Bagiku, hidup rasanya memang tidak pernah adil. Sepertinya, Tuhan terlalu sensi pada diriku sejak dulu. Aku dilahirkan dari keluarga petani miskin, yang untuk makan saja susah. Ingin membetulkan atap rumah yang bocor, harus menunggu Bapak pulang dari ladang, dan setelah Bapak naik ke atap rumah selalu diakhiri dengan Bapak yang jatuh, lalu keseleo di pergelangan kaki.
Satu-satunya keberuntungan di keluargaku adalah, aku anak semata wayang. Jadi, kedua orang tuaku tidak perlu memikirkan lagi biaya untuk anak-anak lain. Setelah lulus SMA aku mendapat beasiswa di perguruan tinggi negeri di Jakarta, jurusan Sistem Informasi. Bisa dikatakan itu adalah keberuntungan keduaku di keluarga. Dengan menjual setengah ladang jagung milik Bapak, aku berangkat ke Jakarta. Menyongsong masa depan cerah yang ku pikir memang secerah yang aku bayangkan. Tapi, setelah semester akhir, nilaiku semakin merosot. Mengakibatkan beasiswa kuliah dicabut. Dan Bapak harus melunasi biaya kuliahku di semester akhir.
Well, seperti yang bisa aku bayangkan. Bapak tidak punya uang. Ladang jagung yang tinggal setengah sudah dijual untuk pengobatan Ibu yang sakit saat itu. Dan di Jakarta, aku harus banting tulang untuk membiayai hidupku. Catat! Hidupku, bukan kuliahku. Sampai saat ini kuliahku tidak selesai. Aku mangkir setelah lima tahun tidak melanjutkan kuliah.
Demi melanjutkan hidup di Jakarta, aku bekerja dengan temanku sendiri. Namanya Lusiana. Dia anak yatim piatu kaya raya. Punya restauran dan perpustakaan umum. Aku di rekrutnya sebagai otak marketing di restaurannya. Walau upahnya kecil tapi aku sangat berterima kasih padanya. Karena mau mempekerjakanku, dan selalu meminjamkanku uang di saat aku sedang butuh.
Tapi, bencana itu datangnya selalu tidak pernah ada kata permisi. Semua aset yang Anna punya, sudah aku gadaikan demi uang lima ratus juta. Sertifikat restauran, tanah, rumah milik Anna sudah raib oleh perempuan misterius itu.
Dan sekarang, debt collector itu tidak henti-hentinya mengejarku untuk menagih utang sebesar 800 juta. Astaga, bagaimana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Uang yang aku pinjam itu 500 juta, tapi kenapa aku harus mengembalikannya 800 juta. Ya Tuhan, harus ke mana aku mencari uang.
"Ternyata lo ngumpet di sini."
Duh, mati gue. Aku memejamkan mata. Terdengar dari suaranya, aku sudah bisa langsung mengenalinya. Itu pasti beberapa orang si penagih utang. Aku berbalik, meninggalkan dinding semen yang belum jadi sebagai tempat persembunyianku.
"Kasih gue waktu, Bang." Suaraku bergetar. Meratapi, dan berharap mereka mengasihaniku.
"Waktu lo udah habis." Kata si kumis tipis, dengan rambut klimis. "Dua bulan. Sesuai perjanjian, elo harus balikin duitnya. Kalau enggak, semuanya gue sita."
Astaga naga. Gimana bisa mereka menyita sesuatu yang bukan milikku. Bagaimana kalau mereka tiba-tiba datang ke restauran, lalu menyita semuanya. Anna pasti bakal mencariku, atau lebih parah melaporkanku ke polisi. Mengingat, sudah dua minggu ini aku tidak datang ke restauran dan menutup akses dari semua teman-temanku.
Mereka semua sedang mencariku. Aku, sudah jadi buronan sebelum ada laporan pidana ke kepolisian.
"Jangan, Bang. Jangan disita. Lagipula.. Itu bukan punya gue." Cicitku, merasa menjadi cacing tanah di depan laki-laki dengan tubuh tinggi besar.
Mereka saling pandang satu sama lain. Terlihat seperti sedang kompromi, padahal mereka terlihat seperti pemain Pantomim yang payah.
"Itu bukan urusan gue." Katanya galak. "Besok, gue bakal sita semuanya."
Yassalam. Udah nggak ada harapan. Aku, harus siap untuk masuk penjara.
Semua, gara-gara Bapak sama Ibu, yang berhutang pada lintah darat di kampung halaman.
***
Untungnya, aku sudah mempersiapkan diri sejak semalam. Pagi-pagi buta, setelah sholat subuh, aku mengemasi semua pakaianku. Tidak ada barang berharga yang bisa aku bawa dari kosan. Kecuali pakaian dan sepatu lusuh yang tidak penting. Dari jendela yang tertutup gorden putih, aku bisa melihat Anna dan Fay ada di bawah pelataran parkir kosanku. Si penagih utang itu, pasti sudah datang ke tempat Anna dan memberitahu semuanya. Dan sekarang, Anna dan juga Fay pasti sedang mencariku.
"An, gue tahu, gue salah besar sama lo. Tapi, gue nggak bisa jelasin sekarang sama lo. Gue belum siap. Semoga kita bisa ketemu lagi, di saat gue bisa ngembaliin semua duit lo. Tapi nanti. Sekarang, gue harus pergi dari lo semua. Bye, An."
Setelah berucap pada Anna dari atas sini, dan berharap dia mendengar, tapi semua itu tidak mungkin. Aku bergegas, keluar dari kamar kos, berlari kecil menuju tangga bagian kiri. Aku tahu, Anna dan Fay pasti lewat tangga kanan. Karena tangga kanan tidak dikunci. Setelah sampai ke bawah kosan, aku melihat Anna dan Fay sudah berada di depan pintu kamar kosku. Menggedor-gedor pintu tersebut dengan kencang. Sebelum mereka melihatku, aku sudah lenyap sambil menggendong tas berat ini.
Tapi, kemana aku harus pergi. Satu-satunya teman yang aku punya itu mereka. Sekarang, aku sudah mengkhianatinya. Aku juga tidak punya cukup uang untuk membeli tiket pesawat ke Palembang. Tidak mungkin aku kembali ke kosan ku di sana. Penagih hutang, Anna dan juga Fay pasti akan terus mencariku ke sana. Ke belahan bumi mana lagi aku harus bersembunyi.
Dalam perjalanan kaki di tengah terik matahari kota Jakarta, aku melihat sebuah warung kecil. Kemudian, mampir sebentar untuk membasahi tenggorokanku yang kering karena kehausan. Aku memesan satu gelas es teh manis untuk melepas dahaga. Sambil kembali berpikir, kemana harus pergi. Saat aku membayar es tersebut, mataku menangkap tiga lembar uang seratus ribu di dalam dompet. Astaga, dengan uang segini, berapa hari aku bisa bertahan.
Kalau tidak sedang di warung dan dilihat banyak orang, aku ingin sekali menangis meraung-raung. Dan mengatakan "Tuhan tidak pernah adil."
"Mbak, gelasnya jangan dibawa." Kata si pemilik warung saat aku akan meninggalkan kedainya.
Aku berhenti sejenak, dan tanpa aku sadari masih menenteng gelas beling bekas es teh manis.
"Oh, maaf, Bu." Ucapku kikuk.
Aku lingkung karena duit. Duit, di mana aku harus mencarimu. Aku membutuhkanku, duit.
***
Malam sudah tiba. Aku masih di jalanan trotoar di Sudirman. Berniat akan ke kantor Nessa, meminta pertolongan hanya untuk sekadar bermalam. Tapi, setelah berpikir lagi, aku mengurungkan niatku. Aku tidak punya cukup nyali untuk bertatap muka dengannya. Jadi, aku terus berjalan, berjalan entah ke mana. Sampai aku berada di jalanan yang lengang, tak banyak dipadati kendaraan.
Sekali lagi, aku mengembuskan napas. Badanku sudah gerah dan gatal. Membayangkan sekujur tubuhku di guyur air dingin. Bagaimana kalau aku ke masjid saja, barangkali bisa numpang mandi dan tidur di sana. Tapi di sepanjang jalan setapak ini, di mana aku menemukan masjid.
Aku berhenti sebentar, di depan sebuah cafe yang tidak banyak di datangi pengunjung. Duduk di tanah trotoar, bersandar di salah satu ducati yang terparkir. Aku celingkukan ke kanan ke kiri, siapa pemilik motor mahal ini. Bisa-bisanya dia memarkirkan motor mahal ini di tempat sepi seperti ini. Aku tahu jenis motor seperti ini karena pacar Fay sering datang menemui Fay menunggangi motor ini dengan sombong. Aku tidak pernah menyukai pacar Fay. Dia angkuh dan tidak punya tata krama.
Sejauh mata memandang, tidak ada tempat yang bisa aku jadikan tempat perlindungan. Semuanya gelap dan sepi. Kepalaku menengadah ke atas, ke langit hitam yang di penuhi bintang. Seketika bersyukur karena malam ini tidak akan turun hujan. Nessa pernah mengatakan jika langit malam bertabur bintang, maka hujan tidak akan turun. Aku tidak tahu apakah itu benar. Mungkin dia pernah bekerja di BMKG atau berteman dengan Rara. Rara, si pawang hujan yang sedang viral itu.
Saat aku menjatuhkan kedua mataku tepat di lampu jalan besar itu, korneaku menyoroti dia orang pria yang sangat tidak asing bagiku.
Yassalam. Itu kan si penagih utang. Otomatis aku mengeratkan tas punggungku di depan dasa sebagai senjata darurat. Kemudian menunduk menyembunyikan tubuhku dibalik ducati ini. Mereka tidak bergerombol seperti biasa ketika mereka mendatangiku. Mereka hanya dua orang, berjalan dengan kaus oblong dan celana olahraga, mengenakan sendal jepit sambil menyesap rokok. Sedang mengobrol dan sesekali melempar tawa. Aku harus menahan napasku saat mereka mulai mendekat ke arahku.
Sambil berjalan jongkok dan secara perlahan aku memutari ducati ini, masih menyembunyikan diri. Dan jantungku semakin bertalu saat mereka sudah berada di depanku. Melewati motor ini.
Ya Allah, aku mohon sekali ini saja tolong aku. Kasihanilah hamba ya Allah. Kali ini saja, jauhkan mereka dariku, ya Allah. Aku mohon. Aku mohon.
"Hei,"
Ya ampun. Di saat aku sudah sangat menderita seperti ini, Tuhan tidak mendengar doaku. Tamat sudah riwayatku. Dengan susah payah, aku membuka kedua mataku. Mengumpulkan keberanian untuk mendongak, melihat si pemilik suara. Mengencangkan cengkramanku pada tas punggung yang masih berada di depan d**a.
Namun, saat kedua mataku terbuka sempurna. Bukan dia orang si penagih hutang yang berdiri di hadapanku. Melainkan, seorang pria tinggi yang tidak aku kenal. Dia membungkuk, melihatku dengan tatapan tajam. Aku balik menatapnya dengan tampang bodoh sedunia. Dengan jarak yang lumayan dekat aku bisa melihat wajahnya dengan ditumbuhi bulu-bulu. Kalau kaum milenial bilang, itu brewok. Untuk cewek yang tidak bersih dalam menyapu lantai.
"Siapa?" Tanyaku setelah aku mendapatkan suaraku kembali.
"Lo ngapain, di motor gue? Nih motor gue jadi lecet." Katanya. Suaranya ngebas menggelegar.
Dia mengetuk-ngetukan ujung jarinya pada body motornya yang dia bilang lecet. Otomatis aku mengikuti pergerakannya. Entah karena ini memang gelap atau apa, tapi aku tidak melihat satu goresan pun di sana.
"Lecet?" Ulangku sekali lagi untuk menegaskan. Dan agar lebih meyakinkan, aku menggeser ujung jarinya dengan hati-hati demi melihatnya dengan jelas. "Mana?" Mataku sampai jereng demi mempertegas penglihatanku. Tapi goresan yang dia maksud tidak ada di sana.
"Nih, nih." Dia menunjuk-nunjuk suatu tempat. "Lagian ngapain lo nyender di motor gue." Dia kembali berdiri. Menjulang tinggi di atas sana. Sedangkan aku masih duduk bersimpuh seperti seorang tawanan. Tungkaiku masih terasa lemas.
"Gu.. Gue.." Jawabku terbata. Dan sekilas melihat si penagih utang sudah hilang di kegelapan. Seketika aku bernapas penuh kelegaan. Setidaknya mereka tidak menemukanku di sini.
"Karena lo udah menyebabkan motor gue lecet. Jadi, lo harus tanggung jawab."
"Apa?" Aku menyipitkan mataku. Entah sudah ke berapa kali aku meneguk ludah. Ku rasa, aku sudah merasa kenyang hanya karena menelan ludahnya sendiri.
Duh gusti... Celaka dua kali ini namanya. Kenapa musibah tiada henti menghampiriku tanpa permisi.