BAB 4

972 Kata
"Han, sebaiknya bawa bos kamu ini pulang kerumahnya" ucap Jo, ia melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 01.10 dini hari. "saya enggak tahu rumahnya Jo. Mau diantar kemana". "Ini sudah terlalu larut, sebaiknya kita bawa ke kamar hotel" ucap Jo seketika. "Iya, sebaiknya begitu, saya tunggu di lobby, sementara kamu pesan kamar Han" ucap Jo memberi perintah. "Merepotkan sekali, kenapa sih enggak dibiarin mati sakalian disana" timpal Hanum. "Han, ini atasan kamu loh, kasihan dia". "Tapi, dia enggak kasihan sama saya Jo" "Jangan begitu Han, cepat pesan kamar, saya tunggu di lobby" , Jo lalu kembali membopong tubuh Tibra yang tidak sadarkan diri. Berjalan menuju lobby  hotel. Hanum dengan terpaksa mengikuti perintah Jo. Hari ini adalah hari bersejarah bagi Hanum lihat saja. Ia dipertemukan dengan dua laki-laki yang sifatnya  bertolak belakang. Tadi siang ia bertemu Jo, laki-laki itu telah menyelamatkannya, Jo sudah seperti malaikat tanpa sayap. Selanjutnya Tibra, laki-laki itu baru saja memecatnya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya, laki-laki itu seperti iblis yang tidak berprikemanusiaan, seharusnya Tibra hidup di neraka dengan teman-temannya disana. **** Beberapa menit kemudian, Jo membaringkan tubuh Tibra di tempat tidur. "Saya harus pulang Han, karena besok harus pergi keluar kota"  Hanum bertolak pinggang, "Kamu menyuruh saya menjaga laki-laki ini, yang benar saja Jo!". Jo menghela nafas, ia melirik Hanum, "Dia atasan kamu, Han". "sekarang dia bukan atasan saya Jo, tapi mantan atasan saya, ingat itu". Jo memandang iris mata Hanum, wanita cantik itu terlihat tidak suka, andai saja besok pagi ia tidak ke Semarang, ia pasti akan menunggu hingga besok, "Han, kamu hanya memastikan dia saja, dia hanya mabuk, yakinlah besok pagi, atasan kamu sudah bangun dan sadarkan diri". Jo melangkah mendekati Hanum, "Lagian, ini sudah larut. Kamu mau pulang? Berbahaya pulang larut seperti ini". "Oke, baiklah"  Jo melirik jam melingkar di tangannya, ia sudah seharusnya pulang, ia bahkan tidak tidur seharian, "saya pulang dulu"  "iya, hati-hati". Semenit kemudian, tubuh Jo telah menghilang dari balik pintu. Hanum melirik Tibra disana, wajah laki-laki itu masih penuh dengan luka dan sudut bibirnya berdarah. Kasihan memang, laki-laki itu seperti tidak berdaya. Tapi mengingat sifat atasanya seperti itu,  Hanum mengurungkan niatnya, rasa empatinya hilang begitu saja. Hanum menegakkan tubuhnya, dan membuka blezer yang di kenakannya, lalu menyimpannya di sisi sofa. Hanum melirik handuk yang menggantung di sana. Hanum melangkah mendekat, lalu mengambil handuk itu. Hanum  masuk ke dalam kamar mandi, ia perlu membersihkan wajahnya. Setelah membersihkan wajah, Hanum kembali ke dalam kamar, ia melirik tubuh Tibra disana. Hanum melangkah mendekati Tibra, mata itu masih terpejam. Walau wajah itu sudah babak belur, lihatlah laki-laki itu masih terlihat tampan. Hanum mengambil air panas di teko, dan ia campur dengan air dingin dari air mineral yang sudah disediakan. Hanum berinisiatif untuk membersihkan wajah Tibra. Sudahlah anggap saja ia tidak mengenal laki-laki itu. Hanum lalu membersihkan permukaan wajah Tibra dengan handuk yang telah basah dengan air hangat. Beberapa menit kemudian, wajah itu sudah terlihat bersih. Hanum membiarkan laki-laki itu begitu saja, Hanum memilih tidur dilantai, dengan beralas bedcover. *** Hanum membuka Matanya secara perlahan, karena terpaan sinar matahari dari balik gorden mengenai permukaan wajahnya. Hanum menegakkan tubuhnya dan ia memandang laki-laki itu masih terbaring di sana, dengan mata terpejam. Hanum melangkah mendekat, ia menyentuh kening Tibra, ia ingin memastikan suhu tubuh Tibra. Hanum bersyukur bahwa suhu tubuh itu tidak panas. Seketika tangan itu menyentuh tangan Hanum. Seketika mata itu terbuka dan menatapanya. Hanum terdiam, dan ia berusaha melepaskan tangan Tibra. "Lepaskan tangan saya"  Hanummemalingkan wajahnya, ia enggan menatap Tibar. "Kamu menyelamatkan saya" tanyanya lagi. "Iya"  Tibra melepaskan tangannya, ia memandang wanita itu dengan intens. Tadi ia sebenarnya sudah sadar dan terbangun. Sekarang ia telah  mendapati dirinya terbaring di tempat tidur. Tibra yakini ia berada di sebuah kamar hotel. Tibra menatap seorang wanita tertidur di lantai beralas bedcover,  ia mengenal wanita yang sedang tertidur itu, dia adalah Hanum. Tibra tidak bisa berbuat banyak, karena tubuhnya hampir remuk. Masih teringat jelaswanita itu adalah salah satu karyawan yang di pecatnya kemarin sore. Tibra memejamkan matanya kembali ketika wanita itu bangun dari tidurnya. Tibra merasakan tangan hangat Hanum menyentuh keningnya. Tibra mencoba mati-matian agar berusaha tenang karena sentuhan Hanum. Tibra tidak kuasa lagi untuk berpura-pura tidur lalu ia meraih tangan kurus itu dan membuka matanya. Ia memandang wajah cantik itu.  Tibra lalu menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur ia masih menggenggam erat tangan itu. Tibra memandang Hanum masih di posisi yang sama. Tibra melepaskan tangannya dan menatap Hanum. "Bisakah kamu mengambil air mineral untuk saya"  Hanum nelangsa dalam hati, ia tidak menjawab pernyataan Tibra. Ia seperti itu, agar laki-laki itu tahu bahwa ia tidak suka kehadiran dirinya. Hanum memenuhi permintaan Tibra. Hanum melangkah mendekati nakas, mengambil  gelas yang sudah berisi air meneral  dan menyerahkannya kepada Tibra. Tibra meneguk air meneral yang di berikan oleh Hanum. Ia kembali melirik Hanum, wanita itu duduk di sofa dekat jendela, wanita itu menekuni ponsel yang dipegangnya. "Bagaimana kamu bisa menyelamatkan saya, dan membawa saya kesini" memecahkan kesunyian. "Saya berada di Bar tadi malam, dan saya melihat kegaduhan disana. Saya penasaran siapa membuat kegaduhan di dalam club. Ternyata saya melihat kamu. Awalnya saya memang ingin membiarkan kamu begitu saja, tapi saya masih memiliki sisi kemanusiaan, kamu hampir di bantai oleh dua orang laki-laki itu. Saya lalu membawa kamu kesini, saya mengatakan kepada pihak security bahwa saya mengenal kamu" ucap Hanum. Tibra kembali menatap Hamun, ia mendengar kronologis apa yang terjadi pada dirinya. Wanita itu menyelamatkannya. "Kenapa kamu ada di Club" tanya Tibra. "Saya pikir itu bukan urusan kamu"  "Ya, itu memang bukan urusan saya. Apakah kamu mengikuti saya?". Hanum hampir tidak percaya apa yang di ucapkan Tibra. Oh Tuhan, untuk apa ia mengikuti laki-laki yang telah memecatnya begitu saja. Atasannya  itu benar-benar sinting, seharusnya laki-laki itu mengucapkan terima kasih kepadanya, bukan malah menuduh mengikutinya.  "Seharusnya saya tidak menyelamatkan kamu" dengus Hanum. Hanum mengambil blezer di sisi sofa, lalu berjalan menjauhi Tibra. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN