54. Magic

1154 Kata
Perjalanan mereka tak memakan banyak waktu. Begitu sampai, semua orang keluar, Anna merasa kakinya tiba-tiba gemetar. Bukan karena sakit, ingin pingsan atau apa. Hanya saja, dirinya terharu kalau Roger sudah membuatkan dirinya rumah setelah menikah. Yang seharusnya ditempati sejak beberapa hari mereka menikah, tapi Roger dengan sabar tidak memprotes dan tetap menerima dengan lapang hati saat diharuskan tinggal bersama dengan mertuanya. Ya meskipun kedua orang mertuanya, baik Irish maupun Barack tidak pernah ikut campur urusan rumah tangga mereka, tapi keinginan untuk membangun keluarga kecilnya sendiri memang menjadi impiannya. Menginginkan sebuah keluarga karena sedari kecil Roger sudah menjadi sosok yatim piatu. Karena itu saat dia dewasa, bahkan di saat belum memiliki kandidat seorang istri, rumah impiannya sudah dibangun. Dan takdir Tuhan berkata kalau dia berjodoh dengan Anna. Jadi rumah ini benar seperti impian Anna sejak kecil, yang dulu pernah Anna katakan secara asal-asalan pada Roger dan Roger masih mengingatnya sampai bertahun-tahun lamanya. Yang kemudian direalisasikan menjadi seperti ini. “Biar aku yang menggendong.” Roger langsung mengambil alih tubuh mungil Niel yang sudah lebih berisi, kemudian mempersilahkan Anna untuk membuka pintu rumahnya lebih dulu. Awalnya Anna memang memegang tas yang khusus keperluan Niel agak repot. Begitu menekan passcode yang diberitahukan Roger, Anna masuk lebih dulu ke dalam rumah yang dia impikan ini. Begitu berhasil masuk dan melihat sekelilingnya, matanya memanas, berkaca-kaca, tapi Roger yang menggendong Niel masih setia berjalan di belakang Anna, menunggu respon istri yang dicintainya ini seperti apa. Saat sampai di ruang yang Anna percayai sebagai ruang keluarga, Anna terdiam di tempat, tidak bisa melanjutkan langkahnya saat melihat potret berkuran besar. Di dalam sana ada foto waktu mereka masih kecil. Hanya Roger dan Anna. Anna yang tertawa lebar saat Roger di belakang menggelitikinya. Dan selama ini, Anna tidak pernah memiliki foto yang seperti itu. Bahkan satu pun, Anna tidak memilikinya, tapi Roger memilikinya. “Kak?” Anna menoleh dengan kedua sudut mata yang berair seperti muara sungai. Dia tidak menyangka kalau rumah yang Roger bangun memang untuk dirinya. Ada bayangan sekilas yang tiba-tiba melintas dalam kenangannya “Ini?” Roger menggeleng pelan saat melihat Anna ingin menangis. Dia hampiri istrinya ini, kemudian mencium keningnya singkat dengan posisi dirinya masih menggendong Roger. “Malah menangis?” gumamnya pelan. “Aku tidak punya foto seperti itu? Aku tidak punya sama sekali.” Tangisnya. Malah betulan menangisi fotonya. Lelaki yang memang sudah dewasa ini kembali tertawa melihat respon istrinya yang langsung menangis hanya karena melihat foto. “Kan sekarang sudah dapat satu. Sudah, jangan menangis, nanti Niel ikut menangis ya, Sayang.” Anna langsung menghapus air matanya dan memeluk Roger dari samping. “Terima kasih, Kak. Sayang, Kakak.” “Kalau ada maunya disayang-sayang.” Tawa Anna meledak saat Roger meledeknya. Dia tidak pernah menyangka kalau akan seperti ini. Bukan karena bangunannya ynag mewah, yang menghabiskan uang sampai miliaran rupiah, tapi nilai dari rumah yang Roger bangun susah payah ini. “Harusnya uangnya ditabung, Kak. Aku tidak keberatan kalau harus tinggal di rumah kecil.” Jelas Roger langsung menarik tangan Anna pelan dan meminta perempuan itu untuk duduk di sofa cream empuk yang berada di sana. “Anna dengar, urusan sandang, pangan, papan itu sudah urusan suami. Tugasmu di rumah, aku yang kerja. Kau tidak perlu bekerja keras karena memenuhi kebutuhan keluarga adalah tugas dan kewajibanku. Tapi kalaupun kau mau bekerja, biar tidak suntuk dan stress karena sendirian di rumah, kau tetap boleh melakukan apapun yang kau mau selagi itu aman untuk keselamatanmu. Di butik boleh, asal diantar. Bertemu dengan klien juga boleh, asal diantar juga. Pokoknya tidak boleh pergi sendirian. Kemanapun pergi, izin dulu seperti yang sudah-sudah. Pokoknya aku tidak mau mendapat laporan kalau kau pergi tanpa izin, tanpa pengawasan pula.” Anna yang sedari tadi memang mendengarkan dengan seksama langsung mengangguk patuh. “Eh menguap, Niel mengantuk, Na.” Perempuan bermata sayu ini melihat ke arah bayi kecil dalam gendongan Roger yang memang sudah menguap, mengucek-ucek matanya kasar dan terihat ingin menangis. Belum ada tujuh detik, Niel menangis betulan yang membuat Roger membawa Anna ke kamar utama. Ke kamar yang berada di lantai dua, di kamar yang berukuran luas dengan balkon menghadap barat, saat sore, Anna bisa sepuasnya melihat senja di sana. Begitu masuk kamar, Anna sudah tidak fokus lagi dengan sekelilingnya. Dia hanya menidurkan Niel di ranjang yang beralasan kain yang dibawa dari rumah, kemudian memberinya s**u. Bayi kecil itu sudah bisa memegang botol susunya sendiri, terlihat lucu sekali meski tetap harus dipegangi Anna. Hingga beberapa waktu berlalu, Niel tertidur sendiri. Kedua pasangan suami istri ini bersyukur sekali karena Niel tidak terlalu rewel, diberi s**u dan ditidurkan langsung terlelap. “Suka dengan rumahnya?” Roger bertanya pelan saat Anna meringkuk seraya menepuk-nepuk perut Niel pelan. Sementara Roger juga melakukan hal yang sama. Dia meringkuk menghadap Niel yang membuat mereka berakhir saling berhadapan satu sama lain. “Suka sekali.” Kata Anna pelan dengan fokus yang masih tertuju pada Niel. “Suka tapi wajahnya muram. Kenapa? Ada yang menganggu pikiranmu, Na?” Anna memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya membukanya dengan diiringi oleh helaan nafas berat. “Sudah setengah tahun, Kak.” Sekarang jadi Roger yang mengembuskan nafas berat. Dia tahu Anna khawatir tidak bisa memberikan dirinya ketrurunan meskpun di awal Roger sudah mengatakan bersedia menerima Anna apa adanya. “Kan aku sudah bilang, Na, jangan dibuat pikiran, nanti stress sendiri. Kau ingat, Jordan malah tiga tahun baru punya anak, Khris juga dua tahun. Tidak apa-apa, yang penting kan kita selalu usaha. Dikasih tidaknya itu urusan Tuhan. Kau tidak boleh memikirkan sesuatu yang bukan menjadi tanggungjwabmu.” “Tapi itu karena mereka memang menunda untuk memiliki anak dulu, ingin fokus ke pekerjaan masing-masing. Sedangkan kita kan-“ “Sayang dengar?” Roger sedikit menegakkan tubuhnya, memilih bersandar pada headboard, kemudian tangan kanannya yang bebas terulur untuk mengusap puncak kepala Anna sayang. “Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Aku tidak apa-apa sungguh. Dan kalaupun nanti kita memang tidak bisa memiliki anak, kita bisa adopsi, kan?” “Tapi aku ingin memberi keturunan untuk Kak Roger sendiri. Darah Kakak.” Roger menggeleng pelan, “kalau seandainya memang tidak bisa, tida perlu dipaksakan, Na. Kita bisa bahagia tanpa anak, kita syukuri semua apa yang Tuhan beri pada kita. Kalau kita memang ditakdirkan punya anak nanti, kita pasti punya sendiri. Sudah, kau jangan sedih terus seperti ini. Nanti kita usaha lebih giat lagi.” Anna yang mencebik langsung mengusap air matanya kasar, dia kembali melihat kea rah bayi yang mirip dengan kakaknya ini dan mengelus dadanya. “Tidur yang nyeyak sayang, aunty dan uncle mau membuatkan adik untukmu. Kau jangan menangis, ya?” Jelas saja Roger yang mendengar langsung melotot. “mau itu di sini?” tanyanya begitu saja. “Tadi katanya usaha lebih giat lagi.” Jawab Anna saking polosnya. Tawa Renyah milik Roger langsung mengudara. Anna memag ajaib dengan caranya sendiri dan Roger sangat menyayangi istrinya ini. Hari ini, esok dan seterusnya. Dia menyayangi Anna, sebesar dia menginginkan Anna sebagai pendamping hidupnya yang pertama dan terakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN