Bab 2 Tertangkap
"Dimana gadis itu? Pasti nggak jauh dari sini,” teriak salah seorang preman bertubung kurus. Kedua preman masih mengedarkan pandangan mencari keberadaan Gita yang tidak terlihat seujung rambutpun.
"Ya Rabb, inikah balasan atas perbuatanku meninggalkan suami. Sungguh ini awal kemalanganku. Tolonglah hamba-Mu ini!"
Prank,
Suara benda jatuh tak sengaja tersenggol Gita yang sedang bersembunyi di dekat tong sampah besar.
"Itu, dia. Tangkap, kak!"
"Mau kemana kamu gadis cantik? Ayo kita minum-minum dulu!"
Andai bisa beladiri, Gita pasti akan menghajarnya sekarang. Namun itu hanya dalam mimpinya.
"Jangan mengganggu wanitaku! Pergi dari sini!" Bentakan laki-laki bertubuh tinggi besar membuat dua preman tadi kocar kacir.
"Terimakasih, Pak."
"Tak masalah, kamu mau kemana? Ini sudah malam, ayo saya antar!"
"Saya dijemput teman di gerbang masuk terminal."
"Ya sudah, ayo!"
Gita menurut saja masuk ke mobil sedan warna hitam. Tak terbesit dia orang baik atau jahat, Gita menganggapnya sebagai dewa penolong.
"Minum dulu, biar kamu tenang!" perintahnya.
Namun prasangka baiknya terpatahkan. Kenapa butuh lama untuk sampai gerbang terminal. Tiba-tiba mobil ditepikan di daerah jauh dari pemukiman. Rasa curiga Gita terbukti, laki-laki yang disangka dewa penolong memandangnya penuh seringai.
Pandangan Gita tiba-tiba sedikit kabur. Dia memegang kepala yang mulai terasa pening.
"Kenapa kepalaku pusing sekali."
Tangan laki-laki itu mulai menggerayangi tubuh Gita.
"Jangan, Pak! Tolong lepaskan saya!"
"Kamu pikir aku menolongmu dengan sukarela? Jangan mimpi! Di dunia ini tidak ada yang gratis."
"Ampun, Pak!" Gita memohon belas kasihan dengan sisa tenaganya. Namun sang pelaku tak berhenti melakukan aksinya.
Masih dengan sisa kewarasannya, Gita meraih parfum mobil, lalu menyemprotkan ke wajah lawannya.
"Aargh, wanita sial*an."
Buru-buru Gita meraih gagang pintu mobil dan berusaha kabur.
Namun badannya tak mampu berdiri tegak, pandangan pun seketika menjadi gelap.
Brukk.
"Hai, bangun! Ckk, menyusahkan saja."
*****
"El, mana temanmu? Sudah satu jam kita di sini nggak tampak juga batang hidungnya."
"Iya, Om, Maaf. Ponselnya nggak bisa dihubungi juga,nih. Gimana kalau terjadi apa-apa sama Gita, Om?"
"Ishhh, jangan berprasangka buruk dulu! Bisa jadi dia ada saudara di sini?"
"Nggak ada sama sekali, Om. Bahkan kenalan juga enggak punya."
"Mau nunggu berapa lama lagi? Kasihan tante sendirian di rumah menjaga baby yang lagi demam."
Perasaan bersalah menyelimuti Ela. Antara tak tega meninggalkan Gita juga tak enak dengan keluarga tantenya.
"Ya sudah, Om. Semoga saja Gita tidak kenapa-kenapa. Jangan-jangan suaminya membuntuti."
"Apa katamu?"
"Ah, tidak ada, Om. Mungkin dia memang minta dijemput saudaranya karena kita sedikit terlambat."
Ela tidak berani bercerita kalau Gita baru saja kabur dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Bisa-bisa om-nya menilai Gita bukan wanita baik-baik karena mengabaikan suami.
Di tempat lain, Bintang kembali ke rumah orang tuanya.
"Bintang, yang sabar, Nak! Mama nggak apa-apa kalau kamu nggak mau nerima istrimu. Tapi jangan sakiti dia! Mungkin dia belum siap." Hanya mamanya yang memanggil dengan sebutan Bintang sejak kecil tanpa mendapat balasan kemarahan Ardi. Kalau orang lain yang memanggil, Ardi pasti sudah murka, bahkan jika orang itu papanya.
"Ar, tolong cari dia! Kasihan ayah ibunya," titah sang papa.
"Aku pasti akan mencarinya sampai ketemu, Ma, Pa."
Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya.
Dua jam yang lalu.
Ardi menghadang seorang laki-laki bernama Toni yang merupakan sahabat Gita.
"Kamu temannya Gita, bukan?"
"Be...benar, Masnya siapa, Ya?" Toni menjawab terbata saat ditanya Ardi dengan muka dingin.
"Saya Bintang Lazuardi suami Anggita Larasati."
Toni membelalak tak percaya. Bagaimana bisa orang ini suami Gita. Katanya suaminya namanya Atmaja, sudah beristri dan punya anak. Kenapa yang ini masih seumuran kakaknya. Apa jangan-jangan ini anak tiri Gita.
"Kamu dengar saya!"
Lamunan Toni dibuyarkan oleh bentakan Ardi.
"Ma ...maaf, Mas. Tapi suami Gita."
"Tidak perlu basa-basi, katakan dimana Gita?"
"Saya tidak tahu." Toni masih memegang janjinya pada Gita untuk merahasiakan kepergiannya ke Yogya.
"Perlu saya laporkan polisi kalau kamu membawa kabur istri orang?"
"Hah,saya tidak membawa kabur."
"Ya, hanya membantunya kabur, bukan?"
"Cepat katakan dimana Gita atau nama baikmu tercemar dalam hitungan menit!"
Tangan Ardi sudah mencengkeram kerah Toni yang tubuhnya gemetaran. Sejatinya dia tidak benar-benar takut dengan sosok di depannya. Dia justru takut kalau kakaknya tahu kelakuannya. Kakaknya pasti murka dan berimbas akses keuangannya dibekukan.
"Hmm, Gita pergi ke Yogya."
Ardi terbahak membuat Toni heran.
"Bagus, akan mudah bagiku menemukannya."
"Tolong jangan sakiti dia! Gita melakukannya karena terpaksa. Dia ingin kuliah untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya."
"Punya hak apa kamu? Aku suaminya. Jangan coba-coba ikut campur urusan kami!"
Ardi berlalu meninggalkan Toni yang terpaku karena merasa bersalah telah mengingkari janjinya pada sahabatnya.
"Maafkan aku, Gita! Aku harap hidupmu tenang dan bahagia," lirihnya seraya menunduk.
*****
Fajar menyingsing menelisik sebuah kamar dengan korden sedikit terbuka sinarnya menyilaukan mata membuat sang empunya bangun dan beberapa kali mengerjap.
Saat menyadari dirinya tidak berada di kamarnya, Gita terlonjak kaget. Dia meraba pakaiannya masih lengkap bahkan jilbabnya masih melekat, artinya tidak terjadi apa-apa semalam.
Dipijitnya pelipis untuk mengurangi pusingnya yang masih tersisa.
"Sudah bangun?"
Laki-laki ini siapa? Jelas bukan yang semalam mau melecehkan aku, juga bukan salah satu dari dua preman.
"Tuan siapa? Bagaimana saya bisa ada di sini?"
"Namaku Revando Saputra, panggil saja Revan. Aku menemukanmu tergeletak di pinggir jalan. Sepertinya kamu keluar dari sebuah mobil yang tidak jauh dari lokasi. Karena tidak ada yang mencarimu, lalu aku membawamu kemari."
Syukurlah ada yang menolongku semalam.
"Izinkan saya sholat subuh dulu, saya benar-benar sudah kesiangan."
Deg, Revan kebingungan. Baru kali ini dia tersentil. Biasanya pacarnya kalau menginap di rumah tidak mengingatkan kewajiban seorang muslim itu.
"Saya hanya punya sajadah, tetapi lupa naruhnya," ucap Revan malu-malu. Sebenarnya dia sudah lama tidak melaksanakan kewajibannya kepada Rabbnya. Apakah ini teguran untuknya, batinnya.
"Maaf sudah merepotkan Tuan Revan. Saya hanya perlu air untuk berwudhu."
Selesai sholat Subuh, Gita memilih keluar kamar karena merasa kurang nyaman hanya berdua saja, siapa yang tahu mereka bisa saja terjerumus oleh bisikan setan.
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih Tuan."
"Jangan panggil tuan, Revan saja! Siapa namamu? Dimana kamu tinggal?"
"Nama saya Laras, baru lulus SMA. Saya di Yogya mau cari kerja. Semalam ada teman mau jemput di terminal, tetapi ada preman yang ingin berbuat jahat pada saya."
Aku tidak berbohong bukan, Laras juga bagian dari namaku. Setidaknya sekarang aku perlu berhati-hati dengan orang asing. Aku tidak mau kena tipu muslihat lagi.
"Lalu kenapa kamu sampai pingsan di jalan?" Revan mendaratkan pant*tnya di sofa berseberangan dengan duduk Gita.
"Apa setelah aku cerita, kamu mau membantuku, Van?"
"Tergantung ceritamu."
Gita mendesah mendengar keraguan Revan.
"Ada laki-laki pemilik mobil sedan datang menolong dan berniat mengantar sampai gerbang terminal. Siapa sangka dia justru minta pamrih dan turut melecehkanku. Dia menawariku minum dan setelahnya aku sedikit pusing. Berusaha melarikan diri, aku hanya memegang ponsel. Baju dan uangku tertinggal di mobil."
"Malang sekali nasibmu Laras. Apa kamu juga percaya kalau aku orang baik-baik? Bisa jadi aku juga meminta pamrih karena telah menolongmu," ucap Revan dengan senyum menggoda.
"Tuan Revan, saya tidak punya uang. Saya bisa membalas kebaikan anda. Izinkan saya jadi pelayan di rumah ini!"
"Sudahlah jangan formal begini, aku suka gaya bicaramu yang santai tadi."
"Tapi, Van?"
"Nggak ada tapi. Aku senang aja kamu menjadi pelayanku kebetulan ART lagi cuti pulang kampung. Hanya saja pacarku bisa cemburu kalau kamu tinggal di sini."
Gita menunduk sedih karena Revan tidak mungkin menampungnya. Mendapatkan sesuatu yang kita harapkan memang tidak semudah membalikkan tangan. Perlu usaha dan doa pada Rabb pemilik segalanya.
Gita mengucap doa dalam hatinya. Semoga suaminya tidak mengutuk kepergiannya hingga banyak aral melintangi jalannya.
"Maafkan aku, Mas! Setelah aku mendapatkan kerja, pasti aku akan bersujud minta maaf padamu."
"Kamu jangan bersedih, aku ada ide. Bagaimana kalau kamu bekerja di tempat sahabatku saja. Dia pasti mau menampungmu. Tidak ada wanita yang cemburu kalau kamu tinggal disana karena dia tinggal sendiri ditemani satu ART seusia ibunya dan seorang satpam."
"Halo, Ar. Bisa tolong aku, ada saudara jauh datang dari kampung mau cari kerja. Biarkan dia kerja jadi ART di rumahmu."
"Kamu gil* ya? Rumahku bukan tempat penampungan, aku sudah punya Bi Irah cukuplah."
"Ayolah, Ar! Dia hanya lulusan SMA butuh pekerjaan. Kalau dia sudah punya keterampilan biar keluar dari rumahmu. Sebagai gantinya aku traktir minum besok malam."
Gita hanya menelan ludah, apakah Revan dan laki-laki di seberang sana tukang minum-minum. Bagaimana nasibnya kalau itu benar. Berbagai tanya melintas di benaknya.
"Baiklah kalau kamu memaksa."
Terdengar desah kesal dari seberang membuat Revan sedikit tertawa.
"Yes, berhasil. Besok aku antar kamu ke tempat Ardi."
Wajah Gita turut berbinar. Allah baru saja mendengar doanya. Pantang untuknya berputus asa. Dia harus berjuang demi keluarganya dan tentunya kembali pada suaminya untuk meminta maaf.
"Ingat pesanku, Ras! Jangan mencoba menggoda sahabatku! Dia baru saja menikah kemarin."
Deg,