Aku sudah siap berangkat kerja dan bang Tegar masih mencuci motornya sambil bersiul.
"Mau jalan jam berapa bang? Udah mau jam 10 nih." Aku cemberut duduk di kursi depan, melihatnya mencuci motor. "Belum mandi pula kan?"
"Udah dong, sebelum subuhan aja udah mandi." Jawabnya dengan bibir tercebik tersinggung.
"Ayooo abis ngapain keramas subuh-subuh?"
Bang Tegar melemparkan kanebo basah ke arahku, bagus aku cekatan menangkisnya. Kalau gak, kacau dong bajuku. "Ish, jorok ih!"
"Kalau ngomong suka bener." Katanya santai, sambil memasuki rumah mengambil jaketnya.
"Woooooo, buruan itu halalin anak orang!" Seruku sambil cekikikan.
"Dianter abang gak?" Ayah berjalan masuk dari pagar, tangannya menenteng jajanan. Ayah zzzzzz.
"Iya udah mau jalan, aku pamit ya." Mencium tangan ayah, plus dihadiahi kecupan di dahi.
"Hati-hati. Sholat jangan lupa!"
"Iyaaaaa Ayah sayang." Aku cengengesan.
***
Sebenarnya paling males itu kemana-mana dengan Kafka. Selain mulutnya yang jahil, tangannya juga gak kalah usil. Ada aja kerjaannya yang bikin kesal. Seperti sekarang, tangannya mengepang rambutku coba. Udah capek deh ngomelin dia.
Kami sedang di ruang tunggu Next! Magazine. Sudah lama kami bekerja sama dengan media cetak ini. Karena keterbatasan pengurus artikel dalam setiap rubrik di CRAP, mas Prima pun mencari rekanan untuk melengkapi kekosongan dalam halaman CRAP.
Meski 90% yang kami ambil dari Next! lebih ke artikel gaya hidup, hiburan dan events. Karena mereka jelas lebih update soal tiga hal itu. Sedangkan CRAP mengandalkan penulis lepas yang bersedia mengirimkan artikel berdasarkan ketentuan kami tentu saja. Yang dibayar per jumlah viewers. Dan tentu saja, itu memangkas beban untuk menggaji seseorang yang bekerja 24/7 dalam Perusahaan. Juga membuka peluang bagi penulis lepas di luar sana yang memang bakatnya tidak diragukan.
Tapi tetap saja, kadang mencari kriteria jenis tulisan dalam sebuah rubrik bukan hal mudah. Maka kerjasama seperti ini sangat membantu. Juga Kafka sebagai travel blogger atau traveller bisa memberikan informasi, wawancara atau apapun yang bisa Next! gunakan untuk halamannya.
"Haii, sorry banget lama ya nunggu saya?" Oryza datang dengan wajah meminta maaf.
Aku kagum dengan Oryza, beberapa kali bertemu dengannya, dia punya pribadi yang ramah dan humble banget. Karena Oryza bukan hanya sekedar editor populer di Next! Tapi juga putri kedua dari penyanyi senior Gianina dan aktor kawakan siapa ya namanya, aku lupa. Dan Oryza cantik tiada tara. Kakak laki-lakinya juga seorang host program travelling, tapi Oryza enggan mewawancarai kakak laki-lakinya yang juga gak kalah ganteng dari Kafka.
Eh tunggu, barusan kubilang apa? Kafka ganteng? Eewwww.
"Woles Ry, belom jamuran kok kita." Jawab Kafka, Ory langsung menghujaninya dengan jitakan. Mereka lumayan akrab.
"Halo cantik, ya ampun imut banget sih kamu Nay." Ory memelukku, bercipika-cipiki. Dan Oryza memiliki tinggi 170, kutaksir, aku hanya se bahunya dan sedada Kafka atau mas Prima. Minion, Kafka memanggilku kadang-kadang.
"Gue gak di cipika-cipiki deh Ry, pilih kasih lo." Kafka merenggut sok manja.
"Males sama playboy karet kayak lo." Bales Ory sambil tertawa. "Duduk yuk."
Pembicaraan berlanjut mengenai kebutuhan CRAP untuk rubrik lifestyle, hiburan dan event.
"Lo kan editor Ry, kok yang beginian lo urus juga?" Kafka yang kepo to the max, dia emang harus sering-sering ikut kerja di kantor biar tahu artinya multitasking.
"Kayak gak tahu aja lo Kaf, cewek kalau gak multitasking gak kepake. Ya nggak Nay?" Aku mengangguk setuju.
"Ya maklum Ry, Kafka gak tahu. Kerjaannya di kantor main game doang. Kalau gak gangguin ciwik-ciwik." Aku menyahuti.
"Enak aja, gue bantu nge-design tampilan ya kemarin."
"Baru kemarin doang bantuin, belagu!" Aku mencibir lagi.
Oryza tertawa melihat tingkah kami, "pacaran aja kalian berdua, cocok." Katanya.
"Ogah! Amit-amit yaa Allah." Aku mengetukan tangan ke meja berkali-kali.
"Heemm, biarin kualat dia nanti. Gue sumpahin jadi yang paling naksir ama gue." Dih pede banget nih monyet kurus.
Oryza tertawa, aku mendengus sambil terus berdoa dalam hati. Mas Prima aja boleh ya Allah?
Pulang dari Next! Kafka mengajakku makan di warung lesehan khas sunda. Katanya, dia rindu masakan dari tanah kelahirannya ; lalapan, sambal terasi, ikan goreng kering. 2 tahun belakangan ini dia memang cuma mudik pas lebaran saja. Dimana orangtuanya berkumpul di rumah nenek tercinta. Karena kedua orangtua Kafka menetap di Singapore, sang ibu menemani Ayahnya yang ditugaskan disana.
Apakah aku sudah bilang bahwa Kafka ini berdarah campuran? Bukan, maksudku bukan seperti Severus Snape, tapi ayah Kafka seorang kaukasian. Jadi sejujurnya, kalau bukan karena tingkahnya yang pecicilan dan mulut jahanamnya saat nyeletuk nista di depan mas Prima, aku akan bilang bahwa Kafka terhitung tampan. Sayangnya, makhluk berambut kriting berwarna merah, oke agak pirang ini sudah membuat penilaianku anjlok level tiarap ketika mulutnya berkicau tanpa rem di depan mas Prima, seputar perasaanku tentu saja. Ya walau kadang-kadang, dia adalah informan handal yang bisa kutanyai semerdeka mungkin tanpa tahu malu tentang mas Prima.
"Gak ada pete?" Kafka bertanya pada mbak-mbak yang mencatat pesanan kami.
Satu lagi, walaupun berdarah campuran, dengan paras yang gak jauh beda dengan David John Schapp, selera makan Kafka benar-benar diluar nalar untuk cowok ganteng dan terkenal. Apalagi kalau bukan kesukaannya pada petai, jengkol dan sambel terasi. Satu lagi, cowok yang ngaku punya fans ribuan di ig, twitter dan f*******: ini juga cinta mati sama monyet. Iya monyet, salah satu makhluk mamalia dari spesies apes. Disaat teman-teman artisnya posting bareng kucing spinx, anjing pitbul, atau macan albino. Dengan bangga Kafka memposting fotonya bersama kawanan monyet, kera putih, simpanse, dan jenis lainnya.
"Gimana sih rumah makan sunda, masa gak ada pete." Kafka misuh-misuh.
"Itu fans lo tahu gak sih, makanan doyanan lo begituan?"
"Weeish, jangan salah Nay, fans gue mah super pengertian. Gak komplain kalau gue makan apa aja, yang penting halalan toyibah." Dia membalikkan topinya dan meletakkan rokok juga pemantiknya di atas meja.
"Yang komplain siapa kalau lo makan pete?"
"Mantan hehe, pas mau gue cium pipi gue malah ditabok. Bau pete katanya." Kafka tertawa senang, dasar peak!
"Kalau habis makan pete lo gak makan apa gitu biar aromanya hilang?"
"Biasanya minum kopi juga bikin ilang, kadang gue iseng aja. Kadar cinta pacar gue semana sih. Eh sebatas bau pete." Dia tergelak lagi.
"s***p!" Aku merutuk.
"Kalau mas Prima makan pete juga lo pasti masih mau kan deket-deket?" Jari panjangnya menunjuk wajahku. Yang kutepis secepat kilat.
"Bagusnya dia gak pernah tuh makan pete." Aku meleletkan lidah ke arahnya.
"Oh mas Prima gak suka makan pete, cuma jengkol sih gak nolak. Huahahaha."
"Hoax lo!"
"Tanya aja."
"Ogah, gak penting amat."
Empat atau lima orang gadis remaja di belakang Kafka berbisik-bisik dan memandang ke arah meja kami. Duh, lupa, aku kan lagi jalan sama artesss. Aku menggaruk tengkuk, memberinya kode untuk menoleh ke belakang.
"Aaaaaaaa. 'Aa Kafka!"
Spontan gadis-gadis itu menjerit begitu Kafka menoleh ke arah mereka. Seolah seperti sedang bertemu boyband korea yang ucul ucul, mereka merangsek maju sambil bergumam gemas.
"Boleh minta foto bareng gak 'a?" Tanya si gadis dengan bandana ungu.
"Eh lagi pacaran ya?" Tanya si mungil dengan kuncir dua.
"Ehm 'Aa udah putus sama teh Sandra? Yah padahal favorit couple banget!" Kini si baju merah ikut-ikutan.
"Sabar-sabar, ini partner aku. Lagi ada omongan tentang kerjaan. Boleh foto, tapi nanti saya lanjut meeting ya? Kalau mau liat dari jauh aja. Gimana? Oke ya!" Kafka memberi solusi pada 'fans' nya itu.
Dan terjadilah, aku sebagai fotografer dadakan. Memfoto mereka ber-enam, dan yang berdua-dua dengan Kafka. Hingga menggunakan lima ponsel bergantian. Setelah puas dengan wefie, selfie, ngobrol manja dan peluk-pelukan, para abg itu pun pergi menjauh. Dan thanks God, manajemen rumah makan juga turun tangan. Yah walaupun dengan permintaan, Kafka foto di depan papan nama untuk promosi tak lupa memberikan kami diskon dalam makanan yang kami pesan. Super! Pesona keartisan Kafka.
Kafka mengeluh macet karena saat ini kami mengendarai mobil mas Prima. Konon, Kafka lebih nyaman mengendarai roda duanya yang diberi nama Kabayan.
"Ck, coba bawa si Kabayan. Udah nyampe kantor lagi kita," Kafka melirik jam di lengan kanannya dan menjerit, mengagetkanku "jam setengah tiga Nay, gue belom dzuhur!"
Salah satu hal yang membuatku mengakui kagum pada Kafka, ibadahnya yang tidak pernah tinggal. Bahkan ketika sedang berada di daerah pelosok yang kesulitan air atau sarana ibadah, tidak segan-segan Kafka menggelar sajadahnya di lapangan terbuka atau tempat bersih lainnya dan bertayamum atau mencari akal untuk mendapatkan wudhu. Info itu kudapatkan dari managernya, mas Ardhi.
"Elo sih kelamaan chit chat manja sama dedek gemes tadi. Gue juga belom dzuhur, dul."
"Alaaaaah kalau gak gue ingetin juga lo gak bakalan inget kan, tuh senyum-senyum penuh dosa." Tudingnya.
"Sue lo nyet! Inget gue, jamak aja deh kalau gak keburu. Lagian heran juga gue, muka m***m kayak lo masih inget dosa ninggalin sholat ya." Kafka menghela napas dramatis, dan kutahu jawabannya pasti akan membuatku berhasrat untuk menjambak rambut gondrongnya.
"Karena gue sadar, ganteng aja gak cukup untuk masuk surga." See?
"Sok iye lo nyet!" Aku tarik rambutnya hingga ia memiringkan kepala.
"Sakit kampretttttt."
"Sokoorr, kebanyakan gaya sih lo. Pencitraan!" Dengusku.
"Hahaha, gue inget pesen nini gue Nay. 'A kalau udah sukses inget sama yang kasih kesuksesan. Kalau masih bisa bernapas hari ini, inget sama yang kasih napas. Gitu."
"Simple ya tapi ngena," jawabku, sambil menyunggingkan senyum ke arahnya.
"Yohaah, nini gue tercintah gitu loh. Waktu gue memutuskan untuk jadi traveller, pesen nini gue cuman satu. Kemanapun kamu pergi, inget, Allah selalu ada disana. Jadi jangan coba-coba ngumpet menghindari Dia. Gak akan bisa."
Aku tertawa, karena Kafka benar-benar menirukan suara nenek-nenek, yang aku yakini bukan suara neneknya. Aku tahu nenek Kafka masih sehat dan gagah, suaranya pun masih sangar dan jelas. Tidak seperti yang dipraktekkan cucu durhaka ini barusan.
Begitu sampai kantor, Kafka langsung bergegas lari ke lantai dua. Mengejar waktu sebelum masuk Ashar, katanya. Aku berlari kecil mengikutinya setelah meletakkan tasku di meja.
~tbc~