29. Long Distance Relationship (3)

2536 Kata
Berpisah itu mudah, kenangannya yang sulit dilupakan. Ya. Kalau melihat tulisan di atas, memang kebanyakan seperti itu adanya. Anna dan Roger sudah terpisah puluhan tahun. Mereka hanya punya kenangan semasa kecil. Tapi kenyataannya, kedua belah pihak tidak ada yang bisa melupakan satu sama lain. Di waktu ini, ketika Roger masih saja sibuk memperhatikan Anna seakan-akan Anna ini anak kecil seperti di masa lalu, rasanya menyenangkan. Anna bukanlah orang yang manja. Dia anak yang mandiri sejak kecil meski apapun yang dia inginkan selalu dipenuhi tanpa diminta. Dan menjadi anak orang kaya, tak pernah membuat Anna sombong. Malah, Anna terkadang ingin menjadi orang lain di keluarganya sendiri agar semua yang dia inginkan tidak dipenuhi. Anna ingin mencari jati dirinya sendiri. Perempuan mandiri itu ingin berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Anna ingin sekali memenuhi pepatah itu. Selama hidup, Anna sibuk diberi. Sibuk diberi kasih sayang, sibuk diberi kemewahan. Sibuk diberi ini itu. Anna ingin sekali-kali atau seterusnya merasakan apa itu berjuang keras untuk mendapatkan apa yang memang dia inginkan sendiri. Anna bukannya tidak bersyukur, bukan. Dia merasa kalau semua orang terlalu baik untuk dirinya yang tidak bisa membalas apa-apa kecuali doa terbaik untuk semua orang. Pemikirannya begitu sederhana, tapi sulitnya bukan main untuk diwujudkan. Karena Anna, memang sebeharga itu untuk orang-orang yang menyayanginya. Anna sangat diinginkan. Perempuan itu sangat dicintai. "Terima kasih, Kak." "Untuk apa? Aku saja belum selesai mengganti perbanmu." Roger menjawab tanpa melihat di mana Anna berada. Dia agak kesal sebenarnya dengan calon istrinya ini. Sudah besar, sudah dewasa, tapi Roger tetap menganggap kalau Anna tidak lebih dari anak kecil yang dulu selalu meminta perlindungannya. Mereka sama-sama merindukan satu sama lain sewaktu kecil dulu. "Kakak sampai Jakarta jam berapa tadi?" Gerakan tangan Roger terhenti begitu saja. Dia menatap iris mata Anna yang begitu indah menurutnya. Kalau Roger jawab jujur, Anna pasti memintanya untuk istirahat. Dia masih ingin menemui Anna. Ayolah, perbedaan jam antara Indonesia dan Singapura yang berbeda tujuh jam lebih awal pasti membuat jam tidur Roger berantakan. Dia memesan penerbangan pesawat paling malam karena baru tahu di waktu-waktu itu. Roger naik pesawat pukul 8 malam waktu setempat. Sementara perjalanannya kurang-lebih dua jam. Jadi Roger sampai di Jakarta pukul 10 malam masih waktu Singapura. Tapi kalau sudah diubah ke waktu Indonesia, maka ditambah tujuh jam. Jadinya kurang lebih hari berikutnya pukul 05.00 WIB Roger sampai di Jakarta. Dan saat sampai pun, dia tidak serta merta istirahat tertidur. Roger lebih memilih langsung menghampiri Jordan beserta Khris dan membahas beberapa hal. Dan sampai sekarang, sudah pukul 09.00 WIB, Roger masih setia menemani Anna. "Kakak istirahat saja kalau lelah. Aku bisa minta bantuan sama Mbak-" "Aku bisa, Na. Kenapa meremehkanku sekali? Waktu weekend, aku sempat pergi ke rumah sakit dan konsultasi dengan Dokter Ortopedi. Jadi aku tahu sedikit tentang perawatannya. Sudahlah, kau yang diam saja, biar aku yang menyelesaikan semuanya." Anna tersenyum kecil. Dia senang Roger di sini. Rasanya ada sesuatu yang mengaliri darahnya sampai detak jantungnya berkali-kali lipat. Tapi tanpa dijelaskan, Anna sudah tahu. Dia memang sedang jatuh cinta lagi dengan sosok yang memang sudah dicintainya sejak dulu. "Mau sarapan?" tanya Roger saat