambu panjang yang ujungnya terdapat jaring dari kawat, benda itu yang kemudian akan membantunya mengambil mangga tanpa repot memanjat. Salma agak kecewa, dia sebenarnya ingin melihat Raga memanjat pohon. Malahan cowok itu sekarang duduk di batu, mengeluarkan rokoknya.
Salma menatapnya kebingungan.
"Katanya mau mangga?"
"Iya, ambilin dong." Salma memegang bambunya dengan dua jari. "Gue nggak bisa."
"Ambil sendirilah."
Salma terkejut. Dia merasa agak kecewa, Raga tidak terlihat main-main dengan ucapannya. Raga benar-benar angkuh. Maka Salma mengambil cepat-cepat bambu itu, mengarahkan jaringnya pada mangga secara asal, dan mereka semua berjatuhan ke bawah.
Raga bangkit. "Gimana sih? Nggak gitu caranya, Salma."
"Ya 'kan udah gue udah bilang nggak bisa," cicit Salma. Sekarang sudah jelas bahwa Raga memang tidak tertarik dengannya, cowok itu benar-benar setengah hati memperlakukannya. Ini sih jangankan jadi suami, jadi teman lagi rasanya jauh dari harapan.
Mungkin Salma akan menyerah.
Ketika sedang dalam pikirannya yang kacau, seseorang memegang tangannya yang ada di bambu, dia tersentak, menariknya secara naluriah. Ternyata itu tangan Raga.
Dengan sekejap mata, Raga mengambil beberapa buah mangga dengan cekatan, dia tak banyak bicara tapi mangga yang dihasilkan tidak rusak karena terjatuh. Berbeda dengan hasil karya Salma, semua buahnya bonyok karena terbentur semen. Dia merengut.
"Ambil plastik sana di dalem," suruh Raga. Salma dengan patuh masuk ke dalam untuk mengambil dua kantung plastik hitam dan membiarkan Raga memasukkan semua mangga itu ke sana.
Salma tidak mengatakan apa-apa. Dia berjongkok seperti orang linglung.
Sekarang semua kalimat yang harusnya dia lakukan sebagai tanda protes tak ada yang keluar satu pun. Alasan kebohongan Raga masih tidak bisa dia ketahui. Salma hanya bisa menatapnya. Memang Raga tak banyak perubahan, tapi Salma melihat adanya kumis tipis yang tumbuh di bawah hidungnya. Cowok itu sekarang berwajah keras, senyumnya yang dulu jarang sekali muncul. Dia orang yang sama sekali berbeda dengan yang biasa berbalas pesan dengannya.
Apalagi saat mereka pertama kali bertukar nomor.
"Ini, Sal!"
"Eh?"
Raga sudah berdiri dan membersihkan celananya dari tanah. "Jangan bengong. Pohon ini ada jinnya, nanti kesambet."
Salma tersenyum geli.
Satu-satunya alasan kenapa senyum itu muncul adalah karena Raga ternyata masih ingat kalau Salma itu penakut.
Tapi hari ini dia tidak takut sama sekali kok.
"Udah gelep buruan balik, nanti diculik wewe gombel."
Lalu dia merinding.
tbc.