11. Pertemuan

1332 Kata
"Jadi ini alasan lo nolak gue, Vi?” tanya Bara yang ternyata berjalan mengikuti Vivi ke kamar mandi. Sedikit kecewa tapi mau bagaimana lagi. Ya, Bara bukanlah anak kecil yang tidak tahu arti mual apa itu, apalagi ibu angkatnya yang sedang hamil muda juga sedang merasakannya. Itulah sebabnya Bara tahu betul. Setelah membersihkan mulutnya Vivi berbalik menatap Bara penuh permohonan. Vivi memang juga menyayangi Bara dan ingin hidup sama-sama lagi seperti dulu. Tapi bukan sayang dan hidup bersama-sama seperti ini yang Vivi maksud. Melainkan sayang seorang adik kepada kakaknya, juga hidup hidup berdampingan maksudnya. Lagipula ya, Vivi sudah menikah dan berbadan dua. Meski hubungannya tidak begitu jelas atau bahkan diambang kehancuran tapi tetap saja. Vivi yang berdiri sekarang bukanlah Vivi yang sama seperti dulu. Jadi itu tidak mungkin. Lagipula Vivi tidak ingin mengecewakan Bara dengan membohonginya. “Bar-” Tidak mengizinkan Vivi bicara, Bara segera pergi. Membuat Vivi yang tadi bahagia mendapatkan orang yang masih peduli padanya sepertinya akan kehilangan lagi. Namun tidak, pria yang Vivi kira marah dan akan membencinya itu ternyata kembali lagi dengan obat di tangannya, “Minum vitamin itu. Ibu angkat gue juga lagi hamil muda dan sering morning sick kayak lo. Tapi setelah minum itu dia lebih enakan. Jadi minumlah, moga aja lo juga cocok dan bisa istirahat setelah minum itu,” ungkap Bara sontak membuat mata Vivi semakin memupuk. “Bara, Lo?” “Jangan nangis! Gue ngga kenal Vivi yang cengeng kayak gitu!” sentak Bara tapi malah membuat Vivi memeluknya. “Makasih ya, Bar. Makasih banyak udah ngertiin gue. Lo emang kakak terbaik bagi gue. Bara lo kakak terbaik bagi gue,” ulang Vivi masih memeluk pria itu. Sementara Bara hanya diam. Sebenarnya bukan pelukan hangat sebagai kakak yang dia inginkan, Bara menginginkan lebih. Tapi mai bagaimana lagi? Bara bukan Tuhan yang bisa membalikan waktu dan perasaan. Setelah menyelesaikan obrolan mereka, Bara mengajak Vivi untuk makan siang bersama keluarganya. Awalnya Vivi menolak dan ingin segera pergi, tapi ajakan ibu angkat Bara membuat Vivi tidak bisa menolak. “Berapa minggu kandunganmu, Nak?” tanya Ibu Bara saat mereka sudah berkumpul di meja makan. Vivi menatap Ibu dan ayah angkat Bara itu sedikit sungkan, kemudian menjawab. “Baru satu mingguan mungkin, Bu.” “Oalah, masih sangat muda sekali berarti, ya,” ungkap Ibu Bara sama ramahnya seperti ayahnya. “Jaga janinmu baik-baik, ya, Nak. Hati-hati, karena hamil muda rentan sekali dengan yang namanya keguguran,” sambungnya. Bara yang masih mendengarkan hanya diam. Jujur, ia sedikit tidak suka dengan pembahasan hal ini. Tapi setelah ibunya kembali bicara barulah Bara fokus dan menatap wanita itu penuh cinta. “Kamu tahu? Ibu juga dulu hamil muda seperti mu, lho. Tapi sayang, sering keguguran. Dokter sampe bilang rahim ibu ngga bagus dan ngga yakin bisa punya keturunan. Dulu ibu dan ayah Bara sangat sedih karena itu artinya tidak akan ada yang mau mengurus kami setelah kami tua nanti. Tapi itu tidak lagi setelah kami punya Bara,” ucap wanita itu seraya menatap Bara penuh sayang. “Dan apa kamu juga tahu, Nak? Berkat kehadiran Bara, ibu malah bisa hamil bahkan di usia yang sudah cukup senja. Mematahkan doktrin sang dokter tadi klo ibu ngga mungkin dapet keturunan,” sambung wanita itu yang segera di timpal oleh suaminya. “Benar! Ayah kira ayah juga akan segera dapat menantu karena Bara bilang jika teman kecil yang dulu disukainya akan datang. Eh ternyata sudah nikah lho,” ucap Ayah sontak membuat Bara menatapnya. “Ayah!” “He he ayah becanda. Kalau boleh tahu ke mana suamimu, kenapa tidak antar?” Ditanya seperti itu, Vivi langsung kikuk. “Eh, anu. Beliau dinas, Pak!” Bara menatap tajam, sementara ayah angkatnya kembali bicara. “Oh, Dinas. Padahal ngga baik ninggalin istri yang sedang hamil muda. Rawan keguguran soalnya.” Vivi hanya mengangguk seraya tersenyum kikuk. Kemudian memutuskan untuk segera menyelesaikan makannya dan pulang dari sana. Ya, Vivi berniat untuk segera pulang dari rumah Bara, Dia tidak ingin lebih banyak berbohong dan membuat hatinya tersiksa lagi nanti. Sementara Bara yang sudah di dalam mobil segera menarik tas Vivi dengan cepat. Ya, pria yang kini sudah memiliki keluarga lengkapdan harmonis itu berniat mengantar Vivi ke kediamannya. Mengingat gadis itu datang sendiri dan sedang hamil juga. “Bar, padahal gapapa ko, gue kan bisa pualng di bis!” “Dengerin ucapan bokap nyokap gue, kudu hati-hati klo lagi hamil. Lagian lo anggap gue sebagai kakak apa ngga sebernya? Ngeyel gitu!” Vivi sontak tersenyum sembari menatap pria itu. “Baiklah kakakku yang galak, maafkan adikmu yang nyeyel ini!” ujar Vivi seraya mengatupkan kedua tangannya. Bara hanya tersenyum kecil kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Perjalan dari desa ke kota dimana Vivi tinggal cukup jauh, cukup memakan waktu dan tenaga. Terbukti saat perjalanan dilakukan dari siang hari dan baru sore harilah Bara dan Vivi tiba di apartmennya. Bara yang melihat Vivi tertidur segera membangunkan gadis itu. “Vi, bangun. Apa ini bener alamatnya?” ujar Bara seraya mengusap punda Vivi. Vivi yang sudah bangun seketika melihat sekitar, ia cukup terkejut karena mereka sudah tiba di sore hari. Padahal ia tidur saat mobil Bara melaju tak lama dari rumahnya. Itu artinya Vivi tidur begitu lama. “Bener, Bar. Oh, ya. Maaf ya gue jadi ngerepotin lo, udah gitu gue cuman tidur lagi bukannya nemenin lo nyopir.” “Gapapa kok gue ngerti. Mungkin lo cape atau mungkin efek bayi juga,” ujar Bara sontak kembali membuat Vivi mengingat semua masalahnya. Tapi tak ingin berlarut-larut, Vivi segera keluar. “Masuk dulu, yu. Gue buatin cemilan kecil buat lo.” “Hm, ngga usah, deh!” “Ayo, Lah. Masa kakak ngga mau nyimpang dulu ke rumah adenya.” Rayu Vivi yang langsung membuat Bara mengalah. “Ya, ya. Cuman cemilan, ya. Gue harus balik lagi dan bantu bokap gue soalnya.” “Iya kakakku yang baik hati!” ujar Vivi senang. Menarik tangan Bara kemudian masuk ke dalam lift. Namun tak lama suama berat mengejutkan mereka. “Ini yang kamu lakukan di belakang saya?” katanya tegas. Vivi langsung melepaskan tangan Bara, menatap Destra sedikit terkejut. Tapi tidak sepanik dulu, Vivi yang merasa sudah di buang mencoba menetralisir ketakutannya dengan menghela nafas kecil kemudian menatap Destra dengan lebih tenang. “Siapa, Vi?” tanya Bara kecil. Bara melihat pria dihadapannya dengan mata teliti. Cukup dewasa dan berwibawa, tapi Destra terlihat begitu dingin dan Arogan dimatanya. Terlihat dari tingkah pria itu yang tidak memperdulikan sekitar dan hanya fokus pada Vivi. “Atasanku!” jawab Vivi sontak membuat Destra menatap tajam. Entah kenapa dia sedikit tak suka mendengar jawaban itu. Lebih suka Vivi menjawab dengan kata ‘Dia suamiku?’ Entahlah. Ingin bicara, tapi segera di dahului oleh Vivi. “Pak Destra, saya tahu jika anda ke sini pasti untuk mencari saya karena saya tidak masuk kerja kemarin. Tapi saya lupa mengabari jika saya sudah mengirimkan email pengunduran diri saya kepada anda,” ujar Vivi sontak membuat Destra mendorong tubuh Vivi dan mengapit wajahnya kasar,”Berani kami mengundurkan diri dari saya?” ancam Destra dengan suara berat. Bara yang melihat itu tentu saja tidak tinggal diam, menyingkirkan tangan Destra dengan kasar juga kemudian menatap pria itu tajam. “Begitukah sikap anda kepada wanita tuan?” Bara tertawa, “Saya tidak menyangka kau memiliki bos yang Arogan dan tidak sepadan seperti ini, Vi,” cibir Bara sukses mamatik amarah Destra. “Kamu?!” “Apa? Anda memang bosnya. Tapi anda sama sekali tidak berhak menyentuhnya, Tuan Destra yang terhormat. Ingat, dia adikku! Dia juga punya suami yang pasti akan melindunginya!” ungkap Bara membuat Destra tersenyum kali ini. Adik? Destra tahu betul Vivi adalah anak panti dan besar di sana. Sementara suami? Pria ini tahu Vivi sudah menikah? Baguslah, itu artinya dia tidak perlu repot-repot menjelaskannya pada pria ini karena Vivi sudah memperkenalkannya lebih dulu. “Oh, ya?” Mengangkat tangan dengan bibir yang masih tersenyum, “Kalau begitu perkenalkan. Saya Destra Albert Davidson, suami sah dari Vivi Alviani, guga ayah kandung dari bayi yang ada di dalam kandungannya!” Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN