Stela mendesah dengan mata terpejam saat jari-jemari Steve bermain-main di area sensitifnya, membuat birahinya semakin melambung tinggi.
Steve hanya bergumam dengan nafas memburu, lidahnya terus menjilat, dan menghisap leher jenjang Stela, memberikan beberapa tanda kepemilikan dirinya di sana.
Desahan erotis Stela kembali terdengar, membuat Steve semakin bersemangat untuk melakukan lebih.
Setiap sentuhan yang Steve berikan mampu membuat tubuh Stela lemah tak berdaya, bahkan kakinya terasa lemas. Stela pasti akan terjatuh kalau saja Steve tidak menahan pinggangnya.
Stela merapatkan kakinya, membuat jemari Steve terbenam dalam pusat gairahnya. Steve menggeram begitu merasakan milik Stela yang basah. Itu artinya Stela terangsang dan menikmati setiap sentuhannya.
Steve menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Stela, mengamati raut wajah Stela, mencoba membaca mimik wajah yang Stela tunjukan.
Mata Stela terbuka, menatap Steve sayu. "Kenapa berhenti?" Suara Stela parau, sarat akan gairah. Stela merasa kehilang saat lidah dan jemari Steve tidak lagi menjamah setiap jengkal tubuhnya yang kini mendamba setiap sentuhan Steve.
Steve menempelkan bibirnya pada bibir Stela, melumat bibir Stela dengan rakus. Tadinya, Steve pikir Stela akan menampar atau marah padanya karena sudah berani menyentuh dan menjamah tubuh indahnya. Tapi, begitu mendengar apa yang Stela ucapkan, membuat Steve yakin kalau Stela juga menikmati sentuhan demi sentuhan yang di berikannya.
Setelah ini, Steve tidak akan bisa berhenti, meskipun nanti Stela akan menjerit atau bahkan menangis, memohon memintanya untuk berhenti, Steve tidak akan bisa. Entah Steve harus merasa senang atau sedih dengan semua hal yang sedang terjadi antara dirinya dan Stela, karena setelah ini Steve tidak mungkin lagi bisa bersikap sama seperti sebelumnya pada Stela, semuanya pasti akan berubah, Steve yakin itu.
Desahan dan lenguhan erotis terus Stela keluarkan, membuat hati Steve membuncah karena bahagia. Stela menarik tengkuk Steve, membalas ciuman Steve dengan sama rakusnya. Lidah Stela terlebih dulu memasuki rongga mulut Steve, mengabsen deretan gigi Steve, menari-nari mencari lidah Steve.
Mata keduanya sama-sama terpejam, dengan mulut yang terus beradu, saling melumat, menggigit dan bertukar saliva.
Steve mengerang, merasa frustasi karena Stela begitu lihai dan pandai dalam memancing gairahnya. Steve tidak pernah berpikir kalau ternyata Stela sangat handal dalam berciuman. "Apa mungkin Stela pernah melakukan ciuman dengan pria lain?" tanyanya dalam hati. Hanya memikirkannya sudah membuat Steve kesal bukan main.
Decapan lidah keduanya mengisi suasana hening dalam kamar, hawa yang tadinya terasa dingin mulai berubah menjadi panas. Letupan-letupan gairah sudah membakar keduanya, keduanya sudah tidak bisa lagi berpikir jernih.
Tangan Steve menjauh dari pusat gairah Stela, beralih memeluk erat pinggang Stela dan membawa agar tubuh Stela semakin merapat pada tubuhnya.
Untuk kali pertama, Steve dan Stela akhirnya melakukan hubungan badan.
Steve menyingkir dari atas tubuh Stela. Steve menuruni tempat tidur.
"Mau ke mana?" Tanya Stela dengan suara serak.
"Mau ambil ini." Steve menjawab pertanyaan Stela sambil meraih boxernya, kemudian memakainya. Setelah menutupi tubuh bagian bawahnya, Steve kembali menaiki tempat tidur.
Stela berbalik menghadap Steve sesaat setelah menutupi tubuh telanjangnya menggunakan selimut.
Steve menyeka keringat yang membasahi kening Stela, dan Stela melakukan hal yang sama pada Steve. Bukan hanya Stela yang berkeringat, tapi Steve juga sama berkeringatnya seperti Stela.
"Bagaimana rasanya?" Steve ingin tahu, apa pendapat Stela tentang apa yang baru saja terjadi di antara mereka mengingat ini adalah pengalaman pertama Stela.
Senyum Steve menular pada Stela yang kini juga ikut tersenyum malu-malu. Reaksi malu-malu Stela membuat Steve gemas sampai akhirnya Steve terkekeh.
"Capek?"
Stela menjawab pertanyaan Stela dengan anggukan kepala.
"Mau mandi dulu?"
"Enggak ah, mandinya nanti aja. Stela mau tidur aja, capek," jawab lirih Stela. Tubuhnya memang berkeringat sekaligus lengket, tapi Stela malas mandi, dan rasanya ia ingin segera tidur, rasanya sangat lelah sekali.
Steve memajukan wajahnya, mengecup dalam-dalam kening Stela, lalu mengecup hidung Stela, dan berakhir di bibir ranum Stela. "Tidurnya, Sayang."
"Peluk," pinta manja Stela.
Steve terkekeh, lalu memeluk Stela. Tak lama kemudian, Stela yang memang sudah sangat lelah akhirnya tertidur, sedangkan Steve masih terjaga dari tidurnya.
Tangan kanan Steve terangkat, membelai wajah Stela. "Apa ini mimpi?" gumamnya sambil tersenyum tipis. Ya, Steve merasa jika apa yang baru saja ia sam Stela adalah sebuah mimpi, tapi Steve sadar kalau saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Stela adalah sebuah kenyataan.
Sentuhan Steve di wajah Stela mengusik tidur pulas Stela. Steve langsung menjauhkan tangannya dari wajah Stela, karena tak mau membuat Stela terbangun.
Secara perlahan-lahan, Steve menyingkirkan tangan Stela dari atas pinggangnya. Steve meraih bantal guling kemudian menaruh bantal tersebut ditengah, dan Stela langsung memeluk erat bantal tersebut.
Steve lega karena rencananya berhasil. Steve segera menuruni tempat tidur, dan pergerakan Steve sempat terhenti saat merasakan pergerakan dari Stela. Steve menoleh ke belakang, bernafas lega ketika melihat Stela masih tertidur pulas.
Steve berhasil menuruni tempat tidur tanpa membangunkan Stela. Steve membenarkan selimut yang menutupi tubuh Stela, setelah itu pergi mendekati meja kerjanya. Steve meraih rokok yang ada di laci meja, mengurungkan niatnya untuk menutup laci ketika melihat sebuah pigura dengan posisi terbalik. Steve meraih pigura tersebut, lalu membawanya ke balkon.
Steve duduk di sofa, secara perlahan membalikkan pigura yang ia bawa. Steve tersenyum sendu. "Mas merindukan kamu, Erika," bisiknya sambil membelai pigura yang berisi foto Erika, istrinya yang sudah lama meninggal.
Steve menoleh ke arah Stela, tersenyum ketika melihat betapa pulasnya Stela tertidur. "Kamu tahu, Stela sudah besar, dia tumbuh menjadi wanita yang cantik seperti yang kamu harapkan, Erika, dan sampai saat ini, dia masih bersama kita," lanjutnya dengan suara bergetar hebat.
Terkadang Steve merasa takut, takut kalau ada orang yang tiba-tiba mengaku sebagai orang tua Stela, lalu membawa Stela pergi dari kehidupannya. Setelah Erika meninggal, Steve lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Stela, dan setelah apa terjadi tadi, Steve merasa tak sanggup jika sampai harus berpisah dengan Stela. Stela sudah menjadi belahan jiwanya.
Atensi Steve kembali tertuju pada pigura yang masih ia genggam. "Apa kamu marah kalau Mas bilang, Mas mencintai Stela, Erika?" tanyanya tersenyum sendu. Tanpa sadar, Steve menangis. Air mata Steve jatuh membasahi pigura yang ada dalam genggaman kedua tangannya.
Steve memeluk erat pigura Erika sambil terus menangis dan meminta maaf. Steve merasa bersalah karena ia tidak bisa menjaga Stela, dan ia malah merusak Stela. Padahal Erika sudah memintanya untuk menjaga Stela, tapi sekarang, menyesal pun tidak ada gunanya, nasi sudah menjadi bubur, semuanya sudah terjadi. Steve tidak mau tangisannya mengusik tidur pulas Stela, jadi Steve menangis dalam diam.