Hari ini, Nadira berangkat lebih awal. Cukuplah kesan pertama begitu menyedihkan, kali ini takkan terulang lagi. Pukul tujuh tiga puluh dia sampai di parkiran. Nadira berjalan santai menuju lobi. Aroma farfum yang tercium dari belakang, membuatnya berjalan lebih cepat. Saat berdiri tepat di depan lift, aroma itu tak lagi tercium. Nadira menoleh kebelakang, benar saja, tidak ada orang di sana.
Nadira melangkah keluar dari lift, dari arah yang berlawanan, terlihat Bryan mendekat. Bukan mendekat, sepertinya mereka akan berpapasan. Entah kenapa jantung Nadira berdentuman tak teratur. Ia panik, bagaimana kalau Bryan mendengar dentuman itu, memalukan.
Nadira melangkah tegang, pandangannya lurus ke depan. Aroma itu kembali tercium, dan kini semakin menjauh. Harusnya dia menyapa, atau sekedar menunduk memberi salam. Tapi semua berlalu begitu saja. Nadira tak ubahnya bagai tamu angkuh yang tak tahu tata krama.
Setelah berlalu, ia menggigit bibir dan memejamkan mata, menyadari kekonyolannya pagi ini.
Bryan masuk keruangan. Ia mengernyitkan dahi, apa tidak salah lihat? Sepagi ini dia sudah sampai? Lalu kenapa di hari pertama terlambat? Manusia aneh.
Dua jam kemudian, Nadira sudah sibuk dengan kertas yang menumpuk di meja. Sebentar lagi ia harus ke lapangan, meninjau langsung lokasi proyek. Ia sengaja berlama lama, membiarkan Lendra menunggu. Biar dia tahu seperti apa rasanya menunggu.
Lendra gelisah di mobil. Semakin lama Nadira turun, semakin gundah hatinya. Sepuluh menit telah berlalu, andai bukan Nadira, pasti akan di hubunginya, meminta segera turun. Dikencangkannya volume musik, jemarinya mengetuk-ngetuk stir mobil, tapi tidak berirama.
Keningnya basah oleh keringat, melihat Nadira mendekat. Ia bersiap menyapa. Tapi yang terjadi diluar dugaan, Nadira duduk di belakang, dia pikir supir?
Lendra melirik ke belakang melalui spion tengah. Terlihat, Nadira sibuk membuka laptop. Lendra menarik napas dalam, kemudian melaju mobil.
Tiga puluh menit berdua di dalam mobil, tidak ada yang bicara, atau sekedar saling sapa. Hanya suara musik dan lagu yang tak lelah menghibur.
"Sudah sarapan?" tanya Lendra membuka percakapan.
Nadira diam saja, bahkan seperti tak mendengar apapun. Yang benar saja, jam setengah sebelas nanya sarapan.
Lendra menarik napas, bagaimana bisa berkerjasama kalau situasinya beini? Diliriknya Nadira dari kaca spion. Gadis itu santai saja, mengutak atik laptopnya. Dua jam kemudian, mereka tiba di lokasi.
Lendra keluar, lalu membuka pintu kabin Nadira.
Santai Nadira keluar, kemudian menutup pintu.
"Lokasi ini yang akan di bangun tempat wisata dan hotel." ujar Lendra menunjuk hamparan hijau. Tak jauh dari sana, terlihat laut biru yang terbentang luas.
Nadira berjalan hendak melihat sekitar, tapi langkahnya terhenti saat Lendra memperingatkannya.
"Jangan jauh-jauh, di sini banyak ular."
Nadira menoleh, matanya tajam menatap Lendra, menyelidiki keseriusan ucapan lelaki itu.
Lendra mengangkat tangan membentuk huruf "V"
Nadira merinding, dengan langkah teratur, ia mundur.
Lendra berdehem menahan tawa, sembari mengusap hidung. Ternata gadis itu tidak setanguh yang dibayangkannya. Hanya diperingatkan begitu saja, wajahnya pucat.
"Terus ngapain di sini?!" bentak Nadira kesal.
"Aku ingin menunjukkan tempat ini padamu, ... indah bukan?"
"Terus, kalau indah kenapa?"
Lendra tergagap, tak tahu harus jawab apa.
"Balik!" sergah gadis itu sembari melangkah ke mobil.
Lendra tersenyum, kemudian masuk ke mobil. Tapi otaknya terus berpikir bagaimana menyenangkan Nadira, setidaknya mencairkan kekakuan antara mereka.
Lendra memarkir mobilnya di sebuah warung pinggir jalan.
"Kok berhenti?"
"Emang kamu nggak haus? Minum air kelapa dulu, yuk!"
Lendra turun, Nadira tak punya pilihan. Tidak mungkin menunggu di mobil, lelaki itu mencabut kuncinya.
"Pak, degannya dua, ya!"
"Baik, Den." jawab si bapak pedagang.
Nadira duduk di depan Lendra, tak ada pilihan, jika duduk sejajar, jarak mereka terlalu dekat, tentu saja Nadira ogah.
"Nad, aku minta maaf ya, atas kejadian itu. Saat itu aku belum siap. Aku terlalu takut menjadi imam buat kamu."
"Udah basi!!" ketus Nadira.
"Kamu nggak tanya alasanku kabur?"
"Emang penting?"
Nadira menatapnya sinis, entah mengapa dia enek membahas masalah itu.
Lendra tertunduk, ia tahu tidak akan mudah mendapat maaf Nadira, tapi setidaknya dia sudah mencoba.
Dua kelapa muda terhidang, masing masing mengambil bagiannya. Nadira cepat menghabiskannya, lalu mengeluarkan uang hendak membayar.
"Nad, biar aku saja!"
"Bayar yang kamu minum sendiri!"
Lendra menghela napas, saat seperti ini, dia bersyukur tidak jadi menikahi Nadira. Lelaki itu mengeluarkan dompet, lalu membayar kelapa miliknya. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan.
Sepuluh menit kemudian, mereka sampai di lokasi yang sudah mulai di bangun. Puluhan tukang sibuk melakukan pengerjaan. Lendra menyapa ramah, diikuti Nadira yang tak jauh di sampingnya.
Setelah dirasa cukup, Lendra dan Nadira kembali ke kantor pusat.
Malam ini, Dena berdandan sangat cantik. Ia memakai lingerie merah. Tubuhnya harum farfum kesukaan Lendra. Dilihatnya jam, sudah pukul sembilan, tapi Lendra belum juga kembali. Dilliriknya makanan yang mulai dingin. Lendra memang memberi kabar terlambat pulang, tapi janji, pukul delapan sudah sampai di rumah.
Malam ini, Dena ingin melayani suaminya dengan sempurna
Feelingnya buruk, kehadiran Nadira pertanda rumah tangganya terancam.
Suara mobil Lendra terdengar memasuki halaman. Dena mempersiapkan senyum terindahnya.
Lendra tertegun melihat Dena, tapi itu tidak berlangsung lama. Wanita itu langsung memghampiri.
"Mas sudah makan?"
Lendra melirik makanan di meja, mengatakan sudah, ia tak tega. Tapi kembali makan, rasanya perutnya sudah tidak muat.
Dena tersenyum, seolah bisa membaca isi kepala Lendra. Tanpa buang waktu, tangannya trampil melepaskan satu persatu kain yang menempel di tubuh suaminya. Malam itu, Lendra tak menginginkan apa pun kecuali istirahat. Tenaganya habis dikuras Dena.
Di apartemen, Nadira duduk di depan kaca jendela. Matanya menerawang jauh menembus batas. Seharian menghabiskan waktu bersama Lendra, membuatnya terhenyak.
Kenapa harus menyimpan luka? Bukankah semua manusia harus menjalankan takdirnya. Jodoh, rezeki, maut, sudah ada yang mengatur.
Dan, Dena? Bukankah sudah menerima balasan jauh sebelum dia merebut Lendra? Apa kabar wanita itu? Mengapa nekad menikah dengan Lendra? Bukankah dulu dia bercita-cita menikahi duda beranak? Lalu kenapa milih Lendra?
Nadira meremas rambut, rasanya kepalanya ingin meledak setiap kali memikirkan Dena.
Malam semakin larut, memaksa mata lelah untuk terpejam. Nyanyian malam menggulirkan waktu begitu cepat, menyentak matahari kembali terbangun.
Semburat cahaya jingga meliuk diantara celah daun. Sesekali Nadira menyipitkan mata, menghindari silau mentari. Ia berlari kecil mengitari bundaran taman. Biasanya ia berolahraga berdua dengan Rena, tapi berhubung teman kantornya itu ada janji dengan klien, Nadira terpaksa jalan sendiri.
Langkahnya melambat melihat sosok di depan, Bryan bersama gadis ABG? Bergandengan?
Nadira berbelok, menghindari papasan.
Bryan mengernyitkan dahi, dia yakin wanita tadi Nadira.
"Elsya, kamu duluan, ya. Tunggu di tempat Uti, tadi. Dedy ada urusan."
"Oke, Ded. Da..."
Elsya berlari lurus, sedangkan Bryan berbelok mengejar Nadira. Tak perlu waktu lama, posisinya sudah sejajar dengan gadis itu.
"Hai, sendiri?" sapanya
Nadira menoleh sambil terus berlari, matanya liar mencari seseorang.
"Iya, tadi Anda berdua?"
Bryan langsung berhenti mendengar pertanyaan Nadira. Keningnya mengkerut.
Nadira ikut berhenti, sesaat ia tersadar dengan pertanyaan polosnya.
"Jadi kamu sengaja menghindar?"
Tubuh Nadira menegang, sudah di duganya pertanyaan itu, pertanyaan akibat kepolosannya. Ia tergagap. Harus jawab apa? Iya? Ah, memalukan.
Bryan tersenyum, menikmati wajah panik itu. Nona Nadira konsultan tangguh, bisa panik?
Bryan sengaja membiarkan Nadira mengatasi masalahnya. Ia ingin mendengar jawaban apa yang keluar dari bibir lembab itu.
"Nggak donk, memang ingin berbelok, soalnya saya menghadap matahari, salah arah ..." Nadira ngeles, berusaha santai.
Bryan mengulum senyum, terpesona dengan sikap Nadira. Gadis itu berbeda.
Keduanya saling melempar senyum. Kemudian lanjut berjalan santai.
"Sudah surve lokasinya?"
"Sudah,"
"Ada masalah?"
"sejauh ini, tidak. Hanya masalah teknis saja. Dan saya kira itu tidak bertentangan dengan hukum. Tapi nanti saya akan pelajari lebih lanjut."
Jawab Nadira anggun.
Bryan mengangkat alis saat mata keduanya berlaga. Nadira cepat berpaling, menyembunyikan rona wajah. Ada getaran aneh yang menjalar di tubuhnya, memancing jantung berdetak lebih cepat.
Bryan berdehem.
Nadira semakin grogi. Sekuat apapun usahanya tampak santai, tetap saja aroma farfum itu membuat gerakannya kikuk.
"Dedy ..." teriak Elsa dari kejauhan.
Serempak, Bryan dan Nadira menoleh mencari suara itu. Di sudut taman, terlihat gadis remaja melambaikan tangan.
Nadira diam ditempat, ia membiarkan Bryan mempercepat langkahnya mendekati Elsya. Sadar Nadira tidak mengikutinya, lelaki itu berbalik.
Nadira menunduk, mempersilakan Bryan pergi.
"Apa Kamu keberatan kita sarapan bersama?"
Bibir Nadira mengatup, matanya membulat menatap lelaki tinggi berisi itu. Mata keduanya kembali berlaga. Tubuh Nadira panas dingin setiap kali menatap mata tajam itu.
Nadira seperti terhipnotis saat lelaki itu mengangkat alis dan melempar senyum tipis. Ia berjalan mengikuti Bryan dari belakang.
Bryan memperlambat langkahnya, mensejajarkan posisi dengan Nadira. Kini keduanya jalan beriringan.
"Bryan, siapa ini?" sapa Uti.
"Ini Nadira, Ma, konsultan hukum di kantorku."
Nadira segera menyambut tangan Uti, menundukkan kepalanya, memberi hormat.
"Oh, jadi ini yang kamu ceritakan itu?" godanya.
Kontan saja mata Bryan terbelalak, tubuhnya menegang, giginya merapat, mimik wajahnya aneh.
Nadira tercengang menatap wanita paruh baya di depannya? Benarkah Bryan membicarakan dirinya? Apa yang dia katakan?
Reflek, ia menoleh pada Bryan yang masih kikuk.
Uti mengulum senyum, menahan tawa melihat ekspresi Bryan.
Bryan syok, tidak menduga ucapan mamanya. Mana pernah dia bercerita tentang Nadira? 'Oh, mama, kenapa tega menjatuhkan martabatku? Mau ditaruh dimana muka ini' jerit Bryan dalam hati.
Elsya terkekeh melihat wajah Dedynya. Baru kali ini ia melihat ekspresi aneh itu.
"Sini, Sayang, duduk dekat mama ..."
Uti menarik lengan Nadira seolah mereka sudah kenal lama. Nadira mengangguk, mengikuti perkataan Wanita itu.
"Oh iya, kenalin ini Elsya, putri Bryan."
Sigap Nadira menyambut tangan Elsya. Remaja itu menunduk memberi hormat.
Nadira melempar senyum ramah, walau terkejut, ia tidak menampakkannya.
Matanya melirik Bryan, saat yang bersamaan, lelaki itu juga melirik. Nadira cepat berpaling, melempar tatapan ke sembarang arah.
Uti, tersenyum melihat tingkah Bryan dan Nadira, keduanya terlihat malu-malu kucing.
Bryan duduk tepat di depan Nadira sembari menungu bubur ayam pesanan. Kaki Eyang uti dan Elsya senggol-senggolan di kolong meja. Sesekali mereka cekikikan menutup mulut.
Hape Elsya berbunyi, sebuah nama muncul di layar kaca, Ineke.
Sigap Gadis remaja itu mengangkat.
"Assalammualaikum, iya Bun."
"Sedang apa?"
"Biasa, olahraga di monas. Bunda sedang apa?"
"Bunda sedang ngedesing baju pengantin. Dedy ada?"
"Ada, bentar, ya?"
Elsya menyerahkan hapenya pada Bryan.
Bryan meraihnya.
"Hem, ..." sapanya dingin, rasanya menyebalkan sekali menerima telphon itu saat ini. Memangnya tidak bisa nanti?
"Bryan, aku butuh uang!"
"Berapa?"
"sepuluh juta."
"Hem, nanti kutransfer."
Bryan menutup hape, lalu menyerahkan kembali pada Elsya. Uti mendelik, wajahnya berkerut. Selera makannya hilang.
"Uti mau kemana?" teriak Elsya.
"Mau ke toilet, perut Uti mual."
Bryan menatap ibunya sendu. Menyadari Nadira menatap dirinya lekat, Bryan menoleh. Mata tajam itu langsung melumpuhkan tatapan Nadira, gadis itu membuang tatapannya pada keramaian orang yang berlalu lalang.
Elsya, mengikiti Uti dari belakang, tak tega melihat sang Eyang, berjalan sendirian.
Nadira tak enak hati hanya berduaan dengan Bryan, apalagi setelah tahu, lelaki itu sudah berkeluarga.
"Maaf Pak Bryan, saya masih ada urusan, permisi."
Gesit, Nadira melangkah meninggalkan Bryan, lalu menghilang diantara lalu lalang pengunjung.
Bryan tak mengejar, membiarkan gadis jelita itu terbang bebas kemana dia mau. Ia sadar, tak bamyak yang bisa dia janjikan.