6. Kabar pagi

1474 Kata
“Kamu yakin kamu meminum itu?” Destra kembali menatap tajam. “Iya, saya yakin, Tuan. Saya meminum itu tadi,” jelas Vivi yang langsung membuat Destra memeluknya. “Eh ada apa ini?” “Kamu telah berani meminum minuman yang bukan hakmu, jadi kau harus dihukum!” tutur Destra seraya mengendong tubuh Vivi dan melemparnya ke atas kasur. * Keesokan harinya, Bella yang tidak sabar mendengar kata perceraian keluar dari mulut Destra malah melihat hal semakin membuatnya benci. Pagi-pagi sekali Bella melihat Vivi mual dan muntah-muntah. Gadis itu hamil? Entahlah, yang pasti Destra sudah heboh, menggendong Vivi dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobil. “Minggir!” sentak Destra saat Bella menghalangi jalannya. Gadis itu mengepal kuat. Semakin benci dan murka pada Vivi. Tapi tak ingin ketinggalan info, Bella yang tadi sempat menggeser buru-buru ikut masuk ke dalam mobil, ingin ikut. “Lee, cepat!” “Baik, Tuan!” Dan tak butuh waktu lama, mobil yang mereka tumpangi kini sudah tiba di rumah sakit terdekat. Dengan gayanya yang cool, Destra kembali membopong Vivi dengan gaya bridal style. Diikuti oleh Sekertaris Lee dan Bella di belakangnya. “Ada yang bisa kami bantu?” Salah satu dokter menghampiri mereka. “Periksa dia, saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya?” ungkap Destra jujur. “Ya, Dok! Cepat periksa dia. Dia mual dan muntah-muntah tadi. Saya pikir dia hamil, tapi coba periksalah, saya juga ingin tahu apa bayi kami baik-baik saja?” Seolah Bella lah ibu dari sang bayi yang belum jelas itu, ucapan Bella sontak membuat Destra menatapnya. Melepaskan Vivi kemudian membiarkan dokter mengeceknya. “Apa maksudmu!” Setelah kepergian sang dokter, Destra sedikit mendorong Bella dan sedikit menekan pipinya. “Mas, apa maksudmu? Memangnya apa yang kulakukan?” Seolah tak melakukan salah apapun, Bella bertingkah sok polos. “Apa maksudmu berkata seperti itu?” Bella mencoba meraih wajah Destra tapi tak sampai, pria itu memalingkan wajahnya. “Ada apa, Mas? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Bukankah itu benar? Kita akan mengambil bayi itu dan merawatnya,” ujar Bella mencoba mengingatkan. “Tanpa gadis itu tentunya,” tekan Bella yang entah kenapa membuat Destra tak suka, kemudian memilih masuk ke dalam ruangan dan pergi meninggalkan Bella. “Bagaimana keadaannya?” tanya Destra saat ia sudah masuk. Dokter tadi tersenyum seraya menjabat tangan, “Selamat, Tuan. Sebentar lagi anda akan menjadi seorang ayah, istri anda positif hamil,” ucap Dokter yang langsung ditarik tangannya oleh Bella. “Terima kasih! Kami akan berusaha menjadi orang tua yang baik untuk anak itu!” ungkap wanita itu sontak membuat Vivi menatapnya, dan tentu saja membuat hati gadis itu membeku. Entah kenapa, dia begitu tidak bahagia akan kehadiran bayi ini. Entah karena Vivi tidak mencintai ayah dari bayinya, atau karena pernikahan mereka yang dadakan atau memang karena bayi ini tidak akan menjadi miliknya nanti. Semua alasan itu sepertinya cukup membunuh rasa bahagia Vivi. Destra yang tidak suka mendengar ucapan Bella kembali menatap wanita itu tajam. “Mas, kenapa kau melotot seperti itu? Apa kau tidak bahagia?” Pura-pura tidak mengerti kemudian menatap Vivi, “Kamu tidak sedang mencoba menggugurkan bayi ini, kan?” sambungnya sontak membuat air mata Vivi langsung menetes. “Tega sekali kata-kata itu, apa benar Tuan Destra tidak menginginkannya?” batin Vivi menduga. Sementara Destra yang sudah muak dengan semua tingkah Bella segera menarik tangan gadis itu keluar dari ruangan. “Cukup!” sentaknya. Bella hanya tersenyum kecil, kemudian buru-buru memeluk Destra dan kembali tersenyum dengan lebih lebar. “Ada apa? Apa aku salah bahagia atas kehamilan itu? Aku tahu, awalnya aku memang membenci pernikahan kalian. Tapi sekarang aku bahagia mas, kehadian bayi itu sangat ngebuat aku bahagia,” Dengan posisi yang masih memeluk Destra, Bella mencoba meyakinkan. Destra sendiri menghela nafas panjang, dia dan Bella memang sama-sama menginginkan anak, tapi ketidak inginan perubahan bentuk tubuh Bella yang seorang model membuat wanita itu menunda kehamilannya. Meminta Destra untuk menunggu beberapa tahun lagi dan membuat pria itu tak suka. Dan hal itu jugalah yang selalu menjadi perdebatan di antara mereka hingga akhirnya rumah tangga mereka renggang alias tidak baik-baik saja. “Meski bayi itu bukan anaku, tapi dia darah dagingmu. Aku akan mencintai dan menyayangi darah dagingmu itu dengan sepenuh hatiku, Mas,” sambung Bella sontak kembali membuat Destra luluh. Bella benar. Meski awalnya wanita itu begitu egois dengan tidak ingin hamil, tapi Destra mengerti sekarang. Keterbukaan tangan Bella dalam menerima bayi itu, itu artinya Bella masih memikirkan perasaannya. Kembali masuk ke dalam ruangan, Destra dan Bella tidak mendapati Vivi di sana. Dimana gadis itu? Destra yang panik segera menemui dokter tadi. “Nona Vivi sudah pergi, Tuan. Dia bilang ingin segera istirahat tadi,” ucap sang dokter itu sopan. “Mas, apa kita kelamaan?” tanya Bella sontak membuat Dokter itu menatapnya. Bingung dengan hubungan mereka mungkin. Tak mau terjadi apapun pada Vivi dan bayinya, Destra segera pergi menuju mobil. Ingin menyusul wanita yang sepertinya salah faham padanya itu. * Sementara di tempat lain, Vivi yang kini berada di dalam taxy menumpahkan seluruh kesedihannya. Dia tidak pernah menyangka takdirnya akan seperti ini. Dengan tak tahu dirinya, Vivi memang pernah berdoa dengan meminta jodoh pria kaya, tapi bukan kaya seperti ini yang dia inginkan. Vivi menginginkan pria kaya yang bisa mengangkat derajat dia dan keturunannya nanti, juga yang mencintai dan menyayangi mereka. Cukup lama Vivi menangis, taxy yang dia tumpangi akhirnya tiba di sebuah perusahaan. Ya, Vivi memutuskan untuk kembali bekerja. Bukankah dia akan dibuang setelah ini? Jadi dia putuskan dia harus bekerja keras dan nabung, persiapan di depak nanti. “Vivi!” Baru saja gadis itu keluar dari mobil, suara yang begitu ia kenal memanggilnya. Disusul dengan seseorang yang lari menghampiri kemudian memeluknya. “Vi, lo baik-baik aja, kan?” tanya Viola. Jujur, dia begitu khawatir pada sahabatnya itu. Masalahnya, Vivi menikah dengan bos mereka yang galak, sudah punya istri pula. Huft! Entah perlakuan buruk apa saja yang Vivi dapatkan selama dia berada di sana. Viola tidak sanggup membayangkan. Vivi tak menjawab, hanya tersenyum lesu kemudian menarik lengan Viola agar segera masuk ke dalam kantin kantor. Di sana, Vivi kembali menceritakan semua yang ia alami selama di rumah Destra kemarin. Mulai dari ketangkap basah di kamar baru itu, rencana Bella dan Destra yang akan menceraikan dan mengambil bayinya hingga kejadian di rumah sakit. Semuanya Vivi ceritakan tanpa ada yang dikurangi dan dilabihkan. Vivi yang sejak tadi mendengarkan segera memeluk sahabatnya erat, “Jadi sekarang lo lagi hamil?” Vivi mengangguk kecil. Hamil yang bukan miliknya tentunya. Ya, bukankah dia akan dibuang setelah ini? Dan hanya akan ada nama Bella dan Destra yang dikenal bayinya. “Vi, lo yang sabar, ya! Gue turut sedih atas apa yang menimpa lo selama ini,” tutur Viola sendu. Viola tahu betul perjuangan Vivi agar bisa lulus sekolah dulu, hidup tanpa orang tua dan keluarga memanglah sakit dan menyakitkan. Hanya mengandalkan para pengasuh dan uang donatur. “Gapapa, gue cukup tau diri ko buat dapetin tu semua, Vil!” ucap Vivi yang tidak begitu terdengar jelas karena tak lama kemudian, beberapa karyawan yang juga baru tiba ikut duduk dan nimbrung. Istirahat dulu, mungkin. "Eh Lo tau ngga, sih, bos kita ngga jadi jadi dudanya tau!" Viola yang terkenal galak segera menimpal, "Maksud Lo?" katanya dengan nada sinis. "Lo ngga liat berita pagi ini? Bu Bella, model yang cantik dan eexy itu hamil. Mungkin itu alasannya Pak Destra ngga jadi cereiin istrinya," ungkap wanita yang bernama Caca itu heboh, kemudian bersemangat mendekati Vivi. "Vi, Lo ngga patah hati kan liat mereka rujuk?" Kata Caca lagi memancing. Masalahnya, semua tahu jika Vivi adalah wanita tercantik dan termuda di perusahaan sini. Jadi, tak elak jika semuanya iri pada Vivi. Apalagi semenjak Pak Destra mengangkat Vivi sebagai sekertarisnya. Viola yang mendengar itu semakin tak suka, "Jaga, ya bicara Lo!" "Vil ...." Vivi menggenggam tangan sahabatnya itu lembut. "Biasa aja kali, gue kan cuma tanya. Kan, Guys?" sambung Caca pada teman-temannya. Kemudian memilih pergi dan segera masuk ke dalam ruangan. Sementara Viola yang kesal semakin kesal saja mendengar ocehan para karyawan. Mereka tidak tahu, ya. Ada hati baik yang mereka lukai akibat perbuatan mereka. Viola yang penasaran segera membuka ponselnya. Dan benar saja, wanita itu memposting kegiatannya di rumah sakit pagi tadi, lengkap dengan foto Destra yang sedang berbincang dengan dokter di sana. "Gila, ya ni orang. Cantik sih cantik, tapi ngga punya hati. Masa dia posting foto beginian, buat apa coba? Seolah dia yang hamil gitu maksudnya? Jahat banget, sih, yang sebenernya hamil kan elo," gerutu Viola. Sementara Vivi yang mendengar hanya diam. Memangnya bisa berbuat apa dirinya yang hanya sebatang kara ini? Tak lama, suara Viola selanjutnya membuat Vivi sedikit terkejut. "Vi, gimana kalo Lo kabur aja. Lo bawa tu bayi sama Lo. Enak aja kan, Lo yang susah-susah bunting, dia yang ngakunya." "Berani kamu kabur dari saya?" Suara berat muncul dari arah belakang. Viola dan Vivi sama-sama menoleh. "Pak Destra?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN