Aku terbangun, dengan lengan besar memelukku. Yaa Allah! Mas Prima. Aku bangkit pelan-pelan, tak ingin membangunkannya yang sedang terlelap. Kami masih berpakaian lengkap, tentu saja. Emang mau ngapain mas Prima, dalam kondisi tubuh yang sedang tidak sehat begitu.
Aku merasakan hawa dingin AC menerpa kulitku. Pasti mas Prima yang menyalakannya, tidak ingin membuat kami kepanasan. Ya ampun, wajahku memanas. Baru juga jadian, sudah ada adegan bobok bareng di ranjang. Astaga!
Kurapatkan selimut hingga ke d**a bidang mas Prima. Aku amati wajahnya yang damai dalam lelap. Bayangan jenggot tipis dan sedikit brewok menghiasi rahang tegas itu. Waktunya bercukur, huh? Hidung mancungnya yang memerah sudah bernapas dengan lancar, flunya tidak parah. Aku bersyukur. Bulu mata panjangnya membuat bayangan di kedua pipi mas Prima.
Iya, aku menyayangi pria ini. Aku mencintainya. Meski aku tahu, dia belum bisa memberikan hatinya untukku. Tapi aku akan membuat mas Prima mencintaiku, hanya aku. Tidak masalah jika mas Prima ingin melupakan mantannya denganku, mas Prima harus melupakan siapa tadi? Anggora? Aurelia atau, aah Aurora. Aku akan bersabar untuk membuat mas Prima melihatku dan mencintaiku. Entah keyakinan darimana, aku tahu suatu saat nanti mas Prima benar-benar mencintaiku.
***
Aku baru saja selesai shalat maghrib saat mendengar suara pintu di lantai 1. Ada seseorang datang dan derap langkahnya kini menaiki tangga. Aku berbalik untuk melihat, siapakah yang akan menemani mas Prima malam ini.
Kafka berdiri di ujung tangga, sama kagetnya melihatku. Seketika seringai jahil menghiasi wajah jahanamnya.
Kenapa harus dia sih yang datang?
"Ciieee lembur, atau sengaja melemburkan diri?" Ocehnya.
Aku malas menanggapi dan memilih menaiki tangga ke lantai 3. Kafka mengikuti di belakangku.
"Mas, punya karyawan rajin begini. Enaknya dinaikin gaji. Tapi kalau Naya sih--"
Aku memberinya tatapan maut yang siap merontokkan seluruh rambut keriting gondrongnya yang memuakkan.
Kafka makin melebarkan cengirannya dan melanjutkan celetukkan laknat-nya "dinaikkin aja statusnya dari karyawan-bos-zone jadi, abang-adek-zone.. Bhuahahahaahahaha." Setan itu terpingkal-pingkal sekarang.
"Berisik lo Kaf! Yang gue minta dibawa gak?" Mas Prima juga enggan menanggapi ocehan Kafka.
"Bawa dong. Nih!" Kafka mengulurkan flashdisk dengan karakter Bumblebee.
Tapi tunggu, mas Prima tidak mencoba memberitahu Kafka tentang hubungan kami yang baru? Dia mau backstreet? Okay, aku ikuti saja maunya.
"Mau pulang sekarang? Diantar Kafka ya?" Mas Prima melihatku yang berdiri di pintu, aku mengangguk.
"Naik ojek aja deh, daripada tersiksa batin sama dia." Aku meraih tas dan pashmina yang tadi kubawa ziarah.
"Hujan tuh, gue bawa mobil lho." Kafka menunjuk jendela yang tirainya kini tertutup. Aku tahu hujan dari sore tadi.
"Sama Kafka aja ya, mas sekalian mau nitip makanan."
"Gak papa ditinggal sendirian?"
Kafka berdeham dengan keras, sangat keras. Hingga aku berharap tenggorokannya copot saja sekalian. Biar rasa monyet itu.
"Gak papa, nanti Kafka nginep disini kok."
Aku mengangguk dan pamit pada mas Prima, "makasi ya Nay. Hati-hati nyetirnya Kaf!" Kafka membentuk huruf O dengan jarinya.
***
Sepanjang jalan tak henti-hentinya Kafka meledek keberadaanku di kantor pada hari Minggu. Aku malas meladeninya kali ini, juga malas menjelaskan status baruku dengan mas Prima.
Tapi aku beneran pacaran kan sama mas Prima? Hatiku berbunga-bunga.
"Makan dulu yuk, tuh nasi goreng gila mpok Lela." Kafka memarkirkan mobilnya di tempat makan yang biasa kami singgahi.
"Pesenin buat mas Prima juga ya Kaf." Aku berpesan, Kafka mengerling jahil yang kubalas dengan tatapan malas.
