Waktu berlalu begitu cepat. Seminggu yang terlewatkan sudah mereka kembali terpisahkan oleh jarak meski Roger sedang berada di Indonesia sekalipun. Bahkan meski mereka sama-sama di Jakarta, waktu mereka tidak serta merta dihabiskan untuk bersama. Ada hal yang menjadi tanggungjawab mereka masing-masing dan harus segera diselesaikan.
Hari berikutnya setelah di atap malam itu, Anna kembali ke Jakarta sementara Roger tetap di Singapura tiga hari setelah itu baru kembali ke Jakarta. Untuk pernikahan, Anna sendiri yang mengurus selama seminggu itu dan seharusnya, Roger datang malam nanti kalau Roger tidak ngaret seperti waktu yang sudah dijanjikan.
Sementara ini Anna fokus mengurus pernikahannya, seluruh keluarga juga turut membantu mengingat tangan Anna belum pulih normal. Jadi, tentu saja Anna tetap membutuhkan bantuan untuk mengerjakan beberapa hal.
Untuk pekerjaan di butik, Anna masih mempercayakan kepada sekrestarisnya. Dia benar-benar fokus pada pernikahannya meski akan diadakan sederhana di kediamannya. Sesuai rencana, untuk acara yang besar-besara—bukan besar-sesaran sekali, maksudnya ya mengundang banyak orang akan dilaksanakan menyusul, belum ada keputusan lagi mengingat pernikahan saja sudah menyita waktu banyak orang, terutama calon pasangan suami istri itu sendiri.
Sama seperti sekarang. Di saat Anna bersama para kakak iparnya sedang sibuk memilih makanan untuk pesta malam setelah pernikahan, tiba-tiba Kania yang tadi juga asyik bersama dengan adik iparnya, tiba-tiba merasakan mulas.
Anna dan Shilla yang saat itu tengah fokus memilah-milah tidak sadar sampai akhirnya Kania yang merasa tidak beres dengan perutnya langsung memegang tangan Anna yang kebetulan sedang duduk di sampingnya. "Na?" panggil perempuan hamil itu lirih dengan keringat dingin yang membasahi pelipisnya, belum lagi bagian tubuh yang lain karena merasakan tekanan yang belum pernah Kania rasakan sebelumnya.
Kalau dihitung-hitung, kandungan Kania baru akan memasuki bulan kesembilan. Masih ada waktu dua minggu ke depan yang dijadwalkan oleh dokter kandungannya. Karena itu, semalam waktu Kania merasakan mulas di perutnya, dia hanya membangunkan Jordan dan meminta untuk mengusap pinggang sampai punggungnya yang sakit. Sayangnya, suaminya itu berakhir ketiduran kembali dan Kania jadi mengusap pinggangnya sendiri. Tidak tega juga kalau harus membangunkan Jordan kembali yang pasti lelah setelah pulang malam dan langsung tertidur begitu saja di sampingnya. Kania saja tidak tahu kapan Jordan datang dan tahu-tahu saat terbangun tengah malam, suaminya itu sudah tergeletak di sampingnya, memeluk tubuhnya meski tak seerat saat lelaki itu tersadar.
"Kak?" Anna yang memang peka langsung menoleh ke arah Kania. Dia balas menggenggam tangan Kania yang dingin bukan main.
"Perutku sakit, Na." Kania menarik nafas dalam, melakukan teknik pernafasan yang dia ikuti selama hamil. Berharap dirinya sendiri bisa tenang.
Ada jeda yang Anna ambil untuk menarik nafas yang terasa berat sekali. Gerakannya seperti diperlambat bahkan hanya untuk melihat ke arah dimana Shilla berada, berniat mencari bantuan juga karena kaki Anna malah mendadak gemetar saat mendapati wajah Kania yang pucat pasi. Dia tidak pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya. Dasarnya Anna tidak suka dengan sesuatu yang berbau medis, makanya bekerja di instnasi ksehatan bukan menjadi tujuannya. Kalau dia punya materi untuk pembiayaan, makanya mentalnya tidak akan kuat di sana.
Bukan karena Anna takut dimarahi. Namun, Anna memang tidak pernah berani mengurusi orang sakit sendiri. Katanya kalau belum dicoba tidak akan bisa, makanya ada pendidikan kejuruan yang langsung fokus pada satu hal seperti pada bidang kesehatan. Tapi meski Anna coba, dia tidak berani terjun langsung, dia takut tiap kali melihat orang sakit, apalagi yang sekarat. Tidak mungkin dia bisa merawat pasiennya dengan baik sementara melihat orang sakit saja, Anna bawaannya selalu ingin menangis karena tidak tega. Dia salute dengan para tenang medis yang mentalnya kuat sekali.
"Kak Shilla, tolong." Lirih Anna balik ditujuan untuk Shilla yang kebetulan juga sama terdiam sepertinya di waktu awal.
Dasarnya Shilla yang masih kuat berdiri langsung mengambil ponsel untuk menghubungi semua orang dan mengambil semua perlengkapan yang memang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Meskipun Shilla sendiri tidak tahu apakah Kania memang akan melahirkan atau tidak karena seingatnya memang dijadwalkan dua minggu ke depan lagi. Kandungan Kania baru 35 minggu.
Namun saat kembali, Shilla ikutan lemas melihat Irish, mama mertuanya juga ada di sana tengah sibuk membersihkan darah yang mengaliri kaki jenjang Kania, kontras sekali dengan kulit ibu hamil itu yang putih. Anna bahkan sampai tidak bisa berdiri. Kakinya seakan terpaku, tubuhnya ikutan lemas. Apalagi, tidak kunjung ada yang datang. Kan, bayangkan saja Anna menjadi tenaga medis di saat dirinya tidak tegaan seperti ini. Meskipun sudah berusaha untuk melawan ketakutannya sendiri, Anna tidak bisa. Dia sudah mencobanya. Karena terus kepikiran, alhasil dia berhenti dan menggeluti bidang yang menjadi kemampuannya saja.
Padahal tadi Kania baik-baik saja, mereka masih bercanda bersama seperti biasa, Kania juga menyarankan menu-menu yang menjadi favorit saat pernikahannya dengan Jordan dulu. Namun tidak ada yang pernah menduga waktu. Tadi baik-baik saja, sekarang kenapa-kenapa.
"Sayang, Kania, jangan tidur ya, Nak?" Irish mengusap puncak kepala Kania yang seakan basah dengan keringat. Wajah paruh bayanya yang tetap terlihat cantik di waktu ini membuat kerutan di wajahnya nampak jelas saat menatap Kania yang nampak kesakitan sekali tapi tidak mengeluarkan lirihan atau apa.
"Mama darahnya banyak." Anna meremas tangan ibunya erat bukan main saat melihat itu semua di depan matanya sendiri. Sumpah, Anna takut. Jangan sampai karena melihat Kania pendarahan, Anna jadi takut hamil.
Setahu Anna, Kania sehat-sehat saja selama ini. Perempuan itu tidak pernah mengeluhkan apapun saat mereka bersama. Paling tidak sengaja mengaduh saat bayinya menendang terlalu kencang. Kalau bersama Jordan, Anna jelas tidak tahu. Namun saat-saat biasa berkumpul, makan, berbincang santai di ruang keluarga, Kania tetap tersenyum meski wajahnya kian hari kian pucat. Waktu ditanyai, Kania hanya mengatakan itu hal yang biasa. kebanyakan ibu hamil akan terlihat lebih pucat saat kandungannya lebih tua, apalagi Kania ada masalah dengan anemia selama kehamilan. Belum lagi yang memang memiliki masalah sedari awal, tak bisa membayangkan seputih apa wajahnya karena merasakan sakit dan hanya diam dan menikmatinya sendiri.
Untung sebelum digotong oleh supir di sana, Jordan yang baru datang langsung lari tergesa. Wajahnya tak kalah pucat pasi. Dia menghampiri Kania yang bersandar di punggung sofa dengan mata terpejam rapat tapi perempuan itu masih sepenuhnya tersadar.
"Ma?"
"Jordan..." Irish agak menepi, memberikan Jordan ruang untuk menghampiri Kania yang masih terlihat kesakitan seperti di awal.
Dengan tubuh mencondong rendah, Jordan meraih sisi wajah Kania, mengusapnya perlahan. "Sayang?" tak ada balasan, pandangan lelaki itu turun, tenggorokannya langsung tersekat bukan main saat melihat darah di sana.
"Sayang? Hai?" Jordan beralih menepuk pipi Kania, meminta perempuan itu untuk membuka mata. Begitu mata Kania terbuka, ada seperti kekuatan tak kasat mata yang membuat mereka berdua bertatap-tatapan satu sama lain seakan itu bisa mengurangi rasa sakit yang tengah dirasakan oleh Kania.
"Sakit, Kak." Tangan dingin itu meremas perutnya pelan dengan mata yang sayu bukan main, seakan mengadu pada Jordan apa yang tengah dirinya rasakan sekarang.
"Kak, bawa ke rumah sakit. Ayo!" Irish mengingatkan putranya kalau Kania butuh pertolongan segera.
Jordan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menengakkan tubuhnya dan langsung menggendong Kania menuju mobil. Meminta tolong yang lain untuk membawakan keperluan Kania. Jordan merasa kalau anaknya ingin terlahir lebih cepat dari yang seharusnya.
Sementara Irish yang langsung mendampingi Jordan dan menemani Kania duduk di belakang, Shilla dan Anna menyusul menggunakan mobil yang berbeda, lengkap dengan perlengkapan persalinan yang sudah disiapkan oleh kedua calon orang tua itu.
"Na, bisa?" Shilla memegangi lengan Anna saat perempuan itu berpegangan pada pintu setelah berjalan beberapa meter dari titik awal tadi.
Gelengan pelan lantas bersambut. Anna masih tidak bisa melihat hal-hal seperti itu karena trauma pasca penculikan yang pernah menimpanya tempo lalu. Saat Roger belum datang. Saat keluarnya juga tak kunjung datang. Dan di waktu itu, di pikiran Anna hanya satu, dia akan mati karena harus diperlihatkan darah amis yang begitu banyak.
"Kakiku lemas, Kak." Anna semakin berpegangan pada pintu saat tubuhnya terhuyung sendiri. Shilla semakin erat memegangi.
"Kau di rumah saja kalau tidak kuat, biar aku yang pergi, ya. Aku bantu ke kamar, nanti aku panggilkan Mbak kalau butuh sesuatu."
Anna menggeleng. "Aku mau menemani Kak Jordan. Mau ikut ke sana. Tolong tunggu sebentar."
Shilla tidak menjawab, hanya berdiri setia di samping Anna dan tetap memegangi adik iparnya ini dengan sabar. Untungnya, beberapa waktu berlalu, Anna sudah siap untuk berjalan lagi meski harus dituntun.
***
Sampai Abraham Hospital, tentu Kania langsung diberikan perawatan yang terbaik. Anna dan Shilla sampai bertepatan dengan Jordan yang nampak seperti orang linglung setelah keluar dari ruangan Kania. Ada Irish yang langsung menghampiri Jordan dan menanyai keadaan Kania di dalam. “Keadaannya bagaimana, Kak? Kania dan bayinya baik-baik saja, kan?”
“Plasenta previa total, Ma. Letak plasentanya di bawah menutupi jalan lahir. Harus caesar segera, perdarahannya—“
Irish langsung mendekap putranya erat sekali. “Tenang, Kak. Mereka pasti selamat. Mama temani, ya?”
Jordan mengangguk lemah. Sementara perawat berlalu lalang di ruangan Kania di sisi lain Jordan tidak diiznkan sementara waktu karena sempat memaksa menemui Kania saat perdarahannya masih berlangsung sedari tadi.
Dokter juga mengatakalan kalau Kania membutuhkan tranfusi darah karena banyaknya darah yang keluar yang untungnya Kania langsung mendapat perawatan cepat. Kalau tidak, semua orang tidak aka nada yang tahu apa yang akan terjadi.
Anna dan Shilla sendiri sudah duduk di kursi tunggu. Sementara Shilla menguatkan ibu mertuanya, Anna memeluk Jordan yang terlihat khawatir sekali. Anna paham. Dia saja sudah ketakutan melihat keadaan Kania tadi. Tidak bisa membayangkan ketakutan yang tengah Roger rasakan sekarang.
“Kak Kania dan bayi kalian pasti baik-baik saja, Kak.” Anna yang sudah melingkarkan tangannya di perut Jordan sedari tadi tak ada hentinya mengatakan hal-hal menenangkan. “Istri Kakak kuat tahu.”
“I know, dia memang tidak suka mengeluh sampai aku yang tidak peka tidak tahu kalau dia sedang sakit.”
Anna tersenyum lirih mendengar jawaban Jordan yang jelas menyindir dirinya sendiri ini. “Itu karena Kak Kania tidak ingin membuat Kakak dan semua orang khawatir.”
“Tapi tidak seharusnya diam saja, Na. Dia tidak mungkin pergi sendirian kan kalau sampai tidak ada siapapun di rumah. Bagaimana kalau tadi tidak ada orang?”
“Memangnya Kak Kania tidak merasakan sesuatu? Semalam apa tidak bicara kalau ada yang aneh misal perutnya keram?”
Jordan menahan nafas, mengembuskannya perlahan dan memejamkan matanya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Anna. “Seingatku, dia terbangun dini hari dan minta diusap punggungnya. Setelah itu, Kakak ketiduran dan paginya dia terlihat biasa saja, Na. Tapi Kakak sadar kalau wajahnya pucat. Sudah Kakak tanyai, bilangnya cuma sedikit lelah. Sudah Kakak minta istirahat saja, telfon kalau ada sesuatu.”
“Kak Shilla bilang Kak Kania punya masalah anemia, Kak. Kenapa orang rumah tidak diberitahu? Kalau tahu kan, aku tidak akan meminta Kak Kania duduk bersamaku tadi, biar dia istirahat saja di kamar.” Anna jadi ikut merasa bersalah. Setelah perempuan itu analisis, apapun keadaannya, kecuali kalau sakitnya sudah parah hingga Kania tidak kuat menanggungnya lagi, perempuan itu masih menyemoatkan diri berkumpul dengan semua orang di rumah.
“Aku sudah sering memintanya mengatakan apapun yang dia rasakan. Tapi,” Jordan diam sejenak, mengingat-ingat kalau sebelum menikah dengannya, Kania memang sudah seperti itu. Dia sama seperti Anna, tipe perempuan mandiri yang tidak suka mengeluh kecuali benar-benar tidak sanggup lagi menangani masalah yang tengah dihadapi seorang diri. “Kau tahu sendiri kakakmu itu seperti apa. Dia memang sekuat itu, tidak pernah membagi rasa sakitnya dengan orang lain. Aku yang kadang pegal sedikit saja suka mengeluh padanya. Tapi selama kehamilannya yang rewel ini, tak sekalipun dia mengeluh pada Kakak, Na. Paling hanya minta tolong dibangunkan saat tidak kuat membangunkan dirinya sendiri, juga waktu Kakak masih terjaga, dia suka diminta diusap punggungnya.
Kakak pikir, Kania cuma iseng waktu diminta diusap punggungnya, ternyata waktu Kakak cari di google, ternyata usapan lembut bisa mengurangi rasa sakit atau nyeri yang tengah dirasakan oleh ibu hamil. Hal sederhana itu saja Kakak tidak tahu, Na. Taunya Cuma menghamili Kania saja.”
Tanpa diminta, Anna langsung mencubit keras perut kakaknya. Sudah serius-serius juga endingnya malah bercanda. Ya walaupun Anna tahu kalau Jordan melakukan itu semua agar dirinya dan Jordan sendiri tidak tegang menunggui Kania karena tadi semoat berdebat panjang karena dilarang untuk menemani Kania.
“Sudah serius-serius malah Kakak bercanda. Tidak lucu tahu!”
“Iyaaa, maaf.” Jordan mempeerat dekapannya lagi pada tubuh Anna dan mencium rambut oanjang adiknya itu sayang.
Mereka memang diminta menunggu dulu sampai keadaan Kania lebih baik. Kalau dipaksakan untuk caesar sekarang juga tidak baik karena perdarahannya bisa lebih parah dari sebelumnya. Namun Jordan tetap bersyukur karena dia memiliki keluarga yang sangat mendukungya dalam suka maupun duka. Kalau tidak ada Anna dan mamanya sekarang turut menamani, Jordan pasti tidak bisa setenang sekarang. Keluarga memang segalanya bagi mereka semua. Karena hanya keluarga yang akan menerima kita di saat semua orang bahkan dunia menolak keberadaa seseorang.
***
Kurang lebih tujuh jam mereka menunggu keadaan Kania lebih baik sampai semua orang diizinkan untuk menemui Kania walaupun bergilir, tidak bisa langsung bersama-sama.
Menurut dokter yang menangani Kania, mereka sedang mengusahakan Kania melahirkan cukup bulan seperti yang sudah dikatakan sekitar dua minggu lagi. Karena bayi yang lahir belum cukup umur juga bisa membayakan kesehatannya apalagi sang ibu memiliki komplikasi saat kehamilan.
Mengingat kemajuan yang ada pada Kania tidak terlalu significant tapi bisa dikatakan keadaannya lebih baik daripada sebelumnya kerena perdarahannya sudah berhenti, dokter mengambil keputusan untuk tetap melakukan caesar segera. Dikhawatirkan Kania perdarahan lagi yang bisa membuat nyawa ibu dan bayinya semakin dalam bahaya.
Hanya ada Jordan yang menemani Kania ketika dokter mempersilahkan untuk dua orang masuk. Keluarga tentu paham kalau Jordan yang paling dibutuhkan oleh Kania sekarang. Dia masuk setelah melepaskan dekapan Anna dan menemui sang istri yang tengah berjuang di dalam sana.
Pertama kali Jordan masuk, dadanya mencelos melihat keadaan Kania. Istrinya yang ceria itu tetap tersenyum seraya melambaikan tangan, minta digenggam tangannya. Kania bahkan memerlukan bantuan oksigen untuk bernafas.
“Sayang?” panggil Jordan lirih, seraya mencium kening Kania yang dingin dalam. Kemudian dia duduk di kursi dan mencium punggung tangan Kania lembut.
“Aku minta maaf, Kak.”
“Hai, no. Kenapa minta maaf, kau tidak salah.” Jordan membawa tangan Anna ke wajahnya, menciuminya berkali-kali lagi. “Aku yang minta maaf karena tidak peka dengan keadaanmu. Semalam malah aku tinggal tidur.”
Kania hanya tertawa. “Sudah tidak sakit, Kakak jangan khawatir. Kata dokter, bayinya baik-baik saja.”
Lelaki itu hanya mengangguk nanar. “Cepat sembuh, ya. Jangan sakit.” Lirihnya. Tangan Jordan yang satunya lantas mengusap perut Kania yang dipasangi alat pendetekdi detak jantung bayi sayang.
Perempuan hamil itu tersenyum pasti. “Aku tidak sakit, Kak. Berapa kali aku bilang kalau perempuan hamil itu ya hamil, tidak sakit.”
Jordan mendesah lelah saat Kania mendebatnya seperti ini. Istrinya ini memang pintar, kuat dan sangat mandiri. “Iya, tidak sakit tapi hamil.”
Alih-alih menangis seperti yang biasanya terjadi saat menjelang persalinan, Kania hanya memejamkan mata saat perutnya dilanda sakit yang intens. Terkadang dia tidak paham, semua yang dikatakan dokter sudah dia lakukan, tapi tetap saja ada yang tidak sesuai dengan keinginannya. Keinginan Kania begitu sederhana, dia ingin melahirkan bayinya yang sehat. Mana tahu kalau akhir-akhir jadinya seperti ini. Meski Kania tersenyum dan berusaha menenangkan semua orang, jelas sekali kalau dia juga takut dengan persalinannya nanti. Namun, Kania selalu berpikiran positif pada kemungkinan baik dan Tuhan.
Dia percaya apapun yang terjadi nanti untuk yang terbaik. Lagi pula Tuhan Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk umat-Nya. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang berat kepada hambanya melebihi batas kemampuannya. Kalau Kania dicoba seperti ini, maka dia adalah orang pilihan dan memang kuat menjalani semua cobaan yang Tuhan beri berupa rasa sakit dan kekhawatirannya ini.
“Doakan aku ya, Kak.” Kania menarik tangan Jordan pelan, mencium tangannya haru.
Bukannya menjawab, Jordan malah menangis seperti anak kecil di saat Kania sudah berusaha menguasai diirnya sendiri agar tidak membuat yang lain khawatir.