Bukankah ini yang kuinginkan? Bening pergi dan aku bebas dari pernikahan paksa ini. Aku bisa kembali meraih cinta Arunika, membina kembali rumah tangga bersama orang yang kucintai seperti impianku selama ini.
Namun, mengapa hati ini terasa begitu sakit ketika Bening benar-benar pergi? Seperti ada yang terkoyak di dalam sana. Terlebih setelah mengetahui pengakuannya bahwa dia pun terluka dengan pernikahan ini.
Mengapa pula aku sakit jika dia memang terluka? Bukankah selama ini tujuanku memang untuk melukainya? Aku memang sengaja menyakitinya demi membalas rasa sakitku dan Arunika karena cinta kami yang kandas karena kehadirannya.
Berbagai tanya berkelindan dalam benak dan aku tidak menemukan jawabnya. Aku tidak bisa menyambungkan semuanya dengan logika. Satu hal yang pasti, dadaku teramat sesak. Hatiku seperti diiris.
Aku baru merasa terlalu jahat padanya selama ini.
Bening, gadis yatim piatu seharusnya kusayangi dan ku-ayomi. Tidak ada keluarga, tidak ada sanak saudara. Hanya aku satu-satunya tempatnya bersandar. Dia begitu menjaga Marwah rumah tangga dengan tidak mengadukan sikapku pada Ayah dan Ibu. Namun, aku justru memerlakukannya lebih kejam dari seekor binatang.
Ah, tidak akan ada habisnya penyesalan atas kebodohan ini.
Aku bangkit dan bergegas membuka lemari pakaian Bening, berharap benda itu masih ada isinya. Meskipun kemungkinannya sangat kecil, aku berharap Bening tidak serius pergi. Ini hanya gertakan saja. Dia akan segera kembali. Namun, lemarinya yang memang isinya sedikit itu benar-benar kosong. Yang kutemukan hanya sebuah ATM yang selama ini dia gunakan, juga cincin pernikahan kami.
Allahu ....
Tubuhku lunglai.
Tanganku bergetar meraih dua benda yang dia tinggalkan.
Jika kamu ingin pergi, mengapa ATM ini ditinggalkan, Bening. Bagaimana caranya kamu hidup di luar sana sementara kamu tidak bekerja. Apakah begitu tidak sudi lagi kamu menerima uang dariku?
Ah, Bening. Mengapa kamu harus membuatku merasa sesakit ini?
Cincin ini. Mengapa kamu tinggalkan? Apakah sudah bulat keputusanmu mengakhiri pernikahan kita?
Aku mencium cincin itu, mas kawin yang kupakaikan dengan kasar setelah prosesi ijab kabul kami.
Sesak, Ya Allah. Sakit sekali d**a ini. Mengapa semua perbuatan yang menyakitkan Bening baru terasa setelah dia pergi? Mengapa tidak sejak dulu kusadari.
Dengan lunglai, aku meninggalkan kamar Bening dan menuju kamarku, kamar yang seharusnya kami tempati bersama.
Rasa lapar yang tadi melilit perut begitu saja terlupakan, berganti dengan rasa yang lebih sakit.
Rasa sakit itu semakin menjadi saat aku kembali ke kamar, pemandangan sisa perbuatanku semalam menyambut mata.
Tempat tidur yang spreinya berantakan, juga bercak merah di atasnya.
Astaghfirullahal'azim.
Seketika tubuhku ambruk. Aku tersedu mengutuk perbuatan sendiri yang begitu b***t.
Pasti Bening teramat sakit. Dengan kelembutan saja ritual pertama kali itu sakit, apalagi kulakukan dengan kasar?
Kemana hati nuraniku semalam?
"Aaa ...." Aku berteriak penuh sesal.
"Sudah, Mas. Sakiiit, sakiiit ...," ucapnya tadi malam dengan deraian air mata. Namun, aku tidak kasihan sama sekali. Justru semakin menjadi dan tersenyum dengan perasaan puas.
"Maafkan aku, Bening." Permintaan maaf yang sudah terlambat.
***
"Mas ...." Aku menoleh pada satu suara yang memanggil dari belakang.
"Makan, yuk."
Arunika, dia selalu datang ke kantor setiap jam makan siang, mengajak makan di luar atau menikmati masakan yang dia bawa dari rumah.
Kami berdua sama-sama pegawai di kantor pemerintahan, tetapi beda instansi.
Setiap hari kami selalu bertemu, menikmati waktu berdua sambil bicara tentang impian untuk bersama yang tertunda.
Tidak hanya jam makan siang. Seringkali kami janjian untuk sarapan bersama. Teman satu kantorku sudah tidak bisa berkata-kata dengan kebersamaan kami. Mereka tahu aku sudah menikah. Namun, mereka juga tahu pernikahan itu paksa dan aku hanya mencintai Arunika. Jadi, akhirnya mereka hanya cukup tahu saja.
Untuk pertama kali aku sama sekali tidak bersemangat ketika Arunika datang. Rasanya justru malas dan enggan.
"Kamu makanlah. Aku enggak berselera," jawabku datar. Arunika yang sebelumnya semringah dan antusias menarik kursi di sebelahku, menatap kecewa.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" tanyanya penuh selidik.
"Enggak." Aku kembali menjawab datar dan malas.
"Enggak?"
"Hmm."
"Tapi kamu kelihatan kayak ada masalah. Apa istri kamu bertingkah lagi? Apa yang perempuan itu lakukan?"
Emosiku terpancing mendengar Arunika menyalahkan dan menyebut Bening dengan tidak sopan. Padahal selama ini akulah yang selalu mengadukan sikapnya yang menurutku menyebalkan.
"Mas." Arunika sepertinya tidak suka aku tidak segera menjawab dan membenarkan praduganya.
"Jangan selalu menyalahkan istriku, Aruni," ucapku kemudian.
"Istri?" Suara Arunika terdengar sumbang, "Sejak kapan kamu menyebut pelakor itu sebagai istri?"
Aku tidak bisa menahan lagi. Emosiku meningkat.
"Jaga bicaramu, Aruni. Apa kamu tidak sadar bahwa kamulah sebenarnya yang pantas menyandang gelar itu. Bening istri sahku."
"Mas!"
Arunika ikut emosi. Namun, aku tidak peduli. Aku segera bangkit dari kursiku dan meninggalkannya.
Wajar jika Arunika marah dan tidak terima. Dia pasti heran dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Namun, aku juga tidak bisa mengendalikan semuanya. Pikiranku kalut. Aku tidak bisa berpikir jernih.
"Mas Pandu, mau kemana kamu?" Terdengar Arunika memanggil lantang. Namun, tidak kugubris. Langkahku panjang menuju lokasi parkir.
Tidak ada selera sama sekali untuk makan walaupun perutku terasa sangat lapar. Lebih baik aku menyusuri jalan mencari Bening.
Ah, Bening. Baru beberapa jam dia pergi, aku sudah begitu kalang kabut begini.
Entah kemana dia? Ponselnya tidak bisa dihubungi.
***
Sore hari aku pulang dengan tubuh yang terasa lunglai. Pekerjaan hari ini begitu kacau. Sama kacaunya dengan perasaanku. Beberapa kali aku melakukan kesalahan sehingga harus diulang dan itu menguras tenaga.
Pencarian Bening tidak ada hasilnya. Tidak ada yang tahu ketika kutanyakan ciri-cirinya. Sementara aku tidak punya fotonya satu pun untuk ditunjukkan.
Selama ini aku tidak sudi menyimpan foto Bening di galeri. Foto yang pernah ada sebelum kami menikah semua kuhapus. Sementara media sosialnya di-setting private. Aku sengaja menghapus pertemanan dengannya. Begitu benci aku padanya dulu. Benci yang tanpa kusadari telah membuat sosoknya lekat di hati.
Benar kata orang, antara benci dan cinta hanya beda tipis.
Aku menurunkan foto pernikahan kami yang terpajang di ruang tamu. Hanya itu satu-satunya foto Bening yang ada. Aku tergugu menatapinya dengan air matanya yang tidak henti mengalir.
Rasa bersalah ini begitu besar.
Pulanglah, Bening. Selemah ini aku tanpamu. Bahkan aku tidak berhenti menangis. Maafkan semua salahku. Kita mulai dari awal semuanya. Pulang, Sayang.