sudah selesai melilitkan perban lagi di tangan Anna. "Boleh, kakak mau sarapan? Biar aku-" "Tunggu di sini saja, biar aku ambilkan." Cegah Roger lebih dulu. Belum sempat protes, Roger sudah pergi lebih dulu menuju pintu luar. Anna tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk diam dan tersenyum sebisanya. Dia senang, sungguh. Di balik musibah yang menimpanya, pasti saja ada kebahagiaan yang menyertai dirinya. Karena itu Anna selalu bersyukur apapun yang terjadi. Tidak ada lima menit Anna menghitung, Roger sudah kembali ke kamarnya seraya membawa nampan berisi makanan dan meminta Anna untuk menghanpirimu di luar karena Roger merasakan udaranya segar, tidak sedingin tadi. "Na, makan di sini saja. Sudah tidak dingin. Ayo, kemari." Bak anak kecil yang patuh, Anna menurut. Dia menghampiri Roger dan duduk di meja yang memang ada di sana. Roger begitu telaten menyiapkan makanan Anna hingga Anna sendiri meringis membayangkan pernikahannya kelak. Bagaimana kalau malah Roger yang merawatnya? Harusnya Anna yang melakukan semua ini untuk Roger, bukan malah sebaliknya. "Kalau kita sudah menikah nanti, kau yang akan melakukan semua ini untukku, Na. Jangan bersedih." Kata Roger seakan betulan bisa membaca pikiran Anna. "Ayo makan. Kau tidak perlu mengunyah karena ini bubur yang tinggal menelan. Ayo." Anna tersenyum, melegakan bagi Roger yang memang berupaya menghiburnya. Ada banyak hutang yang harus Anna bayar. Dan dia akan menghitung hutangnya mulai sekarang dan berjuang keras untuk membayarnya. Sehingga apa yang menjadi hak orang lain bisa kembali pada pemiliknya lagi. Anna pastikan itu. Dia akan mengembalikan semuanya seperti sedia kala, saat semuanya baik-baik saja. Melatih tangan kanannya, Anna mencoba menggunakannya untuk menyuap makan. Roger hanya diam mengamati, tapi tatapannya jelas meminta Anna untuk hati-hati dan Anna tahu apa yang harus dia lakukan. Perlahan-lahan dia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Suapan pertama berhasil, suapan dua mulai terasa berat, suapan ketiga, Anna tersenyum lirih. "Udah ada kemajuan." Komentarnya sendiri dengan usahanya. Jujur saja, Anna sebelum-sebelum ini belum berani menggerakkan jarinya karena sering sakit. Mungkin waktu tidur tidak sengaja tersenggol atau bagaimana. Makanya masih sering sakit. Karena itu Anna memutuskan untuk mencoba perlahan-lahan. Ini sudah bentuk dari kemajuan. Besok-besok atau nanti dia akan melatih tangannya lagi secara konstan biar cepat sembuh. Tidak lupa konsultasi dengan dokter juga harus saja. Roger yang melihat Anna tersenyum ikut tersenyum. Dia bangga pada Anna. Hanya saja dia tidak perlu mengatakan. Senyuman tersiratnya sudah menjelaskan segalanya. Kemudian, Anna kembali melanjutkan makan menggunakan tangan kiri sebisanya. Roger juga makan sarapannya dalam hening. Tentu menunya dia berbeda dengan Anna. Kalau Anna masih minta bubur, Roger sudah nasi, lauk, dan seperangkatnya. Bisa-bisa dia tidak punya tenaga karena jujur, Roger lelah sekali. Dia belum sempat makan waktu pergi pagi hari ke kantor. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga mengabaikan kesehatannya sendiri. Anak muda zaman sekarang memang kebanyakan seperti itu. Mereka sering kali mengabaikan diri sendiri untuk mencapai tujuan. Tapi mereka lupa, kalau sampai tumbang di tengah jalan, apa yang dikejar mati-matian seakan tak berarti. Orang sakit tidak bisa menikmati banyak hal kecuali rasa syukur masih diberikan kesempatan untuk bernafas dengan gratis. Selesai sarapan, Roger memainkan handphonenya, dia agak menghadap arah lain agar Anna tidak merasa diamati. Roger juga paham. Dia sendiri tidak suka jika terlalu diperhatikan sampai sedetail itu, makanya Roger melakukan hal yang sama pula pada Anna karena Roger tahu yang diinginkan dan dibutuhkan oleh Anna. Sambil menunggu, Roger mengerjakan pekerjaan yang sekiranya bisa dia cicil di waktu seperti ini. Ada banyak yang harus dia kerjakan, karena itu Roger tidak bisa membuang-buang waktu dengan percuma. Karena kalau Roger leha-leha, waktunya bersama Anna akan berkurang begitu pesat. Karena itu Roger memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ya, anggap saja kalau semboyan Roger sekarang waktu adalah uang. Tapi ya kebanyakan orang penting memang menggunakan semboyan itu untuk menggali potensi pada dirinya sendiri, sejauh apa bisa melangkah. Namun apapun itu, mereka pasti menginginkan yang terbaik untuk dirinya sendiri beserta orang-orang yang menyayanginya tanpa merugikan orang lain. "Kak?" "Oh sudah?" Roger terkejut tiba-tiba Anna memanggil namanya meskipun pelan. "Sebentar." Ujarnya kemudian. Anna menggeleng. "Aku bisa sendiri. Kakak melanjutkan memeriksa laporan saja." Gelengan pelan langsung menyambut. Tapi Anna buru-buru berdiri yang langsung membuat Roger berdiri juga. "Aku saja. Tunggu di sini, sebentar." Seperti tadi terulang, Anna hanya bisa terdiam tanpa kata melihat Roger langsung pergi. Anna yang sebenarnya tidak selemah itu jadi agak terganggu dengan perlakukan Roger yang terlalu baik padanya. Masalahnya, Anna merasa terlalu dianak emaskan. Padahal tidak perlu sampai seperti itu. Kalau dimanjakan, jatuhnya Anna malah tidak sembuh-sembuh juga. Karena tangannya juga harus banyak dilatih. Dokternya juga bilang seperti itu. Tapi tetap saja orang-orang memperlakukannya bak putri bangsawan sungguhan. Tidak terkejut memang kalau keluarga Abraham. Dasarnya Anna satu-satunya putri di keluarga itu, makanya dia jadi kesayangan di mana-mana. Seraya menunggu Roger kembali, Anna memilih menghabiskan air putihnya. Dan seperti di awal, tidak ada lima belas menit, Roger sudah kembali lagi ke kamar Anna. Lebih tepatnya ke balkon karena Anna masih bertahan di sana. "Kenyang." Roger berkomentar seraya menepuk-nepuk perutnya yang terlihat berisi tapi tidak buncit. "Masakan mamamu enak sekali, Na. Aku suka dengan masakannya." "Kakak tidak mau bertanya aku bisa memasak atau tidak?" "Hm?" Kening Roger menyerngit pelan. "Memangnya aku belum pernah bertanya. Setahuku kau hanya bisa makan, Na. Kau kan tidak bisa memasak." Kata pria itu tanpa pikir panjang. "Dulu...tapi." lanjutnya kemudian. Anna tersenyum manis, lantas menjawab perkataan Roger yang Anna tahu hanya candaan. Kalau dibuat serius pun, Anna tidak masalah. Dia kan orangnya kalem, santai, tidak yang bagaimana-bagaimana. "Aku memang tidak bisa memasak, Kak." Anna memberitahu pelan. "Kakak harus siap memakan masakan mama kalau tinggal bersamaku." Senyum penuh arti yang terukir di bibir Roger menjadi hal yang menyenangkan tersendiri bagi Anna. "Kau bukannya tidak bisa memasak, Na. Tapi kau tidak boleh memasak. Jordan sudah menceritakan banyak hal, jangan coba-coba membohongiku." "Bukan seperti itu." Anna mengelak. "Kau pikir, apa karena kau tidak bisa memasak, kita tidak jadi menikah? Mimpi kau. Kau sudah kutandai. Kau tahu itu?" Anna mengangguk seadanya. "Memangnya aku bisa apa lagi?" tanyanya. "Kau hanya perlu menemaniku, Na. Sudah, itu saja. Tidak perlu melakukan hal lain lagi." "Dasar!" Anna tertawa renyah yang dibalas Roger dengan senyuman tipis. Matanya yang biasa tajam, kini terlihat lebih teduh dari biasanya. Anna menyukainya. Sangat menyukainya. Seandainya saja Roger tidak pernah pergi. Semuanya akan lebih mudah bagi Anna untuk melanjutkan segalanya. Kalau sekarang, ya tetap mudah, hanya saja banyak yang berbeda. Kepergian Roger kala itu juga membawa sebagian besar rasa Anna yang terdalam. Kalau dulu, Anna masih fokus memikirkan kariernya. Namun sekarang, Anna tidak ingin melakukan apa-apa lagi kecuali ingin menjadi istri Roger yang baik kelak. Anna sudah melakukan semampu yang dia bisa selama ini. Dan di saat ini, Anna juga akan berjuang sama seperti dulu. Sekali lagi, Anna ingin mengembalikan apa yang sudah seharusnya dikembalikan. Dia tidak ingin ada kesalahan lagi ke depannya. Untuk sementara, biar seperti ini. Anna ingin menikmati hari-harinya yang bahagia. Karena Anna sudah merasa dia sampai di ujung pertahanannya bersama keluarga. Sebentar lagi, dirinya akan menempuh dunia baru. "Agendamu hari ini apa, Na? Hanya diam di sini seperti rapunzel? Kau hanya perlu memanjangkan rambutmu, terus diwarnai emas." Anna menggeleng, menolak mentah-mentah ide Roger yang kurang kerjaan itu. "Aku Anna, Kak. Bukan Rapunzel." "Ohhh, aku tahu. Anna yang adiknya Elsa itu, kan? Kau mau dikutuk jadi es batu oleh kakakmu kalau tidak menurut?" Roger menatap Anna ingin tahu. "Elsa perempuan, Kak. Kak Roger, lelaki. Tidak bisa." "Hm.. baiklah." Roger terdiam sejenak. "Tapi, Na?" panggilnya lagi. "Iya?" Roger menggeleng ragu. "Tidak jadi, aku lupa mau mengatakan apa." Sebenarnya Anna tahu kalau Roger kelelahan. Mata lelaki di depannya ini terlihat sayu sekali. Seperti mengantuk, tapi dipaksakan untuk tetap terbuka. "Kakak istirahat saja di kamar tamu. Kakak terlihat kelelahan." Bangkit dari duduknya, Roger berdiri di depan Anna, mengamati tangan Anna sekali lagi sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya seperti di awal. "Apa aku boleh tidur di sini? Di sofabed, bukan di ranjangmu. Boleh?" tanyanya hati-hati. Anggukan pelan yang Anna berikan membuat Roger tersenyum penuh kelegaan. Lelaki itu lantas masuk dan merebahkan diri begitu saja di sofabed kamar Anna layaknya itu sudah jadi kamarnya sendiri. Sementara Anna yang masih di balkon hanya melihat dari kejauhan. Dia tidak ikut masuk, hanya diam di luar, memandang hijau-hijauan yang membuat matanya sejuk dan menenangkan juga menurutnya karena penglihatan Anna menurun sebab kebiasaan buruknya yang selalu membaca, menulis ataupun menghambat dekat sekali dengan bukunya. Kalau bekerja seperti melihat laporan atau mendesain, Anna tidak bisa kalau tidak menggunakan bantuan kacamata. Tapi kalau seperti ini, Anna lebih suka memandang secara langsung meski di kejauhan, dia tidak bisa melihat dengan jelas. Dari tempatnya duduk saja, Anna tidak bisa melihat wajah Roger dengan jelas. Dia hanya bisa melihat ada orang sudah itu saja, tidak dengan wajahnya. Makanya Khris sudah mewanti Anna untuk menggunakan kacamata saat pergi keluar. Takutnya orang-orang jahat memanfaatkan kelemahannya saat Anna lengah. Namun, Anna selalu saja menolak. Kalau dia melakukan itu semua, orang dapat dengan jelas mengetahui kelemahannya. Baru saja otaknya sibuk berkelana tak tentu arah, wajah kusut Roger tiba-tiba muncul di depan Anna yang membuat perempuan itu terkejut bukan main. "Kak Roger?! Apa yang kau lakukan?" tanyanya kaget. "Apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa melamun seperti itu?" Roger malah balik bertanya. Mereka saling melempar pertanyaan satu sama lain. Sampai akhirnya, Roger menyerah lebih dulu. "Aku tidak bisa tidur, Na. Mau membantuku?" Jelas Anna langsung menggeleng. Dia tidak sebaik itu hingga asal mengangguk saja saat diminta tolong. Ya kalau niatnya Roger baik? Bagaimana kalau Roger mau mengerjainya? Anna jelas tidak mau terperangkap kajailan Roger seperti saat kecil dulu. Imgatkan Anna kalau calon suaminya ini iseng sekali jadi orang. "Astaga, aku hanya minta tolong biar aku bisa tidur." Roger menatap Anna betulan lelah. Matanya yang memerah sudah jelas menandakan kalau dia mengantuk bukan main, tapi bisa-bisanya ada drama tidak bisa tertidur juga. Roger kan jadi susah. Ini bukannya tidak bisa idur lagi, tapi sudah mengarah pada kelainan yakni insomnia karena dari kemarin Roger belum tidur. "Caranya bagaimana?" "Tunggui aku tidur. Atau mari bercerita. Aku sungguh mengantuk tapi tidak bisa tertidur. Ya?" pintanya. Anna tidak mengatakan iya ataupun tidak. Hanya saja, dia sudah duduk di sofabed itu. Di sebelah pojok yang tahu-tahu dengan tidak izin atau bicara sebelumnya, Roger langsung merebahkan dirinya di pangkuan Anna, membiarkan kakinya yang panjang tergantung di sisi sofa. Ya mau bagaimana Kalau kalau orangnya lebih tinggi daripada sofa yang digunakan untuk tidur. Makanya kalau terbangun habis tertidur di sofa jatuhnya pasti pegal-pegal. Di sisi lain, Roger keenakan. Di sisi Anna, perempuan itu tentu saja terkejut sampai menahan nafas. Dia bahkan seperti takut melakukan pernafasan saat kepala Roger ada di pangkuannya. Padahal, Anna hanya tinggal menarik nafas dan mengembuskannya saja. "Jangan tegang, Na. Kalau sudah menikah nanti, aku bisa melakukan hal yang lebih dari ini." Demi apapun, Anna langsung menutup mulut Roger dengan tangan kirinya saking kesalnya. Roger selalu mengatakan sesuatu yang Anna tanggap tabu. Ah ayolah, hal seperti ini memang sudah biasa di kalangan para pria. Tapi kan perempuan sudah jelas malu-malu. Apalagi sekelas Anna yang orangnya pendiam dan tidak pernah menjalin hubungan serius dengan seorang pria sebelum ini. Jadi Anna masih agak berat jika lawan bicaranya membicarakan hal semacam itu. Ya meskipun yang mengatakan Roger sendiri, calon suaminya. "Iya, Na... Maaf. Ayo sekarang ceritakan aku sesuatu biar bisa cepat tertidur." "Tentang apa?" "Terserah. Pokoknya cerita." Kata Roger seraya memejamkan matanya dalam-dalam. Pertama-tama, Anna hanya menatap Roger dalam diam. Kemudian, tangan kirinya terulur untuk mengusap rambut Roger pelan. Anna tidak bercerita apapun. Dia hanya mengusap rambut Roger seperti ibu yang menidurkan putranya. "Say something, Na." Gumaman lemah Roger akhirnya menjadi alasan tersendiri bagi Anna untuk menceritakan sedikit pengalamannya tentang teror yang dia alami selama ini. meksipun begitu, Anna tahu kalau Roger mendengar di bagian awal sampai akhirnya lelaki yang tengah tertidur dalam pangkuannya ini benar-benar tertidur. Nafasnya teratur dengan gerakan mata yang diam di tempat. Tubuh Roger yang dilengkapi dengan kemeja putih membuatnya terlihat tampan meski wajahnya sudah kusut bukan main. Tapi tetap saja Roger tampan di mata Anna. Namanya juga sudah cinta. Tapi Anna tidak sebuta itu untuk melihat gurat-gurat kelelahan di wajah kekasihnya yang terlihat sayu. "Pasti kelelahan sekali." Gumam Anna lirih. "Tidak sama sekali." Balas Roger melantur tapi benar meksi dia tengah tertidur. Roger memang tidak pernah berubah. Anna tersenyum tulus, mengelus puncak kapala Roger lagi sampai Anna sendiri mengantuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN