"Pah!" Stela langsung berteriak sesaat setelah membuka pintu ruangan Steve.
Semua umpatan yang akan Stela berikan pada Steve hilang. Stela terdiam tak berkutik saat melihat kalau ternyata dalam ruangan Steve ada banyak sekalo orang, dan bukan hanya ada Steve seorang.
Kini semua mata tertuju pada Stela, tak terkecuali Steve yang kini menatapnya dengan alis terangkat.
"Sialan!" umpat Stela dalam hati.
"Eh, maaf, Pak," ujar Stela kikuk. Dengan cepat Stela kembali menutup pintu ruangan Steve, lalu berlari menjauh dari ruangan Steve.
"Bego! Bego!" Umpat Stela pada diri sendiri sembari menepuk-nepuk keningnya. Stela merasa malu atas apa yang baru saja ia lakukan.
"Loh Stela, kamu enggak jadi masuk ke dalam?" tanya Diva, sekretaris Steve.
Stela sontak melirik Diva dengan bibir mengerucut. "Tante Diva kenapa enggak bilang kalau di dalam ruangan Papah lagi banyak orang?"
Kening Diva berkerut, mencoba mencerna jawaban yang Stela berikan, dan selang beberapa detik kemudian, Diva menepuk ringan keningnya sendiri. "Maaf Stela, tante lupa kalau Papah kamu lagi kedatangan tamu."
"Stela kan jadi malu." Stela menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Malu kenapa?" tanya Diva penasaran.
"Tadi, Stela buka pintu ruang kerja Papah sambil teriak tahu," jawab lirih Stela.
Tawa Diva lolos begitu mendengar jawaban Stela, membuat raut wajah Stela semakin masam.
"Stela, kamu mau ke mana?" tanya Diva saat Stela berjalan menjauh darinya.
"Stela mau ke toilet, Tante," sahut Stela sembari menunjuk jalan yang akan membawanya menuju toilet khusus wanita.
"Oh, ya sudah sana," usir Diva sembari tersenyum jahil sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya pada Stela.
Stela memberengut, sedangkan Diva malah tertawa.
Sementara itu dalam ruangan Steve.
"Kalau begitu saya permisi, Pak Steve." Pamit salah satu kolega bisnis Steve yang bernama Pram.
Mereka baru saja selesai menandatangi kontrak kerja sama.
"Terima kasih, Pak," ujar Steve seraya menjabat satu-persatu tangan para kolega bisnisnya.
"Sama-sama, Pak Steve, semoga semuanya berjalan sesuai dengan rencana," sahut Pak Haryo.
"Pasti akan kita laksanakan sesuai kontrak, Pak," sahut Steve yakin.
Haryo dan Pram berdiri di ikuti Steve yang juga ikut berdiri. Ketiganya melangkah keluar dari ruangan Steve, dan sepanjang perjalanan masih diselingi obrolan seputar bisnis.
Setelah memastikan kolega bisnisnya sudah memasuki lift, Steve bergegas menghampiri Diva guna menanyakan di mana Stela berada.
"Diva."
Diva yang sedang berkutat dengan pekerjaannya lantas mendongak, menatap sang atasan. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Mana Stela?" Steve mengedarkan pandangannya ke segela penjuru ruangan, mencari di mana Stela berada.
"Stela ke toilet, Pak." Diva menunjuk lorong sebelah kanan.
Lorong di mana Stela menghilang dan belum kembali sampai sekarang.
Setelah mengucapkan terima kasih, Steve langsung berlalu dari hadapan Diva, menuju tempat di mana Stela berada.
Steve mengetuk pintu toilet yang ia yakini di masuki Stela dengan tidak sabaran.
"Stela, Papah tahu kalau kamu ada di dalam. Sekarang, cepat keluar!" Perintah Steve tegas saat Stela tidak kunjung menjawab panggilannya atau membuka pintu yang terkunci.
"s**t!" Stela mengumpat saat Steve terus mengetuk pintu. Stela kembali merapihkan riasan rambutnya yang tadi acak-acakan.
"Iya, Stela keluar," sahut Stela ketus.
Stela membuka kunci pintu.
Steve langsung membuka lebar pintu toilet dan itu cukup membuat Stela terkejut.
"Ayo ikut Papah!" Perintah Steve tegas. Dengan lembut, Steve menarik pergelangan tangan kanan Stela.
Stela hanya bisa pasrah dan mengikuti setiap langkah lebar Steve.
"Diva, saya gak mau di ganggu sampai jam kantor selesai." Tanpa menunggu jawaban Diva, Steve memasuki ruangannya dengan terus menggandeng tangan Stela, lebih tepatnya menarik Stela.
Sedetik saja Steve melepaskan genggamannya, maka Steve yakin kalau Stela pasti akan kabur darinya. Steve mengunci pintu ruangannya lalu mengaktifkan mode kedap suara.
"Akh!" Stela menjerit panik saat Steve mendorong tubuhnya yang secara otomatis berbaring di sofa di susul Steve yang kini mengungkung tubuh Stela.
"Jadi, apa alasan kamu datang ke kantor Papah?" Steve pura-pura tak tahu, padahal pada kenyataannya, Steva tahu apa alasan Stela datang ke kantornya.
"Papah geser dulu," ujar Stela gugup. Kedua tangan Stela mencoba mendorong tubuh Steve agar menyingkir dari atas tubuhnya, tapi itu semua sia-sia, karena tenaga Steve jauh lebih besar dari Stela.
Bukannya menjauh, Steve malah semakin menempelkan tubuhnya pada Stela dengan wajah yang hanya berjarak beberapa centi dari wajah Stela.
"Kenapa Papah harus geser?" Bisik Steve di depan bibir ranum Stela, menatap Stela dengan smirknya yang khas.
"Pokoknya geser dulu," jawab Stela kekeh. Stela kembali mencoba mendorong d**a Steve agar Steve menjauh darinya, tapi Steve menggeleng, menolak permintaan Stela.
"Bicara atau kita akan kembali bercinta di sini!" Ancam Steve dengan nada serius.
"Eh, iya, Stela mau bicara," jawab Stela cepat. Ancaman Steve tidak boleh Stela anggap remeh.
"Kenapa Papah mengajukan surat pengunduran diri Stela ke kantor Stela?" Stela menatap tajam Steve.
Tadi pagi saat Stela tiba di kantor tempatnya bekerja, Stela terkejut saat melihat meja kerjanya sudah bersih mengkilap dari barang-barang miliknya.
Saat Stela bertanya pada atasannya perihal mejanya yang bersih dari barang-barangnya. Atasannya bilang kalau hari senin lalu, Stela telah mengajukan surat pengunduran diri, dan surat tersebut telah di setujui oleh pimpinan pusat.
Stela yang tidak merasa mengundurkan diripun mulai berpikir, kalau pasti Steve lah yang melakukannya. Maka dari itu, Stela bergegas datang ke kantor Steve untuk menanyakan apa alasan Steve melakukan hal itu padanya?
Stela tidak bisa mencabut surat yang sudah di ajukan karena posisinya sudah terisi oleh orang lain.
"Ngapain kerja kalau uang Papah aja banyak?" Bukannya menjawab pertanyaan Stela, Steve malah balik bertanya.
"Ih, jawab dulu pertanyaan Stela," sahut Stela ketus.
"Enggak usah kerja lagi, diam aja di rumah, bisa kan?"
Stela menggeleng. "Enggak mau, Stela tetap mau kerja," tolaknya mentah-mentah. Stela tetap pada pendiriannya.
Steve semakin mengikis jarak di antara mereka, membuat jantung Stela semakin berdebar-debar tak karuan.
"Stela boleh kerja, tapi ada syaratnya," bisik Steve dengan nada sensual. Steve membuka mulutnya lalu mengulum daun telinga kanan Stela.
Mata Stela terpejam begitu mulut Steve mengulum daun telinganya. "Apa syaratnya?" tanyanya gugup.
Steve melepaskan kulumannya dari telinga Stela, lalu menatap Stela dengan senyum manis mengembang menghiasi wajahnya. "Papah mau, kamu kasih Papah kado ulang tahun."
Kening Stela berkerut bingung begitu mendengar jawaban Steve, itu karena Stela sudah memberi Steve hadiah ulang tahun, yaitu sebuah jam tangan yang cukup mewah, lalu kenapa Steve meminta hadiah lagi? "Kan Stela sudah kasih Papah hadiah ulang tahun."
"Papah mau yang lain," jawab Steve serak lalu menyerukan wajahnya pada ceruk leher Stela.
Steve mulai menjilati leher jenjang Stela membuat bulu kuduk Stela meremang.
"Baiklah," jawab Stela pasrah. Kira-kira, hadiah apa yang harus ia berikan pada Steve? Stela jadi bingung sendiri.
Steve manjauhkan wajahnya dari ceruk leher Stela, menatap Stela dengan tatapan sayu. Steve ingin bercinta dengan Stela sekarang juga, tapi ia tahu kalau Stela pasti masih merasa lelah akibat percintaan tadi pagi.
"Tidur, Sayang, kita berdua butuh istirahat." Steve bergeser ke samping kanan Stela, dan membawa tubuh Stela masuk dalam pelukannya.
Stela menyerukan wajahnya pada ceruk leher Steve yang beraroma musk dengan mata terpejam. Jujur saja, ia masih merasa lelah setelah apa yang terjadi tadi pagi.
Steve tersenyum saat Stela tidak membantah perintahnya, Steve membawa tangan kiri Stela agar memeluk pinggangnya. Steve sedikit menjauhkan wajahnya dari Stela untuk melihat wajah cantik Stela.
Steve mengecup bibir Stela, membuat kelopak mata Stela kembali terbuka.
Sekarang pandangan keduanya saling bertaut dengan wajah Steve yang secara perlahan maju.
Steve menyapukan bibirnya pada bibir ranum Stela. Bibir yang terasa lembut dan juga manis, itulah rasa bibir Stela, bibir yang selalu menjadi candu baginya.
Stela melenguh saat Steve menciumnya dengan dalam dan juga lembut. Ciuman Steve benar-benar memabukan. Stela membalas lumatan Steve, menggigit bibir bawah Steve dengan gemas, membuat sang empunya meringis kesakitan.
Stela terlebih dahulu menelusupkan lidahnya, membelit lidah Steve, mengajak Steve berperang lidah dan saling bertukar saliva, membuat lenguhan Steve lolos.
Stela langsung menyerukan wajahnya pada d**a bidang Steve dan memeluk Steve dengan erat. Merasa malu dengan apa yang baru saja ia lakukan pada Steve. Sementara Steve hanya tersenyum saat melihat kelakuan Stela.
"Sudah melakukan lebih dari sekedar ciuman kenapa masih malu?" tanya Steve seraya tersenyum.
Hanya dalam hitungan detik, senyum di wajah Steve menghilang, tergantikan oleh ringisan kesakitan saat Stela mencubit pinggangnya dengan sangat kuat.
"Tidur, Pah," ujar Stela ketus. Stela semakin erat memeluk Steve, membenamkan wajahnya di ceruk leher Steve.
Steve membalas pelukan Stela dengan sama eratnya dengan mata yang secara perlahan mulai terpejam.