Kafka duduk di hadapanku, dan membuka jaketnya. "Udah sih, cari pacar aja sana. Daripada nungguin cowok yang juga lagi ngarepin orang lain." Kafka melanjutkan petuahnya, aku hanya mengedikkan alis tanda tak tertarik.
"Lima tahun lho, coba lo pacaran sama orang lain. Sudah warna warni hidup lo." Lanjutnya lagi.
"Gak ada yang mau sama gue." Jawabku asal. Kafka berdecak.
"Tau gak kenapa lo jomblo selama ini? Karena lo sibuk perhatiin satu titik yang gak bergerak. Sedangkan disekitar lo puluhan titik bergerak, berputar, meminta perhatian. Dasar lo aja gak peka!" Katanya sewot.
"Woles aja dong!"
Pesanan kami datang, aku menyeruput lemon tea hangat yang dihidangkan.
"Lagian lo, ngapain juga lima tahun nungguin satu orang. Yang jelas-jelas gak ngeliat lo." Lanjutnya lagi.
"Iyaaa monyet, makanya kenalinlah gue sama temen-temen lo yang kece itu."
Oke, aku akan menyimpan rapat-rapat hubunganku dengan mas Prima.
Kafka tertawa lebar, "ogah! Lo gak tahu aja brengseknya mereka."
"Namanya juga laki. Kalau gak b******k ya homo. Hahaha kalau lo yang mana?"
"Gue sih b******k dalam tahap wajar, yang gak wajar itu banyak diluar sana." Jawabnya jumawa, aku mencibir.
"Lo kenapa putus sama Sandra?"
Dia mengangkat bahu, terlihat gak tertarik untuk membahasnya. Tapi aku gak nyerah, enak saja dia, setelah habis-habisan meledekku dikira aku gak bisa balas apa.
"Gara-gara aroma maut pete lo itu ya?"
Kafka tertawa, "gak lah pe-ak! Gue mergokin dia 'maen' sama temen gue. Malas lah bahasnya." Dia tertawa, hambar.
"Curang lo ah!" Aku bersungut-sungut.
"She cheated me. Having s*x with my friend, what should i do? I left her."
Aku menatapnya, wajah Kafka sekarang menyiratkan luka yang dalam. Aku tahu bagaimana Kafka sangat menyayangi Sandra dan semua masa lalunya. Yang dilakukan Sandra tentu sangat diluar batas toleransi Kafka.
"Lo tanya gak, kenapa dia melakukan itu?"
Kafka tertawa sinis, "karena gue selalu menolak diajak ke ranjang." Jawabnya.
Aku tertegun. Kafka yang di depanku sekarang begitu membuatku terpesona, kali ini. Dari sekian banyak teman pria yang kukenal, Kafka satu-satunya orang yang berpikiran lurus dan menerapkan betul yang diajarkan neneknya tentang Agama dan segala larangannya.
Bukan pertama kali Kafka cerita tentang Sandra yang selalu mengajaknya berhubungan badan. Bahkan Sandra meragukan orientasi seksual Kafka. Meski begitu, Kafka tidak pernah marah dan memilih membiarkan Sandra berpikir apapun yang gadis itu mau. Sandra bahkan pernah menjebaknya saat mereka berada dalam satu frame acara yang sama. Tapi Kafka dan segala self-control-nya mampu menolak permintaan Sandra yang menangis, berharap disentuh olehnya.
Hubungan fisik yang Kafka berani lakukan hanya memeluk dan ciuman, katanya. Meski kadang celoteh m***m dan tak berfaedah keluar dari mulutnya, tapi Kafka sering menunjukkan padaku bahwa dia adalah pria dengan segala ketakwaannya.
"Yaudah, cari yang model-model kayak LCB gitu loh. Atau Fatin, yang hijaban. Banyak kan artis yang pake hijab sekarang." Aku mencoba menghiburnya.
"Gue mau ta'aruf aja, gak pake lama. Asal kenal si cewek dan keluarganya, gue langsung lamar." Katanya, dengan seringai jahil.
"Halaahh, model-model kayak lo mana kuku sih bertahan ngejomblo." Memang si kurus keriting ini jarang ngejomblo lama.
"Wah, sepele! Saking aja dicomblangin sama tim dan orang management makanya gue pacarin juga tuh cewek-cewek. Kalau gak mah, mana mau. Melepaskan hasrat bisa solo kok."
"Iyuh, dasar otak m***m! Tukang mainan sabun."
Kafka tergelak puas.
Terlepas dari mulutnya yang jahil, Kafka adalah teman yang perhatian dan baik. Aku tahu itu, tapi malas aja bersikap baik sama dia sejak perasaanku pada mas Prima jadi sasaran empuk mulut laknatnya.
~tbc~