Beberapa hari kemudian...
Aku dapat kabar dari Mama kalau Papa saat ini sedang kritis. Mama memintaku untuk segera ke Jakarta untuk bertemu Papa. Hal pertama yang aku lakukan adalah berusaha menenangkan kepanikanku. Gimana nggak panik, mobilku saat ini sedang berada di bengkel sementara aku butuh mobil itu segera. Aku mulai mencari travel tercepat yang bisa mengantarku ke Jakarta. Namun dari beberapa travel yang terpercaya baru bisa berangkat setelah magrib. Aku mulai menghubungi Abil, Astana dan beberapa teman yang sekiranya bisa aku andalkan. Namun tak satupun dari mereka yang bisa mengantarku ke Jakarta.
Di tengah kepanikanku, ponselku berdering nyaring. Ada sederet nomor baru yang tampil di layar ponselku. Awalnya aku enggan menerima panggilan telepon itu. Tapi karena saat ini aku butuh pertolongan siapapun dan menunggu datangnya keajaiban, aku pun menerima panggilan telepon tersebut.
“Hallo?” sapaku setelah menerima panggilan telepon dari nomor asing tadi.
“Dengan Sachika?” balas orang bersuara dalam di balik speaker ponselku.
“Astana?” Aku menebak bukan tanpa alasan. Karena satu angkatan yang bertahan memanggilku dengan nama itu hanya Astana yang sok asik itu.
“Saya Bintang. Kamu di mana sekarang?”
“Pak… Pak Bintang? Kok, bisa-”
“Saya tanya kamu di mana sekarang?”
“Di kosan saya, Pak.”
“Siap-siap. Saya jemput sekarang.”
“O, oke, Pak. Tapi memangnya Pak Bintang tahu kosan saya?”
“On my way. Waktu saya datang nanti, kamu harus sudah siap,” jawab Bintang lalu panggilan telepon terputus begitu saja.
Aku buru-buru mempersiapkan diri. Membawa barang-barang pribadi yang akan aku perlukan di Jakarta. Baru saja menutup pintu kamar kosku, ponsel yang ada di dalam tasku berdering kencang. Aku mengintip dari bagian atas tasku. Melihat nomor telepon yang tadi digunakan Bintang meneleponku, aku buru-buru turun lalu berlarian keluar kosan. Aku memang belum sempat menyimpan nomor tadi ke daftar kontak karena langsung bersiap seperti yang diperintahkan oleh Bintang.
Saat ini aku berdiri di depan pintu garasi rumah kosku. Tepat ketika aku hendak mengeluarkan ponsel sebuah mobil SUV warna turquoise dengan atap mobil black berhenti tepat di hadapanku. Kaca jendela mobil gelap mobil tersebut turun secara perlahan dan memperlihatkan wajah laki-laki yang tak lain adalah Bintang mengangguk sekilas lalu mengedikkan wajah ke arah kirinya. Sepertinya dia memberikan kode padaku untuk segera masuk mobil. Tanpa pikir panjang aku segera berlari ke depan mobil dan masuk mobil dengan perasaan sungkan. Sebenarnya aku merasa nggak enak ditolong seperti ini oleh dosenku sendiri. Pikiranku sempat memikirkan hal-hal yang akan terjadi nanti kalau seandainya ada pihak yang mengenal kami berdua sedang bersama seperti ini. Namun pikiran itu sirna saat mengingat aku harus segera berada di Jakarta dan yang bisa membantuku di saat genting seperti ini cuma Bintang.
“Terima kasih atas bantuan Pak Bintang. Saya nggak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Pak Bintang ini,” ujarku canggung setelah mobil Bintang melaju sejauh beberapa puluh meter dari rumah kosku.
“Saya cuma sedang berusaha menjalankan amanah orang tua saya saja. Tadi Ayah saya telepon dan menyampaikan informasi tentang papa kamu. Lalu Ibu minta tolong saya untuk mengantar kamu ke Jakarta secepatnya. Kebetulan saya sedang free jadi saya membantu kamu semampu saya,” jelas Bintang dingin, tatapannya menatap lurus ke arah jalan raya di depan mobilnya.
“Ya tapi tetap saja, saya berhutang budi pada Pak Bintang.”
“Itu terserah kamu.”
“Pak Bintang boleh mengajukan permintaan apa pun sebagai balasan untuk kebaikan Pak Bintang hari ini.”
“Lebih baik kamu diam saja supaya tidak mengganggu konsentrasi menyetir saya.”
Aku menatap takjub sekaligus shock mendengar ucapan beliau ini. Benar-benar di luar prediksi BMKG jawabannya. Namun aku nggak punya pilihan selain menuruti ucapannya. Aku pun memilih mengisi waktuku dengan berdoa, memohon keselamatan dan kesembuhan Papa di sepanjang perjalananku ke Jakarta.
Sekitar dua jam berkendara akhirnya mobil Bintang memasuki area drop zone rumah sakit. Cowok itu menurunkan aku di depan UGD karena area itu bisa dibilang akses cepat untuk memasuki rumah sakit menuju kamar tempat Papa dirawat secara intensif. Ya benar sekali, setengah jam yang lalu Mama mengabarkan bahwa Papa tiba-tiba tidak sadarkan diri. Pihak dokter menyatakan Papa sudah koma dan harus dirawat di ICU saat itu juga.
Aku kebingungan mencari lokasi ruang ICU berada. Aku berjalan seperti orang linglung ketika keluar masuk lorong rumah sakit ini. Aku memang nggak terlalu paham seluk beluk bagian dalam rumah sakit daerah karena selama ini aku hanya mengantar Papa periksa ke bagian poli rawat jalan saja yang berada di bagian depan rumah sakit. Sementara ruang ICU lokasinya bisa dibilang cukup jauh dari poli rawat jalan.
Ketika aku sedang kebingungan di salah satu lorong rumah sakit dengan napas ngos-ngosan, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Perbuatannya itu membuat aku sampai terlonjak kaget. Dan ketika aku menoleh mendapati Bintang sedang berdiri tegap di tempatnya.
“Pak Bintang?”
“Kamu ngapain di sini?”
“Saya nyasar, Pak,” jawabku tertunduk lesu.
“Kamu mau ke ICU, kan?”
Aku mengangguk patuh seperti kerbau dicucuk hidungnya. “Saya dari tadi nggak nemu ruang ICU padahal udah ngikutin papan petunjuk,” jelasku polos.
“Lewat sini,” ujar Bintang lalu berjalan mendahuluiku. Aku segera mengikutinya dari belakang.
Bodohnya aku ternyata ruang ICU berada di samping lorong yang sedang aku lewati sebelum bertemu Bintang. Di salah satu deret kursi tunggu Mama sedang duduk dengan Tante Nita, adiknya Papa. Penampilan Mama sangat jauh dari kata baik-baik saja saat ini. Kepalanya tertunduk dalam dengan tangan menggenggam sapu tangan. Aku yakin untuk menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Ma…” Aku menegur secara perlahan. Tante Nita yang menoleh lebih dulu. Wanita itu refleks menyentuh paha Mama, seolah sedang menyampaikan keberadaanku. Dan benar saja, Mama merespon dengan mengangkat kepala dan melihatku di sini.
“Dhis, Papa…” Mama nggak sanggup melanjutkan kata-katanya. Kami berdua saling berpelukan dan menangis tersedu untuk melepas kesedihan.
Tante Nita mengajak aku dan Mama untuk duduk di kursi tunggu. Sejenak aku membiarkan Mama menumpahkan segala tangis kesedihannya di bahuku. Aku sendiri sudah tidak terlalu menangis. Aku berusaha tampil kuat di depan Mama. Padahal kalau boleh aku ingin menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sedihku ini.
“Kata Dokter gimana keadaan Papa, Ma?” tanyaku setelah Mama akhirnya bisa diajak komunikasi.
“Masih koma, Dhis. Cuma keajaiban yang bisa menolong Papa kali ini. Pihak rumah sakit hanya berusaha sebaik mungkin untuk menolong Papa. Sisanya takdir yang menentukan,” ujar Mama masih dengan air mata yang berlinang di pipinya. Tante Nita pun ikut menangis setelah mendengar penjelasan Mama.
“Semoga Papa baik-baik aja, Ma,” ujarku nggak sanggup lagi berkata-kata.
“Kamu sama siapa, Dhis?” tanya Mama setelah lebih tenang dari saat pertama melihatku.
“Sama Pak Bintang, Ma. Katanya Mama minta tolong ibunya Pak Bintang buat ngantar Gendhis ke Jakarta, ya?”
“Iya, abisnya Mama nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi,” ujar Mama lalu bangkit dari kursi stainless yang didudukinya sejak belasan menit yang lalu. Mama berjalan ke arah Bintang yang sedang duduk di deretan kursi stainless lain yang jaraknya sekitar 7 meter dari tempat dudukku.
Aku ikut bangkit dari kursi lalu mengikuti langkah Mama. “Makasih ya, Nak Bintang sudah repot-repot mengantar Gendhis ke Jakarta,” ujar Mama setelah berhenti di depan Bintang.
Bintang yang menyadari kedatangan Mama refleks berdiri dan sedikit membungkuk untuk memberi salam pada Mama sebelum merespon ucapan terima kasih dari Mama. “Kebetulan saya juga sedang tidak ada kesibukan apa-apa, Tante. Bagaimana keadaan Om Wiyata?” tanya Bintang sopan.
Bintang mengajak Mama duduk lalu mendengarkan dengan seksama ketika Mama menjelaskan kondisi Papa seperti yang tadi dijelaskan padaku. Aku hanya bisa mendengarkan dengan perasaan yang tak menentu. Papa saat ini tidak bisa dijenguk. Kalau sudah di ruang ICU hanya diperbolehkan dua orang dari keluarga pasien yang boleh masuk. Itupun ada jam-jam besuknya.
“Mama lebih baik pulang aja. Biar Gendhis di sini,” ujarku setelah Mama mengakhiri ceritanya.
“Jangan, Dhis. Mending kamu aja yang pulang. Mama biar di sini temani Papa,” ujar Mama lalu berpaling menghadap Bintang. “Saya bisa minta tolong sekali lagi pada Nak Bintang?”
“Apa itu, Tante?”
“Tolong antar Gendhis pulang ke rumah ya. Berhubung sekarang sudah malam, Nak Bintang tidur di rumah saya saja. Saya percaya pada Nak Bintang bisa menjaga Gendhis,” ujar Mama.
Bintang tiba-tiba menatapku seolah sedang meminta persetujuan dariku. Aku sendiri bingung mesti mengambil keputusan apa. Sampai pada akhirnya Bintang mengambil keputusan. “Saya antar kamu pulang sekarang,” kata Bintang.
“Tapi Gendhis masih mau di sini, Ma,” rengekku.
“Dengerin omongan Mama, Dhis. Nanti kalau ada perkembangan apa pun Mama pasti kabarin kamu.”
Aku yang sedang linglung nggak punya pilihan selain nurut sama omongan Mama. Setelah satu jam di rumah sakit aku akhirnya pamit pulang pada Mama. Dan seperti kesepakatan tadi Bintang akan kembali mengantarku pulang ke rumah.
Sekali lagi kami hanya diam sepanjang perjalanan. Namun kali ini bukan karena sungkan melainkan aku sedang malas mengobrol. Pikiranku dipenuhi dengan memikirkan kondisi Papa.
Ketika sampai di depan rumahku Bintang memintaku untuk keluar dari mobilnya lalu segera masuk rumah. Dia menolak diajak menginap seperti saran Mama. Saat kutanya dia akan tidur di mana malam ini, cowok itu nggak ngomong apa-apa. Aku yang sedang malas berdebat sama siapapun memilih mempersilakan saja dia dan keputusannya itu.
Baru saja aku masuk kamar ponselku menandakan bunyi chat masuk. Nggak cuma sekali tapi ada beberapa chat. Setelah aku periksa ternyata Abil yang mengirimiku chat.
Nabila: “Lo jadi pulang ke Jakarta sama siapa? Tadi gue lihat lo masuk Raize tosca hitam. Kayak nggak asing sama mobil itu.”
Aku bingung mesti menjelaskan apa pada Abil. Jadi aku memilih bohong soal Bintang dengan menggunakan kondisi Papa sebagai tamengnya.
Me: “Gue dijemput sodara. Papa gue koma. Sekarang ada di ICU.”
Nabila: “Ya, ampun. Tadi lo bilangnya lagi kritis. Trus lo sekarang udah di Jakarta? Sorry ya, gue nggak bisa bantu tadi. Mobil bokap lagi dipakek juga, trus kebetulan gue lagi di rumah Nini gue.”
Me: “It’s okay, Bil. Lo juga udah jelasin tadi. Gue ngerti kok. Doain yang terbaik buat bokap gue ya.”
Nabila: “Selalu, Dhis. Semoga Bokap lo diberi kesembuhan ya.”
Me: “Gue off dulu ya. Mau istirahat.”
Nabila: “Oke. Kabarin ya kalau butuh bantuan gue.”
Me: “Oke.”
Sebenarnya aku bukan sedang ingin istirahat. Hanya saja aku sedang malas berkomunikasi dengan Abil. Takut aja kalau dia masih mau melanjutkan pembahasan soal melihat mobil yang aku tebak dia pasti hapal kalau itu mobil Bintang. Aku belum bisa menjelaskan apa pun soal statusku dengan Bintang pada Abil.
~~~
^vee^