Bab 6 Ayah untuk Bayiku

1217 Kata
Darel meninggal. Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Aku tidak terlalu mengenal Darel, bahkan sebenarnya sama sekali tidak mengenalnya. Nyatanya kematian pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak sedih di dalam hatiku. Sedih dalam arti kehilangan, karena faktanya saat mendengar kabar itu hatiku terasa hancur. Darel meninggal, itu sesuatu yang buruk. Sangat buruk. Itu berarti aku harus mengatasi sendiri masalahku. Tidak ada yang akan bertanggung jawab dengan kehamilanku. Meski jika Darel masih hidup pun aku tidak yakin dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, setidaknya dia masih bernapas sehingga aku bisa memaksanya. Jika perlu dengan melakukan tes DNA. Aku menarik napas panjang, ingin mengurangi beban yang terasa menghimpit d**a. Sekarang apa yang harus kulakukan? Pintu kamar diketuk, bersamaan dengan kepala Niken yang melongok dari luar. Aku meliriknya dari atas kasurku. “Apa?” tanyaku malas. Dia melangkah masuk, cengiran yang sangat kukenal muncul di wajahnya. Aku memutar bola mataku. “Nggak ada,” ucapku ketus meski tidak sungguh-sungguh. “Pliiis … aku pasti bayar. Uangku lagi dipakai Kak Risa dulu, katanya lusa dia kembaliin.” Dia memasang puppy eyes andalannya saat menghampiri dan duduk di tepi ranjangku. “Katanya, kan? Aku tahu kamu selalu bayar utang kamu, Ken. Tapi kamu kapan sadarnya sih? Utang Kak Risa ke kamu yang dulu-dulu juga nggak dia kembaliin, kok dikasih pinjam lagi.” “Ya, gimana lagi. Dia kan kakak aku,” ucapnya memelas. “Memangnya Kak Risa pinjam uang kamu buat apa?” “Ada yang mau dia beli, tapi suaminya baru gajian lusa.” “Kamu nggak tanya apa yang mau dia beli? Penting apa nggak?” Niken menunduk. “Tas,” gumamnya melirikku takut-takut. “Astaga, Niken!” seruku melototi dia. Aku kadang gemas sendiri sama sahabatku ini, dia itu terlalu baik hati atau bodoh? “Itu uang buat makan kamu, bisa-bisanya kamu pinjamkan cuma buat beli tas.” Niken memasang wajah menghiba. Aku menghela napas. “Memangnya kamu mau pinjam berapa?” Wajah Niken langsung berubah sumringah. “Gopek aja, Ge. Asal cukup buat makan sampai gajian,” jawabnya cepat. Gajian masih dua minggu lagi, dengan uang 500 ribu Niken harus sangat berhemat agar bisa tetap makan sampai akhir bulan. “Lho, bukannya suami kakakmu gajiannya lusa, berarti dia bisa bayar utang lusa juga, kan?” Binar di mata sahabatku itu meredup. Aku kembali menghela napas panjang. “Kamu pasti udah tahu dia nggak bakal bayar,” desahku sebal. “Sampai kapan kamu mau kayak gini terus, Ken. Kamu nggak harus terus-terusan merasa bersalah dengan apa yang kamu lakukan dulu dan menuruti semua kemauan Kak Risa cuma buat ngurangi rasa bersalah kamu sama dia. Itu bukan cuma kesalahan kamu, Oka juga sa—” “Ini salah aku, tolong nggak usah dibahas lagi, Ge,” potong Niken, raut mukanya terlihat datar. “Fine,” ucapku pelan, beranjak dari tempat tidurku dan mengambil dompet dari laci lemari. Aku menggeluarkan dua lembar ratusan ribu lalu menyerahkannya pada Niken. “Aku cuma ada uang cash segini, sisanya aku transfer ke rekeningmu ya?” Niken menerima sambil mengangguk. “Thanks, Ge. Aku nggak bakal lupain kebaikan kamu sama aku,” ucapnya pelan. Aku tersenyum tipis dan mengangguk, hanya melihat saja ketika Niken meninggalkan kamarku. Aku merasa prihatin dengan masa lalu Niken, tapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk memperbaikinya. Sekarang ini yang bisa kuperbuat hanya menjadi sahabat terbaiknya, selalu mendukung dia dan ada bersamanya saat dibutuhkan, seperti yang telah dia lakukan padaku. Dering ponsel mengejutkanku, aku melirik benda yang saat ini tergeletak di meja, nomor yang tidak aku kenal terpampang di layar. Sejenak aku merasa ragu, tapi kemudian kusambar benda pipih itu dan menjawab panggilan. “Aku mau bertemu kamu!” Suara di seberang bernada memerintah. Aku mengernyit. “Siapa ini?” “Dathan,” jawabnya datar. “Ada yang harus kutanyakan sama kamu.” “Tanya aja sekarang,” ucapku asal. Aku tidak ingin menemui pria itu lagi, terutama setelah kejadian tadi. “Nggak bisa, kita harus bicara langsung.” “Aku nggak mau,” sahutku mulai ketus. Terdengar tarikan napas di seberang. “Ada yang menjatuhkan testpack bergaris dua di ruanganku, apa itu punyamu?” tanyanya hati-hati. Hampir saja ponselku terlepas dari genggaman. Otakku mendengungkan sirene bahaya yang membuat jantungku berdetak kencang. Aku terkelu, tidak mampu bersuara. “Damn! Itu memang punyamu, kan?” desis Dathan. “Serius, kita harus bertemu sekarang juga,” ucapnya tak terbantah. Kemudian dia menyebutkan nama sebuah kafe yang letaknya tidak terlalu jauh dari kos-kosanku. Aku masih terbengong selama beberapa saat begitu panggilan terputus. Ketika tersadar, aku langsung meraih tas dan mengeluarkan semua isinya. Dathan benar, benda itu sudah tidak ada di sana. Pasti terjatuh ketika aku mengambil ponsel waktu Pak Bastian meneleponku. ****** Aku mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan kafe, berhenti begitu mataku menangkap punggung seorang pria yang mengenakan kaos hitam. Meski dia duduk membelakangiku, aku tahu dialah yang sedang kucari. Sesaat aku ragu-ragu, tapi kemudian menguatkan tekad dan melangkah ke arahnya. Langsung duduk di depannya. Dia agak tersentak, aku terkejut melihat wajahnya yang pucat. “Anda baik-baik saja, Pak?” tanyaku hati-hati. “Ya, tentu,” jawabnya kurang meyakinkan. “Kamu mau memesan sesuatu, Gea?” Aku tidak mengira dia tahu namaku. “Benar namamu Gea, kan? Geanina Kyra?” Bahkan nama panjangku. “Spageti di sini terkenal enak, mau kupesankan?” Aku menggeleng. “Minum aja,” sahutku singkat. “Panas apa dingin?” “Dingin.” Dathan melihat menu sebentar. “Jus durian gimana? Kamu suka durian?” Astaga, durian itu favoritku! Diolah apa pun aku pasti suka. Sayangnya aku tidak terlalu bangga dengan hal tersebut, karena banyak sekali orang yang tidak suka dengan aroma durian. “Boleh kalau Pak Dathan nggak masalah dengan bau durian,” kataku sopan. Dia jelas mendapat nilai plus dariku karena sudah menawari minuman kesukaanku. Dan aku merasa sedikit bersalah padanya. Jadi bukan sesuatu yang aneh kalau sekarang aku bersikap sopan, bukan? Dathan tersenyum tipis. “Sama sekali nggak,” jawabnya. Lalu dia melambaikan tangan memanggil pelayan. Setelah Dathan memesan dan pelayan itu pergi, pandangan matanya kembali tertuju padaku. Ekspresi wajahnya keruh, seolah ada beban yang begitu nyata terpapar di hadapannya. Jujur saja, itu agak membuatku merasa tidak enak hati. Aku berdeham. “Mengenai testpack itu,” gumamku memulai, “memang punya saya, tapi Pak Dathan tidak perlu khawatir saya akan merepotkan keluarga Bapak, saya bisa mengatasi masalah saya sendiri.” Tepat ketika aku selesai bicara, pelayan datang membawakan pesanan Dathan. Dia meletakkan gelas jus di depanku dan secangkir kopi di depan Dathan, lalu mempersilakan kami dengan sopan. “Minum dulu,” ucap Dathan tenang. Dia sendiri menyeruput kopinya. Aku melakukan hal serupa, menyeruput jusku melalui sedotan alumunium yang tersedia di gelas. Suasana hening tercipta di antara kami. Degup jantungku secara perlahan meningkat, tidak terlalu drastis tapi terasa menggelisahkan. Dathan meletakkan cangkirnya kembali ke meja, mengangkat pandangan matanya ke arahku dan menatapku dalam. Lidahku mendadak kelu, mata hitamnya yang nyaris pekat seolah mengisap akal sehatku dan membawanya pergi hingga aku tak kuasa mengalihkan perhatian darinya. “Aku akan menikahimu.” Kalimat yang diucapkan Dathan seolah berubah menjadi zat padat dan menghantam gendang telingaku, itu membuatku yakin bahwa aku tidak salah dengar. Akan tetapi aku meragukan kewarasanku sendiri, aku khawatir ini hanya halusinasiku semata. Selama beberapa saat aku terbengong. “Geanina Kyra, kamu dengar aku? Aku akan menikahimu. Aku yang akan jadi ayah bayimu.” Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN