02 - Steve dalam pikiran Stela.

1102 Kata
1 Minggu sudah berlalu sejak Stela mencium Steve. Semenjak saat itu, perasaan Steve pada Stela benar-benar berubah. Steve tidak lagi melihat Stela sebagai anak angkatnya, tapi Steve melihat Stela sebagai seorang wanita. Wanita yang mampu membuat detak jantungnya berdebar tak menentu saat mereka saling berdekatan. Wanita yang mampu menyulut memporak porandakan isi hatinya. "Pah!" Steve yang sejak tadi asyik melamun terlonjak kaget begitu mendengar sapaan dari Stela yang kini sudah duduk di hadapannya. Kagetnya Steve membuat Stela juga ikut kaget. "Makanya Papah jangan melamun. Jadinya kaget kan. Apa sih yang sedang Papah pikirkan?" Steve mengerjap, mulai meneliti penampilan Stela. "Kamu mau kemana?" Bukannya menjawab pertanyaan Stela, Steve malah balik bertanya, membuat Stela kesal bukan main. "Stela mau ke acara ulang tahun teman kantor Stela, Pah." "Sama siapa?" Steve menatap Stela dengan sebelah alis terangkat. "Sama Risma lah, Pah, memangnya mau sama siapa lagi?" jawab Stela ketus. Stela kesal karena Steve seperti tidak mengenalnya saja. Padahal Stela yakin jika Steve sudah tahu, dirinya tidak akan mau pergi bersama dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. "Maksud Papah, kamu di antar sama siapa?" Steve merubah intonasi suaranya menjadi lebih lemah lembut saat ia sadar kalau Stela terlihat jengkel begitu ia bertanya. "Stela naik taksi aja, Pah." "Kenapa enggak bawa mobil aja?" Stela menggeleng. "Enggak ah, malas." Alasan sebenarnya Stela selalu naik taksi online atau ojol meskipun ia mempunyai mobil dan bisa mengendarai mobil adalah, karena Stela pernah menabrak tiang pembatas trotoar guna menghindari kendaraan yang tiba-tiba berhenti di hadapannya karena mogok. Kejadian tersebut membuat Stela trauma berat, karena saat itu, Stela hampir saja menabrak pengendara mobil yang lain. "Ya sudah, biar Papah yang antar. Papah tidak menerima bantahan atau penolakan," ujar Steve tegas begitu melihat Stela akan menolak usulannya. Stela menghela nafas panjang, lalu mengangguk patuh. Apalagi yang bisa Stela lakukan selain menuruti kemauan Steve? Bukankah tadi Steve bilang, kalau Steve tidak menerima bantahan? *** Sudah 2 jam berlalu sejak Risma dan Stela sampai di tempat acara ulang tahun salah satu rekan kantor mereka yang di adakan di salah satu klub ternama dibilangan Jakarta. Stela sedang duduk santai di salah satu sofa, sedangkan Risma sudah menghilang, entah ke mana. "Hai Stela," sapa Robin, salah satu teman sekantor Stela dan Risma. Stela menoleh, menatap Robin diringi senyum manisnya. "Hai, Rob. Lo sendirian?" tanyanya basa-basi. Robin mengangguk. "Iya, gue sendirian. Lo mau dansa sama gue?" tanya Robin penuh harap. Sudah sejak lama Robin jatuh cinta pada Stela, bahkan Robin selalu menunjukkan rasa ketertarikannya pada Stela secara terang-terangan. Tapi, entah Stela tidak peka, atau Stela memang tak peduli pada perasaan Robin, karena Stela selalu bersikap biasa, seolah semua perhatian yang Robin berikan adalah hal yang biasa-biasa saja. Stela menggeleng, menolak halus ajakan Robin. "Maaf, gua lagi malas banget buat dansa, kepala gue lagi pusing." Stela sama sekali tidak berbohong, saat ini kepalanya benar-benar pusing, mungkin efek dari minuman beralkohol yang baru beberapa menit lalu ia tenggak. Padahal Stela tidak minum banyak, hanya minum 1 gelas kecil, tapi ternyata efek yang diberikan benar-benar membuat kepalanya pusing, mungkin karena Stela tidak terbiasa minum, minuman beralkohol. "Lo pusing? Mau gue antar pulang?" Terdapat nada khawatir dan cemas dalam pertanyaan yang Robin ajukan. Stela mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, mencari di mana Risma berada. Tapi sejauh mata memandang, ia sama sekali tidak melihat sahabatnya itu. Mungkin Risma sedang berdansa dengan pacarnya di tengah kerumunan orang yang saat ini sedang menari di iringi dentuman musik yang cukup memekakan telinga. "Mau?" Robin kembali mengulang pertanyaannya karena Stela yang hanya diam, dan tak kunjung menjawab pertanyaannya. Stela melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kanannya lalu menggangguk. "Boleh," sahutnya mantap. Stela tidak mungkin pulang larut malam, karena Steve pasti akan memarahinya habis-habisan, dan Stela juga tidak mau pulang sendiri, kondisinya saat ini sangat tidak memungkinkan. Sebenarnya Stela tahu kalau Robin jatuh cinta padanya. Bukan hanya ia yang tahu, tapi hampir setiap orang yang bekerja satu kantor dengannya tahu kalau Robin mencintainya. Itu karena Robin selalu menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan di hadapan semua orang. Tapi jujur saja, Stela sama sekali tidak bisa membalas perasaan Robin karena yang ada dalam otak dan juga hatinya hanya, Steve, Steve, dan Steve. Entahlah, Stela sendiri tidak tahu sejak kapan nama Steve terpatri dalam relung hatinya yang terdalam. Stela sudah berusaha, mencoba ribuan kali untuk melupakan Steve, tapi semakin ia mencoba, maka semakin sering pula Steve muncul dalam pikirannya. Jawaban yang Stela berikan membuat Robin benar-benar bahagia. Awalnya Robin berpikir jika Stela akan menolak tawarannya, tapi ternyata Stela malah menyetujuinya. "Ayo kita pulang." Robin mengulurkan tangan kanannya pada Stela, dan Stela menyambut baik uluran tangan Robin. Keduanya lalu keluar dari dalam club. Setelah menempuh perjalanan selama hampir 20 menit, akhirnya Stela sampai di rumah. Robin sendiri sudah pulang, menolak ajakan Stela untuk mampir dan bertemu dengan Steve. Hening, itulah yang Stela rasakan saat ia memasuki rumah. "Mungkin Steve sudah tertidur." Itulah yang ada dalam pikiran Stela ketika mendapati rumah dalam keadaan sunyi sepi. Stela menggigit kuat bibirnya, saat bayangan Steve tiba-tiba melintas dalam benaknya. Stela menggeleng lalu terkekeh, merutuki otaknya yang akhir-akhir ini sering kali berpikiran m***m tentang Steve. Fuck! Hanya membayangkannya saja sudah berhasil membuat miliknya berdenyut-denyut. "Sial! Sepertinya gue harus segera punya pacar supaya bayangan pria itu hilang dari pikiran gue," gumam Stela pada dirinya sendiri. Dengan langkah gontai, Stela memasuki kamarnya. Lain kali, Stela pasti akan menolak tawaran Risma untuk meminum, minuman beralkohol, karena itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan pikiran dan juga tubuhnya. Stela membuka seluruh pakaian yang membalut tubuh seksinya, lalu melangkah menuju kamar mandi guna membersihkan wajahnya yang terpoles make-up. Hanya butuh waktu tak lebih dari 10 menit untuk Stela selesai membersihkan make-upnya, sikat gigi, dan mencuci kaki sekaligus kedua tangannya. Stela melangkah menuju walk in closet, lalu memilih piyama bermotif bunga untuk ia pakai. Setelah selesai, Stela beranjak menaiki tempat tidur, berbaring dengan posisi terlentang dan mata terpejam. 15 menit sudah berlalu, tapi Stela tak kunjung terlelap dalam tidurnya, dan itu semua karena Stela tiba-tiba ingin tidur dalam dekapan hangat Steve. "Kapan terakhir kali ia dan Steve tidur bersama?" Itulah pertanyaan yang saat ini ada dalam pikiran Stela. Stela menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu kembali menuju lemari, dan mengganti piyamanya. Stela memakai underware dan lingerie berwarna merah, merah darah. Bukankah Steve pernah bilang kalau warna merah sangat menantang? Jadi, Stela akan mencobanya untuk melihat, bagaimana reaksi Steve begitu melihatnya memakai underware dan lingerie warna merah? Dengan langkah penuh percaya diri, Stela keluar dari kamarnya dan bergegas menuju kamar Steve yang hanya berjarak beberapa meter dari kamarnya. Stela menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa gugup yang kini menyelimuti perasaannya. Dalam hati, Stela terus berdoa semoga Steve belum tertidur dan masih bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN