Bab 3 Cukup Melupakan

886 Kata
Dalam benakku, restoran Eropa itu selalu identik dengan pengunjung yang mengenakan jas-jas mahal dan gaun mewah, pelayan-pelayan pria berwajah kaku yang jalannya setegak papan, tapi restoran yang kami kunjungi sekarang sungguh berbeda. Kesan kasual dan modern yang ditampilkan memberikan perasaan hangat serta nyaman bagi pengunjungnya, bahkan orang seperti aku yang belum pernah ke sini. Entah karena suasananya atau Darel yang pintar membawa diri, aku sama sekali tidak merasa sedang duduk di hadapan pria asing—yang baru beberapa kali aku temui. Aku bebas berbicara dan tertawa setiap kali Darel melemparkan lelucon. Ada kalanya dia membuatku tersipu dengan pujiannya, hingga pipiku menghangat dan jantungku bertalu kencang bak genderang yang ditabuh penuh semangat. Aku tidak bisa menghentikan rasa tertarikku pada Darel. Ketampanan pria itu tidak perlu dipertanyakan, caranya berbicara akan membuat wanita mana pun tidak bisa berpaling darinya. Dan entah dengan cara bagaimana, sorot nakal yang terpancar di matanya membuat dia semakin terlihat menarik. Perlakuannya padaku membuatku mabuk kepayang, hingga ketika  kami keluar dari restoran dan dia mengajakku mampir ke club temannya, aku tidak bisa menolaknya. Sebuah keputusan yang di kemudian hari akan kusesali. Teman Darel, pemilik club yang merangkap sebagai bartender, menyambut kami dengan hangat. Dia menghadiahi segelas minuman untukku sebagai tanda perkenalan. Andai aku bisa memahami makna kedipan mata Darel padanya saat itu, pasti tidak akan ada kejadian buruk yang menimpaku. Sayangnya kewaspadaanku mengendur begitu mengenal Darel selama beberapa jam. Aku dibutakan oleh wajah tampan dan senyum malaikatnya, tanpa sadar terjerumus dalam lubang hitam yang jelas-jelas berada di depanku. Setelah menenggak habis minumanku, aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Samar-samar aku merasa Darel membimbingku keluar, membawaku ke suatu tempat dengan mobilnya. Kesadaranku pulih keesokan harinya, aku terbaring di sebuah kamar yang sama sekali asing bagiku. Kepalaku pening dan tubuhku terasa lemas. Aku menggigil, bukan karena dinginnya AC yang menembus tulang, tapi karena aku menyadari kalau di balik selimut aku tidak mengenakan apa-apa lagi. Memoriku memutar potongan-potongan kejadian semalam, dalam sekejap aku menyadari apa yang telah terjadi. Darel menjebakku! Gelombang emosi menghantamku, sebagian besar berupa rasa marah dan sedih, sisanya merupakan refleksi dari perasaan takut dan benci. Tanganku gemetar saat melilitkan selimut ke tubuhku, jantungku berdentum riuh, terasa membengkak hingga membuat dadaku sesak. Pandanganku nanar melihat sekeliling, terhenti saat mataku menangkap pakaian yang semula kukenakan tergeletak rapi di atas sofa. Tanpa berpikir panjang aku beringsut turun, meraih pakaianku dan buru-buru mengenakannya. Aku tidak peduli seberapa kusut masainya diriku saat melangkahkan kaki keluar dari ruangan ini. Pun ketika akhirnya aku berhasil meninggalkan gedung yang ternyata gedung apartemen bonafide, aku sama sekali tidak memedulikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganku. Aku memesan ojek online agar bisa pulang. Dalam perjalanan pulang, otakku tidak banyak bekerja. Satu-satunya yang kupikirkan hanya ingin secepatnya sampai kos-kosan. Namun begitu aku sendirian di kamarku, gelombang emosi yang tadi kutahan kini meluap tak terbendung. Aku meringkuk di atas kasur, merutuki kebodohanku. Betapa tololnya aku, begitu mudah percaya pada laki-laki yang baru aku kenal. Hanya karena dia membantuku membetulkan motor, aku mau saja diajaknya keluar. Sekarang, ketika semuanya sudah terlanjur terjadi, apa lagi yang bisa kulakukan? Melupakannya! Aku mengusap air mataku kasar. Ya, satu-satunya yang harus kulakukan saat ini hanya melupakan kejadian itu. Berpura-pura seolah hal tersebut tidak pernah terjadi. Menuntut Darel jelas tidak mungkin. Dia berasal dari keluarga terpandang yang pasti memiliki pengacara handal. Lagipula aku sama sekali tidak memiliki bukti dia memperkosaku. Jika aku mengangkat masalah ini ke ranah publik, yang ada aku hanya akan mendapatkan penghinaan. Darel bisa saja berkelit apa yang terjadi di antara kami berdasarkan suka sama suka, karena itu yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah diam. Diam dan melanjutkan kembali hidupku. Cukup melupakan apa yang telah terjadi…. **** Aku menjalankan apa yang menjadi keputusanku dengan sangat baik. Tanpa memberi kesempatan hatiku untuk terus-menerus menyalahkan diri sendiri, aku langsung melanjutkan hidupku. Hari demi hari kulewati seperti biasa. Bekerja, hangout dengan Niken, membaca buku, menonton film, apa pun yang tidak membuatku terjebak dalam kesedihan. Hal tersebut terus berlanjut sampai satu bulan kemudian. Dalam waktu satu bulan itu, tidak satu kali pun aku pernah melihat Darel lagi. Dia pasti terlalu pengecut untuk bertemu denganku. Sebenarnya itu tidak jadi soal buatku, toh aku sudah memutuskan melupakan kejadian tersebut. Namun masalahnya, saat ini aku sudah terlambat datang bulan. “Akhir-akhir ini kamu kelihatan pucat, Ge,” kata Niken saat kami menghabiskan waktu berdua di kamarku. “Kamu sakit?” Aku menggeleng. “Aku merasa baik-baik aja sih,” jawabku tanpa berani menatap mata Niken, pura-pura fokus dengan n****+ yang k****a. “Apa kamu lagi diet? Aku nggak sering lihat kamu makan.” “Nggak juga,” sahutku pelan. Dari balik bulu mataku, aku bisa melihat Niken yang duduk bersila di hadapanku memicingkan matanya, seolah sedang menilai kebenaran dari jawabanku. “Kamu nggak lagi nyembunyiin apa-apa sama aku kan, Ge?” ujarnya telak, membuat dadaku sesak. “Nggak lah!” jawabku cepat. “Memangnya kamu bisa dibohongi.” Aku memberanikan diri melawan tatapan matanya, memasang cengiran konyol agar Niken tidak curiga. Niken mengangkat kedua bahunya, memandangiku tajam. “Entahlah, aku cuma merasa kamu nggak lagi baik-baik aja.” Aku memaksa untuk tertawa sewajar mungkin. “Kali ini firasatmu salah, Bestie. I am fine,” ucapku dengan nada bercanda. Niken memang peka, tapi kuharap dia tidak benar-benar menyadari apa yang mengganggu pikiranku saat ini. Tidak sampai aku yakin dengan apa yang terjadi padaku. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN