10. Bukan Rumahku

1475 Kata
GENDHIS Setelah kelas bubar Abil ngotot minta diantar ke ruang dosen. Dia mau memberikan cookies buatannya pada Bintang. Aku cukup terkejut mendengar ucapan Abil. Katanya lagi ada di luar pulau. Tapi kenapa ada di kampus? “Pak Bintang ada di kampus memangnya?” “Semalam gue chat nanya apa doi ada jadwal ke kampus apa nggak hari ini. Katanya dia di kampus hari ini tapi cuma bentaran doang. Makanya gue buru-buru mau ke ruang dosen mau kasih cookies hasil karya gue ini. Ayo, Dhis! Keburu pergi Pak Bintang-nya.” Aku yang sedang muak pada dosen satu itu tentu saja menolak dengan keras, awalnya. Namun karena Abis terus ngotot aku sedang malas berdebat akhirnya aku menuruti saja maunya Abil. “Lo tunggu sini. Jangan ke mana-mana,” ujar Abil memperingatkan aku agar tetap berdiri di depan ruang dosen sampai urusannya selesai. “Banyak mau lo!” jawabku kesal. Abil tertawa lalu masuk dengan riang. Aku dengar dia mengucap salam dan dibalas oleh beberapa dosen yang sedang ada di dalam ruangan. Selanjutnya aku nggak tahu dan juga nggak dengar apa yang terjadi di dalam sana karena kedua lubang telingaku sudah disumbat oleh earbuds. Nggak lama setelah itu tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Tentu saja aku refleks menoleh dan menarik salah satu earbuds dari telingaku. Aku membungkukkan sedikit badan saat melihat laki-laki bertubuh tegap yang kini sedang berdiri di hadapanku sambil memasang senyum geli. “Pagi, Pak Zayyan,” sapaku kemudian. “Kamu ngapain di sini?” “Lagi nunggu temen, Pak.” “Kenapa nggak duduk di kursi itu saja?” ujar Pak Zayyan menunjuk kursi panjang di samping ruang dosen. “Nggak apa-apa di sini aja, Pak.” “Kamu lagi dengerin lagu apa? Kelihatannya asyik bener.” Aku menyeringai bodoh sambil berkata, “Lagu korea, Pak. Dari boy group BTS,” sambil tersipu malu. “Wah, kamu Army ya?” tebak Pak Zayyan. “Pak Zayyan tauan aja sama ARMY,” komentarku. Pak Zayyan tertawa kecil. “Iya, tahu dari adik perempuan saya. Dia penggemar berat BTS dan menyebut dirinya ARMY,” jelas Pak Zayyan. “Bisa tuh, diajak fangirlingan,” ujarnya santai. Sedikit lupa kalau yang menjadi lawan bicaraku adalah dosen. “Fangirlingan itu seperti kumpul-kumpul trus ngobrolin kpop gitu, kan?” tanya Pak Zayyan sedikit bingung. Aku tertawa kecil melihat ekspresi Pak Zayyan. “Iya, Pak. Bener semacam itu,” jawabku. “Boleh-boleh aja. Yang penting fangirlingan-nya pas hari libur. Bagi nomor WA kamu,” ujar Pak Zayyan tiba-tiba. “Buat apa, ya, Pak?” tanyaku bingung. “Katanya mau fangirlingan. Kalau diagendakannya pas hari libur gimana saya mau ngabarin kamu,” kata Pak Zayyan menjelaskan. Aku terkesan. Tapi tiba-tiba mendadak jadi b**o. Sebenarnya aku nggak memiliki rasa khusus pada Pak Zayyan seperti Abil pada Bintang yang sampai bikin cewek itu salah tingkah setiap kali berinteraksi dengan BIntang. Tapi kalau dihadapkan pada situasi keakraban yang tiba-tiba seperti ini, kan, siapa aja juga pasti akan kikuk pada waktunya. “Gimana? Bersedia kasih nomor WA kamu?” Pak Zayyan sampai tanya lagi. “Oh, ya. Boleh-boleh aja, Pak,” jawabku sambil tersenyum kikuk. Kemudian aku menyebutkan 12 digit nomor ponselku dan Pak Zayyan mengetiknya di ponsel. “Oke, good. Nanti saya chat balik kamu. Hari ini kamu ada kelas saya?” tanya Pak Zayyan sebelum pergi. “Hari ini nggak ada, Pak. Adanya besok siang.” “Sampai ketemu besok kalau gitu,” jawab Pak Zayyan sambil tersenyum ramah. Nggak lama kemudian Bintang diikuti oleh Abil keluar dari ruang dosen. Bintang menyapa Pak Zayyan. Cowok itu menepuk pundak Pak Zayyan dengan akrab, tapi ketika tatapan kami bertemu dia langsung membuang muka. “Itu orang kenapa kelihatannya benci banget sama gue. Gue salah apa, Mama?” batinku menjerit sambil menatap kepergian Bintang. Ketika aku dan Abil berjalan beriringan menuju tempat motor Abil diparkir ponselku bergetar. Awalnya aku kira dari Pak Zayyan yang tadi bilang mau nge-chat aku balik. Tapi nyatanya aku salah. Melihat nama Bintang yang muncul di pop up notifikasi membuatku refleks berhenti melangkah demi membaca isi chatnya yang super duper menyebalkan. Mas Dosen: “Bukannya pulang ke rumah trus kerjakan tugas saya. Malah tebar pesona ke dosen muda.” “Siapa, Dhis?” tegur Abil hendak mengintip ke arah ponselku. Beruntung aku sadar dan buru-buru menyimpan ponsel ke dalam tas. “Bukan siapa-siapa,” jawabku santai sambil melanjutkan langkah. “Kalau bukan siapa-siapa kenapa kelihatan sebel gitu muka lo?” “Oh, ini ada fandom group lain yang balas komenan gue di situs penggemar kpop. Bukan sesuatu yang serius juga sebenarnya,” ujarku sambil mengibaskan tangan ke udara. Abil masih menatap penuh curiga padaku. Aku segera mengambil cara terakhir untuk menghentikan kecurigaannya. “Gimana tadi aksi nyogok cookies lo? Diterima Pak Bintang?” tanyaku sambil merangkul pundak Abil. “Diterima, sih. Tapi nggak langsung dimakan. Katanya gini, ‘oke saya terima tapi karena saya buru-buru, saya makan kue ini nanti ya’. Trus kotak isi cookies gue dimasukin ke ranselnya. Duh, moga aja itu nggak disemutin.” “Kenapa nggak lo paksa makan aja. Ambil satu trus lo jejelin ke mulutnya,” ujarku tiba-tiba kesal pada tingkah Bintang. “Kenapa jadi lo yang sewot? Yang punya cookies, kan, gue? Lagian Pak Bintang ada benernya juga. Apalagi beliau itu terkenal dosen paling sibuk. Jadi wajar kalau dia kayak yang diburu waktu,” balas Abil sambil cemberut. “Kalo sampe gue ikutin saran lo, yang ada gue akan kena blacklist selamanya dari semua mata kuliah yang dipegang Pak Bintang. Mau lo punya temen jadi mahasiswa abadi?” Aku tertawa mendengar omelan Abil yang membela Bintang sekaligus membela dirinya sendiri. “Gue nggak sewot. Canda doang, Bil. Yakali gue biarin lo ngelakuin saran sinting gue tadi,” ujarku sambil menarik batang leher Abil dengan tanganku. Kebetulan aku dan Abil memang memiliki selisih tinggi badan yang cukup kentara. Aku 165 cm, Abil 155 cm. Dan berhasil. Abil sudah lupa pada segala bentuk kekesalannya. Aku dan Abil lalu meninggalkan kampus. Dan sepanjang perjalanan pulang Abil nggak ada berhentinya nyerocos cerita tentang Bintang yang beginilah, Bintang yang begitulah. Ada seratus kali kayaknya aku dengar Abil nyebut nama Bintang. Sampai berdengung telingaku mendengar nama itu disebut. ~~ BINTANG Baru saja saya meletakkan tas ransel berisi laptop di meja, pintu kamar saya diketuk pelan. Menyusul suara Ibu yang meminta saya menemui Ayah di ruang makan ingin dan ingin makan siang bersama saya. Sebenarnya saya sangat lelah hari ini. Tapi karena Ibu terus membujuk dan memohon sejenak saya melupakan rasa lelah itu. “Sudah berapa hari kamu nggak pulang ke rumahmu, Bin?” tanya Ayah begitu saya duduk di kursi makan. “Lupa kamu kalau sudah punya rumah dan istri di dalam rumah itu?” “Aku sibuk banget, Yah. Jadi begitulah.” “Bintang! Ayah tau kamu nggak memiliki perasaan spesial pada Gendhis. Tapi sekarang gadis itu sudah menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Kamu nggak lupa sama janjimu waktu itu untuk merawat dan melindungi Gendhis, kan?” “Ayah sama Ibu itu benar-benar nggak bisa mengerti perasaanku ya? Papanya Sachika yang meninggal kenapa mesti aku yang bertanggung jawab melanjutkan tugas dan kewajiban papanya? Yang bikin perjanjian perjodohan itu kan, Ayah Ibu sama kedua orang tuanya Sachika. Aku sama sekali nggak dilibatkan di dalamnya.” Mata Ibu berkaca-kaca. Wanita itu menyentuh punggung tanganku. “Maafkan, Ibu. Kamu benar bahwa Ayah dan Ibu nggak ngerti perasaanmu. Ibu sadar kami para orang tua yang terlalu gegabah mengambil keputusan untuk mencetuskan perjanjian perjodohan antara kamu dan Gendhis, bahkan tanpa melibatkan kalian berdua di dalamnya. Ibu juga sangat menyesal sebenarnya. Tapi semuanya sudah terjadi, Nak. Gendhis sudah menjadi istri sahmu di mata agama maupun negara. Ibu mohon kamu pulang ke dia ya.” “Dia gadis yang baik, Bintang. Ayah sama Ibu tidak akan pernah menjebloskan kamu ke jurang. Jadi rasanya tidak mungkin kami menjodohkan kamu dengan gadis yang tidak baik-baik. Ayah sudah terlanjur berjanji pada Pak Wiyata untuk selalu menjaga dan melindungi Gendhis. Ayah tidak tahu lagi gimana caranya agar bisa selalu menjaga janji itu selain menikahkan kamu dengan Gendhis. Cuma kamu sosok pendamping yang dibutuhkan Gendhis agar tetap kuat menjalani kehidupan tanpa seorang ayah di sampingnya.” Saya menghela napas berat mendengar ucapan Ayah dan Ibu. Prinsip saya soal pasangan itu memang yang penting saling mengerti dan memahami, orang yang saling tidak kenal sekalipun pasti akan menjalin sebuah hubungan yang baik dan romantis suatu hari nanti. Benih cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya bila mereka sering bertemu. Tapi bukan sekarang juga. Saya masih ingin menikmati kesendirian. Saya ingin mengejar karier mengajar saya. Dan baru setelah punya kehidupan yang mapan saya akan memikirkan pernikahan. Namun mimpi-mimpi yang menurut saya bisa saya raih satu persatu itu kini seolah sudah lenyap setelah pernikahan itu tidak bisa saya hindari. Bahkan harapan untuk mendapatkan hati Geya juga ikut lenyap tak tersisa. Kini yang tersisa hanyalah rasa marah dan kecewa pada penyebab semua kekacauan yang terjadi di hidup saya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN