Sinar matahari langsung menyengat Airin pagi itu. Seorang pengangguran seperti dia mana mungkin bangun dengan keniatan sendiri. Terkecuali alarm alami yang selalu menggema dari balik pintu kamar itu. Suara Hilda berhasil membangunkan anak perawannya dalam satu kali percobaan.
"Rin! Ada tamu," ucap Hilda. Alih-alih membangunkan anaknya seperti biasa. Dia malah mengatakan Airin kedatangan tamu. Tentu saja, mendengar itu Airin berpikir. Dia segera membuka matanya sempurna. Otaknya langsung bekerja pagi itu, berpikir siapa yang datang sepagi ini ke rumahnya.
Pintu terbuka tanpa diketuk. Sosok Hilda muncul dan hanya mendongakkan kepala.
"Ada tamu," kata Hilda lagi mengulangi.
"Siapa?" tanya Airin masih dalam posisi berbaring.
"Desta," kata Hilda. Airin mengerutkan kening.
"Ada apa dia datang ke rumahku sepagi ini?" tanyanya. Airin melirik jam dinding. "Ah," keluhnya. Ternyata sudah pukul sembilan lewat dua puluh menit.
"Pantas saja jam segini," ujarnya.
Hilda sudah menghilang di balik pintu. Airin dengan malas bangun. Tanpa membereskan tempat tidurnya. Dia keluar dengan keadaan berantakan.
"Kenapa?" tanya Airin malas sembari berjalan menuju ruang tamu. Desta terkejut, melihat Airin bangun tidur.
"Astaghfirullah!" ujarnya terkejut.
"Sialan," gerutu Airin. Pasalnya Desta menahan tawa saat melihat kondisi dirinya.
"Ada apa? Tumben pagi-pagi ke sini?" tanya Airin penasaran.
"Hidup aku nggak pernah tenang. Pagi ini Brian menelpon lebih dari dua puluh kali." Desta menjelaskan. "Nomor kamu kenapa nggak aktiv?" tanyanya.
"Ah, lupa aku cas semalem," jawab Airin santai.
"Brian paling nggak bisa menunggu kabar, apalagi dengan keadaan nomor nggak aktiv, nomor di luar jangkauan, nomor sibuk," kata Desta.
"Terus?" tanya Airin.
"Rin, kalian baru aja jadian, kan? Dia takut kalau tiba-tiba kamu ninggalin dia lagi. Dari dia tiba di sana sudah coba hubungi kamu, tapi gagal." Desta menjelaskan. "Ya aku yang jadi korban." Desta kesal.
Airin tersenyum malu. "Maaf, aku nggak tau Brian segila itu," ujarnya.
Desta menggelengkan kepala tak mengerti.
"Oh ya," kata Airin. Dia celingukan. Memastikan Hilda tak ada di sekitarnya.
"Aku nemu foto Tristan. Iya, dia adalah pacar adikku," ujar Airin sedikit berbisik.
"Iya, kan?" tanya Desta. "Apa kamu Nemu bukti lain?" Desta semakin penasaran.
"Sepertinya aku nggak bisa cerita di sini," ujar Airin. Matanya masih menyelidiki area rumahnya.
"Ah," jawab Desta mengangguk. Dia tahu maksud Airin. Agar ibunya tak mendengar.
"Aku mandi dulu, bentar," kata Airin. Desta mengangguk.
Airin kembali ke dalam. Dia membersihkan diri. Desta tak melihat sosok Hilda lagi. Jadi, Desta memilih memainkan ponselnya sembari menunggu Airin.
Dua puluh lima menit, Airin akhirnya keluar dengan baju kasualnya. Dia mengenakan celana jeans, dan kaos oblong kebesaran yang dimasukkan ke dalam celana. Sepatu kets tak ketinggalan menambah gaya tomboinya.
"Ayo!" ajak Airin.
"Nyokap ke mana?" tanya Desta celingukan.
"Ada di halaman belakang, dia lagi sibuk sama bunga-bunganya," ucap Airin.
"Terus aku pamitnya gimana?" tanya Desta.
"Aku udah bilang mau pergi," kata Airin. Desta mengangguk mengerti.
Mereka memilih kafe seperti biasanya. Duduk sembari menikmati ice americanno. Namun, kali ini Airin memilih espresso untuk mengisi perutnya yang masih kosong.
"Ada bukti lagi?" tanya Desta lagi.
"Aku yakin, bukan Brian pelakunya," kata Airin tiba-tiba. Desta bingung. Sedari tadi saat dalam perjalanan memang mereka membicarakan Brian. Namun, saat Desta kembali menanyakan bukti. Wajah Airin langsung masam.
"Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu yakin banget?" tanya Desta. Airin mengangguk lemas.
"Aku harus ketemu sama Tristan," kata Airin bertekad.
"Ada masalah? Apa Adik kamu menulis tentang dia?" tanya Desta penasaran.
Airin menggelengkan kepala pelan. "Aku nggak bisa cerita banyak tentang dia. Yang jelas, aku harus ketemu dia," kata Airin. "Bantu aku, Des," pintanya.
"Tentu, aku akan bantu kamu." Desta menyanggupi.
"Wah, kebetulan sekali." Suara Ken menggema di telinga Airin dan Desta. Keduanya menoleh bersamaan.
"Ken," ujar Airin. Dia tersenyum. Desta pula ikut tersenyum kepada Ken.
"Boleh gabung, nih?" tanyanya.
Airin mengangguk, begitu juga Desta. Ken dengan santai duduk dan bergabung.
"Dari tadi di sini?" tanya Ken. Airin mengangguk.
Ken mengerutkan kening. Dia sangat tahu, jika Airin sedang ada masalah sekarang.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Ken. "Apa kemarin gagal mencegah kepergian Brian?" tanya Ken lagi.
Airin menggelengkan kepala.
"Kita lagi cari ..." Kata Desta. Airin segera mencegah ucapan itu. Dia tak ingin Desta bercerita kepada Ken.
Ken bingung. Dia melihat tangan Airin memegang lengan Desta.
"Ada apa? Cari apa?" tanya Ken.
"Cari udara pagi." Airin beralasan.
"Aneh," kata Ken. "Gimana? Brian tetap pergi?" Ken terlalu penasaran dengan kisah Airin. Padahal dalam hatinya sangat cemburu.
Airin mengangguk. "Sementara," jawabnya. Ken menganggukkan kepala.
Ketiganya menghabiskan waktu hampir selama satu jam. Setelah akhirnya Desta lebih dulu pamit.
Desta tak mungkin membahas lagi masalah Irene. Airin tak mungkin setuju.
"Des, aku juga sepertinya harus balik," kata Airin berpamitan.
"Lho! Kok, pulang semua?" tanya Ken. Dia melihat Desta sudah berdiri, disusul Airin.
"Aku juga ada perlu," kata Airin.
"Oh gitu, oke," jawab Ken mengalah. Dia tahu, Airin tak akan bisa tinggal lebih lama dengan dirinya.
Airin mengekor di belakang Desta. Hari itu Desta tau Airin sedang menghindari Ken.
"Hubungan kalian baik-baik aja, kan?" tanya Desta setelah tepat keluar dari pintu kafe.
"Baik, kenapa?" tanya Airin.
"Kamu kayak menghindar gitu," kata Desta lagi.
"Des, bisa antar aku pulang?" tanya Airin.
"Bisa," jawabnya singkat. Airin mengangguk. Lantas mereka masuk ke dalam mobil milik Brian.
Desta memang menggunakan fasilitas Brian. Terlebih dua juga bakal sering bolak-balik ke apartemennya.
"Sepertinya Brian akan menghubungiku nanti, jadi aku harus segera pulang," kata Airin. Desta mengangguk.
Keduanya sudah duduk di dalam mobil. Desta bersiap-siap untuk melajukan mobil, meninggalkan pelataran kafe.
"Aku nggak mungkin bisa bercerita banyak sama Ken." Airin membuka percakapan. "Aku nggak bisa menyakiti dia lebih banyak lagi," katanya lagi. Desta mengerutkan kening.
Airin mengangguk. "Seperti yang kamu tau, Ken suka sama aku. Nggak mungkin rasa suka seseorang hilang setelah dia ditolak, setelah dia mengaku bersalah, aku tahu Ken masih menyukaiku," kata Airin. Desta mengangguk memahami.
"Terlebih sekarang aku udah sama Brian, nggak mungkin banget kan aku menceritakan kebahagiaan aku di depan dia," kata Airin lagi.
"Benar," jawab Desta.
Desta hari itu mengantarkan Airin. Setelah Airin turun. Desta menurunkan kaca mobil.
"Oh ya, nanti sore aku mau ketemu sama Gibran," kata Desta. Airin mengerutkan kening.
"Gibran? Siapa?" tanyanya.
"Ah, dia staff di sekolah Irene. Dia yang cari tahu masalah Irene," ujarnya. "Kalau kamu mau ikut, nanti aku jemput jam empat," kata Desta lagi.
"Ah, oke, oke, aku mau ikut," ujar Airin bersemangat.
Setelah kepulangan Desta. Airin langsung masuk ke dalam. Dia mendapati Hilda tengah menonton siaran televisi.
"Ma, aku pulang." Airin berucap sembari melenggang ke dalam rumah. Dia duduk di samping Hilda dan mencium pipinya. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum melihat tingkah anaknya.
"Temannya udah pulang?" tanya Hilda. Airin mengangguk.
"Tadi nggak sempat pamit, katanya dia minta maaf," ujar Airin. Hilda mengangguk mengerti.
Airin merebahkan tubuhnya. Menggunakan kaki Hilda sebagai bantalan kepalanya. Hal itu membuat Hilda tersenyum. Walaupun kerap seperti itu. Namun, hari itu tak biasa.
"Ma, sepertinya, Irene bunuh diri bukan karena Brian," kata Airin ragu. Hilda yang sedang fokus di layar televisi segera beralih menatap anaknya. Tangan yang sedari tadi mengusap rambut Airin pun berhenti.
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong itu? Kamu yakin?" tanya Hilda. "Bukan karena kamu sudah dekat sama Brian?" katanya.
Airin menggelengkan kepala. "Bukan karena itu," jawabnya. "Aku yakin, ada sesuatu yang lain." Airin mulai gugup. Dia ingin menjelaskan, namun tak memungkinkan. Bagaimana jika Hilda tahu, tentang semua rahasia yang Irene simpan sampa dia meninggal.
"Ah, sudah lah. Kenapa aku membahas ini," kata Airin. Dia tersenyum canggung. "Aku akan menyelidikinya lagi," ucap Airin lagi. Hilda mengulas senyum tipis dan mengangguk.
Sedang asyik bersantai. Airin teringat sesuatu.
"Brian!" ujarnya. Dia segera bangkit. Dia melupakan ponsel yang dia tinggal di kamar. Hilda yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Airin menaiki anak tangga secepat kilat. Dia menuju kamarnya. Segera meraih ponsel setelah membuka pintu.
Mengaktifkan ponsel. Setelah menunggu beberapa saat, ponsel itu kembali menyala. Satu persatu pesan masuk. Notif panggilan juga turut bertabur di sana.
"Brian," katanya. Laki-laki itu sudah menelponnya sejak semalam. Kini akhirnya Airin menyesal membiarkan ponselnya mati.
"Apa aku telepon balik?" tanya Airin. "Enggak, itu akan memakan biaya banyak." Airin mengurungkan niatnya.
Tak lama, Brian menelepon. Airin segera menjawab.
"Halo," jawab Airin ragu.
"Kenapa baru aktif? Kamu lupa sama aku?" tanya Brian mengomel.
"Enggak, aku lupa cas hapeku," katanya santai.
"Sedang apa?" tanya Brian.
"Sedang telepon," jawab Airin jujur.
"Airin," kata Brian tak terima. Airin tertawa. Sangat jelas tertawanya itu di dengar oleh Brian.
"Yan, lain kali jangan ngerepotin Desta. Kasihan, pagi-pagi dia harus ke rumahku, dan menanyakan tentang aku," kata Airin.
Brian tersenyum. "Salah siapa nggak aktiv," jawabnya.
"Iya, tapi kasihan dia." Airin tak enak hati.
"Iya, iya." Brian mengalah.
Mereka memakan waktu hingga satu jam dalam percakapan telepon. Hingga Brian tertidur. Membuat Airin menggelengkan kepala.
"Ya udah, selamat istirahat," kata Airin berbisik. Padahal sudah tak ada respon dari Brian lagi.
____
Tepat pukul empat sore, Desta kembali datang ke rumahnya. Airin yang sudah bersiap segera berpamitan dengan Hilda.
"Ma, aku pergi dulu," ujarnya sembari mencium pipi wanita itu.
"Sepertinya kalian semakin dekat, hati-hati, lho! Nanti bisa suka," ujar Hilda. Dia melihat Desta sudah menunggu Airin dari balik jendela.
"Mama, ya enggak lah. Kita ada bisnis bareng," kata Airin beralasan. Hilda hanya tersenyum.
Airin keluar dan menuju mobil. Desta yang tengah berdiri di samping mobil segera masuk.
"Kita mau ke mana?" tanya Airin setelah duduk di kursi penumpang yang ada di depan.
"Di taman kota. Kebetulan Gibran ngajak anak dan istrinya bermain di sana," ucapnya. Airin mengangguk mengerti.
Perjalanan sangat mulus. Tak terhambat macet. Desta sampai di taman itu pukul lima kurang dua puluh menit. Taman bermain, dan juga taman tempat bersantai keluarga itu tampak sudah ramai. Desta dan Airin berjalan. Di sepanjang taman itu banyak pedagang makanan. Walaupun seperti itu, namun pemerintah menatanya dengan baik.
"Aku baru ke sini, ternyata di Jakarta ini ada taman yang bagus seperti ini," kata Airin. Desta menoleh dan mengangguk.
"Dan juga sangat bersih, bukan?" tanyanya. Airin mengangguk.
"Ah, itu dia!" Desta melihat sosok Gibran yang tengah bermain sepeda dengan anaknya.
Setelah jarak mereka hampir dekat, Desta melambaikan tangan. Gibran mengetahui keberadaan Desta. Dia tersenyum.
Mereka mencari tempat duduk di depan danau. Danau kecil, tetapi sangat indah itu jarang dilalui orang karena memang tempatnya di pojokan.
"Bagus banget," puji Airin melihat danau yang sangat tenang.
"Apalagi kalau malam hari," timpal Gibran. "Bangus banget," lanjutnya memuji. Desta dan Airin mengangguk setuju.
"Gimana? Ada perkembangan?" tanya Desta. Gibran menoleh dan mengangguk.
"Aku kemarin hubungi teman dekat Tristan, dan dia katanya akan kembali lebih cepat," jawab Gibran.
"Serius?" tanya Desta.
Gibran mengangguk. "Pertengahan November ini," jawabnya.
"Bagus, deh. Lebih cepat lebih baik," kata Desta.
"Apa kamu juga mengenal Tristan?" tanya Airin ragu. Desta mengerutkan kening bingung.
"Tentu saja, dia staf di sekolah itu. Pasti kenal sama murid-muridnya," jawab Desta.
"Ah," kata Airin mengangguk. "Tristan orang seperti apa?" tanya Airin lagi.
"Tristan? Mmm, sebenernya dia anak baik, hanya saja keberanian dia sering memberontak di sekolah," kata Gibran tersenyum. "Dia meniru Ayahnya. Keras kepala, dan sangat tegas," ujarnya. "Tapi, dia sangat digilai di sekolah, selain tampan, dia juga sangat pintar, jago olahraga dan jago mata pelajaran," jelas Gibran.
"Nggak heran kalau siswa perempuan tergila-gila," kata Gibran. "Tapi, hubungannya dengan Irene waktu itu sangat rahasia. Mereka sering bertemu di gedung belakang sekolah," kata Gibran. "Seandainya waktu itu hubungan mereka terekspos, sudah pasti Irene diserang sama cewek sekolah. Karena bagi mereka Tristan nggak boleh dimiliki siapapun," kata Gibran.
"Benarkah?" tanya Airin. Air matanya menggenang di pelupuk mata. "Jadi dia orang yang seperti itu," katanya lemah.
Desta yang melihat perubahan sikap Airin bingung. "Rin, kamu kenapa?" tanya Desta.
Air mata Airin menetes bebas di pipi. Dia menjadi emosional.