2. Kamu Tetap Istriku

1108 Kata
“Lu yakin?” tanyaku. Asti tertawa. “Enggaklah. Gila apa. Ogah banget nikah sama orang sakit jiwa kayak si Aqsal itu." Kami terdiam sebelum akhirnya Asti kembali memanggil. "Ha." “Hm.” “Gue tanya sekali lagi. Yakin lu minta suami lu nikah lagi?” Aku mengangguk mantap. Biarlah, aku sudah siap dengan segala risikonya jika Mas Aqsal menikah lagi. “Setidaknya kalau dia punya istri baru, dia jadi lupa KDRT sama gue. Itu yang gue inginkan.” Segala cara sudah aku lakukan untuk lepas atau mendekatinya, tetapi semua berakhir sia-sia. "Iya kalo lupa KDRT. Kalo lebih parah? Ha, kata orang, sakit hati rasanya lebih dahsyat." "Gue nggak peduli, Ti. Biar sekalian aja gue mati kalo gitu." “Ssst, jangan bilang ngawur gitu. Ya udah, jangan nangis lagi. Ntar cantik lu luntur. Kalau luntur, pas suami lu udah nikah nanti, lu kalah cantik sama madu lu,” seloroh Asti. Aku yang awalnya menangis, kini tertawa karena leluconnya. Aku mengurai pelukan. Asti menghapus jejak basah di pipi menggunakan ujung pasmina yang kugunakan. “Yang romantis dikit, kek. Pakai jari, gitu,” protesku. “Dih, gue masih wanita normal yang suka lawan jenis. Walaupun lu cantik, tapi sorry, lu bukan tipe gue. Cukup gue lap ingus sama air mata lu itu pakai kerudung lo sendiri.” Aku tergelak. Kami pun akhirnya mengobrolkan lagi tentang banyak hal. Kesedihan yang tadi mencuat, sedikit demi sedikit sirna. Asti, dia memang orang yang pandai membuat situasi hatiku membaik. ** Setelah puas saling bercerita dan berbincang-bincang dengan Asti, lepas Ashar, aku pun pulang ke rumah yang sudah setengah tahun ini aku tempati. Rumah mewah dengan segala fasilitasnya yang wow tak membuatku betah, justru membuatku sesak. Setelah menghirup napas panjang, aku mengembuskan kembali, menguatkan hati agar tetap kuat. Aku pun membuka pintu utama setelah mengucapkan salam secara lirih. “Dari mana saja kamu! Nggak kapok pulang telat!” Suara bentakan itu terdengar saat baru saja beberapa langkah kaki ini mengayun. Mas Aqsal duduk di kursi ruang tamu dengan gayanya yang memuakkan. “Habis nyari udara segar. Lagian ini belum Magrib,” jawabku santai, lalu kembali berjalan. “Ck, habis ngadu sama orang-orang kalau nasibmu itu mengenaskan? Selain sok suci di depan mamaku, perempuan mur*han, ternyata kamu juga suka membuka aib.” Suara Mas Aqsal mau tidak mau membuatku berhenti. Tahu dari mana dia kalau aku habis bertemu seseorang? “Tak penting aku tahu dari siapa, yang pasti aku semakin benci denganmu!” desisnya seolah-olah tahu apa yang sedang aku pikirkan. Dia berjalan ke arahku dan mencekal pergelangan tangan ini. Aqsal menyeret tanganku, membuat kaki ini setengah berlari mengimbangi langkah lebarnya. Perlakuan buruk seperti ini hampir setiap hari aku dapatkan. Aku sudah hafal. Aqsal membawaku masuk ke kamarnya. Serangan bertubi-tubi dan kasar dia layangkan. Bukan sebuah ciu*man hangat dan memabukkan seperti yang sering aku impikan. Kadang, bibir ini sering berdarah, leher ini terluka karena ulahnya. Cukup sampai di situ, Aqsal tak berani berbuat lebih jauh. Meskipun aku istrinya, halal untuknya, kami belum pernah melakukan ibadah pengantin. Setelah puas melihat aku kesakitan, dia pergi. Baru setelah sosoknya menghilang, air mata ini leluasa lolos dari tempatnya. Kadang, aku berpikir setiap hari malaikat mau mengintaiku. Entah berapa lama lagi tubuhku kuat menahan semua. Tidak apa. Aku harus bertahan sampai tiba waktunya nanti untuk berlari. Sejauh-jauhnya. Mas Aqsal memang pria yang sangat sulit diraba keinginannya. Dia membenciku, tetapi jika aku pulang telat sedikit saja dia akan marah. Seaneh itu. ** “Mama sudah makan?” tanyaku pada seorang wanita yang berbaring lemah di ranjang. Bagian tubuh kanannya sudah tidak berfungsi. Hanya bagian kiri yang masih bisa digerakkan. Terdengar dia bergumam sesuatu, entah apa maksudnya aku tidak paham. Tangan kirinya menggenggam erat tanganku. Matanya basah. Aku hanya mengangguk, mengelus lembut tangannya, dan menghapus jejak air mata yang jatuh dari mata sayu itu. Wanita inilah, salah satu alasan kenapa aku masih tinggal di sini. Wanita inilah, yang membawa kakiku tertarik untuk kembali walau sejauh apa pun melangkah, walau sekejam apa pun Mas Aqsal berulah. Mama Elena, mertuaku. Sudah dua bulan ini Mama mengalami lumpuh dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Bukan aku yang sepenuhnya melayani kebutuhan beliau, tetapi ada perawat khusus. Namun, aku selalu datang kepadanya. Sering juga tidur di sampingnya. Salah satu alasan sikap kasar Mas Aqsal juga karena sakitnya Mama. Pria itu menganggap aku penyebab Mama yang awalnya sehat jadi seperti ini. Aku sudah mengiba maaf berkali-kali. Namun, Mas Aqsal tidak mau tahu dan tetap menjadikanku tersangka. Mama dulunya adalah majikanku, lalu memintaku menjadi menantunya. “Aqsal itu sudah tiga puluh tahun lebih. Tapi sejauh ini belum ada wanita yang dikenalkan ke saya. Teman-temannya kebanyakan laki-laki. Saya takut dia punya orientasi s*ks yang menyimpang,” ucap Mama Elena dulu saat masih sehat. Kami memang sangat dekat. Bisa dibilang aku ini kaki tangannya. “Kalau Bu El punya pemikiran seperti itu, coba diselidiki,” ucapku memberi saran. “Tapi saya ini tidak dekat dengannya. Dia putra kandung saya, tapi kami seperti berjarak. Kamu tahu sendiri sifat anak lelaki, tertutup. Kami tidak pernah mengobrol seperti anak dan ibu pada umumnya padahal saya tidak pernah lelah mengajaknya bicara.” “Atau coba perhatikan siapa-siapa saja rekannya, Bu. Apa ada yang mencurigakan atau tidak. Kalau perlu, sehari Ibu bisa menguntit kegiatan Pak Aqsal. Atau kalau tidak mau repot, Ibu bisa menyuruh seseorang.” “Idemu oke juga. Nanti saya bakal lakukan apa yang kamu sarankan.” Bukannya mencari orang lain yang mengikuti, Mama Elena justru memintaku yang melakukan itu dengan bayaran yang lumayan. Kebetulan, saat itu aku juga sedang butuh banyak uang. Akhirnya, aku mengiakan. Hingga akhirnya aku ketahuan Mas Aqsal dan tragedi besar terjadi yang mengharuskan aku menikah dengan pria itu. “Ha, aku mau bicara,” ucap seseorang, membuyarkan lamunan. Aku tahu itu suara siapa. Nada bicaranya padaku begitu lembut saat ada mamanya. Aku pun mengangguk. Setelah berpamitan dengan Mama, aku memenuhi permintaan Mas Aqsal. Dengan mesra, dia memeluk pinggang ini mesra. Dasar cari aman, cari muka. Setelah di luar kamar Mama, dia menyentak tubuhku, hingga membuat diri ini oleng. Dia lalu kembali mengambil telapak tanganku, lantas membawa berjalan ke arah taman. Dengan perasaan dongkol, aku mengikutinya. “Aku mau menindaklanjuti permohonanmu agar aku menikah lagi. Yakin kamu sanggup punya madu?” tanyanya langsung setelah tiba di taman. “Iya. Silakan saja menikah lagi. Carilah istri yang sesuai kriteriamu. Aku sudah muak dengan sikapmu yang kasar itu," jawabku tak kalah tegas. “Dan aku pastikan kamu akan menyesal karena sudah memintaku melakukan itu.” “Nggak. Aku nggak akan pernah menyesal. Nikahi wanita mana saja sesuai kehendakmu. Aku udah capek.” “Kita lihat saja nanti. Tapi ingat, sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikanmu meski aku punya istri baru.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN