"Mengapa kita dikumpulkan di sini?"
Cherry mengerjap-erjapkan matanya dalam kebingungan saat ia bersama teman-teman sesama pahlawannya disuruh berkumpul di atap istana yang datar, berdiri berkerumun di bawah langit biru yang cerah.
Mereka bersepuluh hanya menuruti perintah Paul untuk berkumpul di atap, tanpa mengetahui alasan dibalik perintah tersebut, tapi yang pasti mereka sudah muak karena terlalu lama diam di sini tanpa ada kepastian. Bahkan, Paul dan Roswel masih belum datang menemui mereka.
"Sebenarnya kita akan melakukan apa di sini?" Koko merasa ada yang aneh, jadi dia bertanya saja pada teman-temannya.
Tentu saja, mereka sama herannya seperti Koko, jadi tidak ada yang bisa menjawabnya dengan tepat, termasuk juga Nico yang hanya menekan kaca matanya dalam hening.
"Tapi apa pun itu, ini tidak buruk, kan, Bro!?" ujar Jeddy dengan merangkul leher Koko dengan akrab. "Di sini kita bisa menghirup udara pagi yang segar, melihat pemandangan langit, hutan, dan laut yang mempesona! Lalu, bisa mengobrol bersama kalian! Ini menyenangkan sekali, Bro! Hahahaha!"
"Tidak semua orang pemikirannya seoptimis dirimu, Jeddy." desis Nico dengan mendelik tajam ke sosok Jeddy, menampilkan tatapannya yang begitu menindas.
"Ngomong-ngomong," Cherry kembali bersuara saat teman-temannya sedang sibuk mengobrol ria. "Bagaimana dengan kondisi ponsel kalian? Tahu, tidak? Ponsel Cherry semalam tidak bisa dinyalakan! Kayaknya rusak, deh! Soalnya, kan, kita semua sebelummya pernah tenggelam di laut!"
Sambil bilang begitu, Cherry menunjukkan ponselnya yang tampak mati, belum dinyalakan atau memang tidak bisa dinyalakan, tapi yang jelas, layarnya cuma menampilkan warna hitam yang gelap. Melihatnya, Isabella tersenyum dan mendatangi gadis mungil itu yang mukanya sedang cemberut karena bingung harus diapakan ponsel pertamanya itu.
"Tenanglah, kau tidak perlu cemberut begitu. Sini, aku pinjam sebentar," Isabella langsung mengambil ponsel milik Cherry dari genggaman pemiliknya, dia pun mengutak-atik sejenak benda itu sebelum akhirnya keluarlah cahaya terang dari layar ponsel tersebut. "Lihat? Ponselnya tidak rusak sama sekali."
Tercengang, Cherry tidak percaya ponselnya bisa hidup kembali, padahal ia yakin semalam ia sudah melakukan berbagai cara untuk menghidupkannya, tapi hasilnya tetap nihil. Lalu kenapa ketika Isabella yang melakukannya, ponselnya bisa langsung menyala terang? Cherry benar-benar tidak mengerti.
"E-Eh!?" Cherry takjub melihat kepiawaian Isabella dalam memperbaiki ponsel miliknya hingga bisa hidup dan menyala kembali seperti sedia kala. "B-Bagaimana Isabella melakukannya!? Cherry selalu gagal menyalakannya, apakah ada yang salah dari cara Cherry menghidupkannya!? Tolong jelaskan pada Cherry, Isabella!? Agar suatu saat Cherry bisa menyalakannya tanpa bantuan siapa pun! Cherry mohooooon!?"
Menyaksikan Cherry memohon-mohon pada Isabella, Naomi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Baiklah, aku akan memberitahumu," kata Isabella dengan tersenyum jahil pada Cherry, tampak ingin sedikit mengusili gadis mungil itu yang masih polos terhadap teknologi dan peralatan eletronik yang canggih. "Pertama-tama, kau harus membuat seorang laki-laki bersedia berhubungan badan denganmu, lalu, buat dia kenikmatan dengan gesekan selangkanganmu, kemudian biarkan dia memuncratkan cairan putihnya di dalam tubuhmu, setelah itu, kau akan bisa menyalakan ponselmu dengan sangat mudah, jika tiap kali benda itu rusak. Mudah, kan?"
Naomi dan teman-temannya yang lain terkaget saat mendengar saran yang diucapkan oleh Isabella pada Cherry, itu terlalu v****r dan berlebihan untuk didengar oleh gadis sekecil itu. Sementara Cherry matanya malah terlihat membesar dan berbinar-binar, menampilkan kegembiraannya karena mendapatkan pengetahuan penting dari Isabella.
"Waaaaaaaah! Jadi begitu, ya!" Cherry melompat-lompat riang di permukaan ubin dari atap istana ini, membuat teman-temannya memucat mengamati reaksi si gadis mungil yang tidak paham pada maksud dari Isabella. "Baiklah! Nanti Cherry akan melakukannya! Hihihihi! Terima kasih, Isabella! Kau baik sekali!"
Sedangkan Isabella, tentu saja hanya tersenyum tipis sambil bilang, "Oh, tidak masalah, selama bisa membantumu, itu sudah cukup," Isabella menyembunyikan rasa senangnya dalam menipu Cherry dengan mengeluarkan kata-kata yang begitu manis. "Semoga lancar, ya, Cherry. Oh, ya, kusarankan carilah laki-laki yang tampan dan gagah, agar kau bisa melakukannya tanpa rasa pahit."
"Okaaaaay! Hihihihi!"
"CHERRY!" Sontak, karena tidak tahan menyaksikan pembicaraan konyol dan penuh tipu daya, Naomi langsung melengking dan memanggil nama gadis mungil itu, sembari menunjukkan ekspresi marahnya yang sangat mengerikan, matanya membulat besar, dua alis tipisnya ditekan, bibirnya melengkung kebawah, dan napasnya menderu dengan sangat kencang. "JANGAN DENGARKAN OMONGAN ISABELLA!"
"Eh?" Terkaget, Cherry menoleh ke arah Naomi dan memiringkan kepalanya, tak mengerti. "Mengapa Naomi marah begitu? Cherry tidak nakal, kok! Cherry cuma meminta saran pada Isabella, dan Isabella memberikan sarannya pada Cherry! Sudah itu saja. Lalu, apa yang membuat Naomi begitu marah pada Cherry!?"
Di posisinya, Isabella terkikik-kikik pelan, menertawakan kebodohan dan kepolosan Cherry yang sangat parah, sampai-sampai percaya begitu saja pada semua yang ia katakan, tanpa mencerna baik-baik apakah itu benar-benar saran yang tepat atau cuma sekedar tipuan usil.
Mengabaikan pekikan Cherry pada Isabella setelah gadis mungil itu diberitahu dan disadarkan kebodohannya oleh Naomi, Nico hanya menguap dan mendongakkan kepalanya, menatapi serpihan-serpihan awan putih yang begitu lembut dan indah.
"Kau suka awan?" Colin tiba-tiba bertanya begitu setelah memperhatikan Nico yang sedang memandangi langit. "Aku juga suka awan, karena awan itu melambangkan kelembutan dan kehalusan."
Pipi-pipi Nico memerah saat Colin mendatanginya dan menggandeng lengan kanannya. "Kau tahu dari mana itu?" tanya Nico dengan gugup pada Colin.
Mengedikkan bahunya, Colin hanya tersenyum simpul dan bilang, "Entahlah, itu cuma karanganku saja, hahahaha!" Melihat Colin tertawa begitu cerianya, membuat Nico jadi ikut-ikutan tersenyum senang dan tertawa sedikit.
Hanya Colin-lah, satu-satunya orang yang dapat melunakkan sikap Nico yang begitu dingin dan angkuh.
"Membosankan sekali!" Lizzie mendengus dan melipatkan dua tangan kekarnya di depan d**a sambil kesal melihat teman-temannya yang mulai sibuk pada obrolannya masing-masing tanpa mempedulikan bahwa Paul dan Roswel masih belum datang juga. "Sebenarnya untuk apa kami dikumpulkan di sini!? Jika tidak ada maknanya, lebih baik aku berburu rusa daripada diam dan menunggu mereka tanpa kepastian seperti orang i***t!"
"Mungkin... Paul sedang membiarkan kita bersantai-santai dahulu di sini, karena mungkin saja... sesuatu yang akan kita hadapi kali ini levelnya terlalu tinggi sehingga Paul... harus menyiapkan waktu yang tepat agar kita tidak terlalu kaget mendengarnya." lirih Koko dengan suaranya yang begitu halus dan feminin, ia tersenyum lembut pada Lizzie, rambut ungu panjangnya yang terurai, terombang-ambing tertiup hembusan angin.
Lizzie cuma menatapi muka Koko dalam keheningan setelah mendengar ucapan dari lelaki cantik itu yang berusaha menenangkan hatinya yang resah dan gelisah.
"Hmmm." Abbas hanya menghela napas sambil termenung saat menyaksikan teman-temannya sedang bercanda ria di sekelilingnya.
"Hei, Abbas!" Victor menepuk pundak si lelaki bertelanjang d**a itu, yang mukanya tampak tenang dan sepi. "Kau sedang melihat apa dengan penglihatan saktimu itu? Hehe!"
Abbas tidak merespon, hanya menoleh ke wajah Victor dan kembali melamun dalam diam.
"Apa kau mengintip gadis-gadis yang sedang mandi?" tebak Victor dengan matanya yang berkilat-kilat, tampak bersemangat pada apa yang diucapkannya, membuat Abbas kembali menoleh dan memasang tampang heran pada si lelaki berambut emas tersebut.
"Kenapa kau mengira begitu?"
Akhirnya Abbas mengeluarkan suaranya yang berat, menjawab pertanyaan konyol Victor. Si Bangsawan Berambut Emas hanya terkekeh-kekeh, menertawakan omongannya sendiri.
"Tidak-tidak, aku hanya bercanda," ucap Victor seusai tertawa renyah, ia pun kembali menepuk pundak Abbas dan berkata dengan senyuman lebarnya, "Jangan menanggapinya dengan serius, oke?"
"Baiklah." Mengangguk, Abbas berhasil memahaminya.
Mendadak, terdengarlah suara langkah kaki yang begitu lembut dari satu-satunya pintu yang ada di atap, sepuluh pahlawan tersentak dan mulai memfokuskan perhatiannya pada pintu. Mereka semua penasaran pada siapa yang datang dan apa yang akan orang itu sampaikan, apakah itu Paul atau mungkin Roswel?
Ketika pintunya secara perlahan terbuka, satu-persatu dari mereka terkejut karena sesosok anak kecil laki-laki-lah yang keluar dari pintu tersebut. Lalu diikuti oleh Paul dan Roswel yang berjalan di belakang si anak laki-laki mungil tersebut.
Langkah anak laki-laki itu berhenti tepat di depan sepuluh pahlawan bimbingan Paul, anak itu memiliki kulit yang putih, tidak, bahkan terlalu putih. Helaian rambut, alis, dan bulu matanya pun begitu putih seputih s**u. Dan pakaian yang ia kenakan pun semacam jubah mungil yang juga berwarna putih.
Bahkan, warna putihnya lebih kuat dan bercahaya daripada Nico, membuat satu-persatu dari mereka takjub memperhatikan penampilan dari anak asing tersebut.
"Siapa bocah ini?" Dengan congkaknya, Lizzie bertanya pada Paul dan Roswel tanpa menanyakannya langsung pada sosok tersebut.
"Menjengkelkan." Nico kesal karena ia merasa tertekan oleh warna putih terang yang terpancar dari tubuh anak laki-laki mungil itu, yang berhasil mengalahkan keputihannya.
"Selamat pagi, cucu-cucukku dari Madelta, selamat datang dan terima kasih karena telah berhasil melalui segala hambatan dan rintangan hingga bisa berdiri tegap di pulau kecil ini. Aku ucapkan, terima kasih sebanyak-banyaknya."
Keterkejutan sepuluh pahlawan semakin meningkat saat anak laki-laki mungil yang sangat putih itu mengeluarkan suaranya yang begitu lembut, serta mengucapkan perkataan yang cukup mengundang kekagetan dan kebingungan dari para pahlawan.
Paul dan Roswel hanya berdiri diam di samping kanan dan kiri anak laki-laki mungil itu tanpa sedikit pun mengeluarkan suaranya.
"C-Cucu!?" Colin terkesiap.
"T-Tadi dia bilang cucu, kan? Pada kita?" kaget Cherry dengan terheran-heran.
"Tunggu," Memicingkan matanya, Nico mencoba mengamati lebih serius dan mengingat segala perkataan Paul sebelum mereka terjun ke lautan. "Jangan bilang kalau anak ini adalah sosok yang selalu disebut sebagai Sang Penguasa?"
Tersenyum melihat para pahlawan kebingungan, anak itu mulai berjalan lebih dekat dan lebih dekat hingga akhirnya tepat berada di hadapan Nico.
"Kamu benar, aku adalah Sang Penguasa."
Mendengarnya, Nico tercekat, Naomi terbelalak, Victor tersentak, Isabella tersenyum kikuk, Cherry terkaget, Colin memucat, Abbas terdiam, Lizzie menganga, Koko tertegun sementara Jeddy terbahak-bahak.
"Hahahaha!" Merasa mendapatkan suntikan komedi yang lucu, Jeddy malah tertawa-tawa renyah di hadapan Sang Penguasa. "Maaf-Maaf, Bro! Aku hanya tidak tahan saja saat--"
"Aku senang jika kehadiranku bisa membuat kalian bahagia," Jeddy terkaget saat Sang Penguasa tiba-tiba ada di hadapannya dengan sangat dekat. "Tapi tidak baik menertawakan seseorang yang belum kamu kenal sampai begitu berlebihan, alangkah baiknya kita sama-sama harus saling mengenal agar ke depannya...," Sang Penguasa mulai menatap satu-satu persatu muka pahlawan Madelta yang ada di sekelilingnya sambil menyunggingkan senyuman hangatnya. "... kita tidak saling menertawakan lagi seperti ini. Kalian paham?"
Akhirnya Sang Penguasa berjalan pelan, kembali ke posisinya di depan, berdiri di tengah-tengah antara Paul dan Roswel, kemudian anak mungil itu mulai memandangi wajah-wajah para pahlawan dengan senyuman lembutnya.
"Mari kita lupakan kejadian tadi dan kita mulai lagi dari awal, ya," tegas Sang Penguasa dengan tersenyum tipis, membuat kelopak matanya jadi tampak sipit. "Anak kecil berpenampilan serba putih yang ada di hadapan kalian adalah Sang Penguasa," tutur Sang Penguasa dengan sengaja mengolah kalimatnya seperti dirinya sedang memperkenalkan orang lain. "Anak kecil ini sangat senang bisa bertemu dan berhadapan dengan orang-orang hebat seperti kalian. Sangat menggembirakan saat dia mendengar bahwa kalian telah berhasil mengarungi luasnya lautan dan sampai di pulau terpencil ini.
Kedatangan kalian sangat ditunggu-tunggu oleh si anak kecil yang serba putih ini, karena kalian adalah orang-orang yang sangat spesial bagi dirinya. Masing-masing dari kalian, sangatlah berharga, dan bahkan lebih berharga dari segala yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, hadirnya kalian di pulau ini, telah membuat si anak kecil senang.
Sekarang, karena si anak kecil sudah memperkenalkan dirinya, maka sekarang, giliran kalian yang memperkenalkan diri pada si anak kecil tersebut. Boleh, ya?" pinta Sang Penguasa dengan tersenyum hangat pada para pahlawan.
Paul hanya menyimak segala yang dikatakan oleh Sang Penguasa, sebenarnya dia kesal karena harus diam dan mematung seperti ini, tapi jika dia tidak melakukannya, Sang Penguasa bisa terganggu. Sebab, sebelumnya Roswel memerintahkan Paul untuk tidak bersuara kecuali Sang Penguasa yang memintanya, jika ia melanggarnya, maka Sang Penguasa bisa marah besar.
Memajukan langkahnya, Isabella lah yang pertama memberanikan diri untuk memperkenalkan dirinya pada Sang Penguasa.
"Saya Isabella Melvana, satu-satunya pahlawan paling nakal di antara pahlawan-pahlawan lainnya," Isabella tersenyum dan membungkukkan badannya sejenak. "Senang bertemu denganmu, Kakek~"
Semua pahlawan terkejut saat Isabella sengaja mengejek Sang Penguasa dengan menyebutnya sebagai kakek-kakek, lantas suasana jadi hening dalam seketika, bahkan Paul jadi sangat jengkel melihat perempuan berambut merah itu mengusili sosok yang sangat penting di istana ini.
"Kau sangat mempesona, Isabella Melvana, terima kasih atas pujiannya. Baru kali ini ada salah satu cucuku yang memanggilku dengan sebutan 'Kakek', aku sangat senang mendengarnya."
Ternyata, Sang Penguasa malah terharu mendengar ejekan yang dilontarkan oleh Isabella, membuat si gadis bertubuh seksi itu menahan tawanya sebisa mungkin.
Pahlawan-pahlawan yang lain pun jadi terheran-heran pada Sang Penguasa yang sama sekali tidak tersinggung disebut sebagai seorang kakek.
Menyadari tatapan-tatapan heran dari pahlawan-pahlawan lainnya, Sang Penguasa pun tersenyum dan memandangi wajah-wajah mereka.