BAB 3-4

1087 Kata
BAB 3 Kenapa? Itulah pertanyaan yang ada di benakku saat ini. Kenapa harus istriku yang mengalami ini? Aku seorang Dokter Kandungan yang setiap hari memeriksa puluhan orang hamil dan membantu belasan orang melahirkan, tapi kenapa aku tidak bisa menyelamatkan istriku sendiri? Aku merasa menjadi dokter yang tidak berguna. Percuma aku menjadi Dokter Kandungan kalau tidak bisa menyelamatkan istriku sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Istriku sudah pergi untuk selama-lamanya. Meskipun aku seorang dokter, tetap saja aku tidak bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mengikhlaskannya agar dia tenang di alam sana. ‘Maafkan aku, Sayang,’ gumamku dalam hati sambil menatap wajah istriku yang semakin pucat. Pergantian shift pun berlalu. Aku masih termenung meratapi kepergian istriku. Rasanya aku masih belum percaya ia pergi secepat ini. Biasanya ia akan tersenyum hangat padaku ketika aku pulang dari rumah sakit. Kini ia sudah pergi untuk selamanya. Aku pun merasa haus karena sedari tadi belum minum atau makan apa pun. Kulihat semua orang tengah sibuk mengurus jenazah istriku. Hingga akhirnya tatapanku tertuju pada seorang bidan muda sedang menulis laporan. Aku pun menghampirinya dan menepuk bahunya. “A-ada yang bisa saya bantu, Dok?” tanyanya padaku. Tampak sekali kalau ia sangat terkejut. “Tolong belikan saya teh hangat di kantin!” pintaku dengan lirih seraya menyerahkan uang dua puluh ribu padanya. Gadis itu pun setuju dan pergi ke kantin. Tidak berapa lama kemudian gadis itu kembali dari kantin. “Ini pesanannya, Dok,” katanya seraya menaruh nampan berisi satu gelas teh dan beberapa roti di atas meja yang ada di depanku. “Aku tidak memesan roti,” ujarku ketika melihat roti di samping teh itu. Karena sudah merasa sangat haus, aku pun meraih gelas berisi teh hangat itu dan meminumnya. “Iya saya tahu, Dok, tapi Dokter juga harus makan. Anak Dokter membutuhkan Papanya. Jadi, Dokter juga harus punya tenaga untuk merawat dan menjaganya,” tuturnya padaku. Aku pun menatapnya. Aku bisa melihat ketulusannya. “Terima kasih,” ucapku padanya kemudian. “Sama-sama, Dok. Kalau begitu saya permisi,” pamitnya. “Tunggu!” ujarku tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Gadis itu pun berbalik dan menatapku. “Iya, Dok!” sahutnya. “Ikut saya ke ruang Perinatologi!” ajakku. Tiba-tiba aku ingin melihat anakku dan mengajak gadis itu. Sesampainya di ruang Perinatalogi, aku mencuci tangan di wastafel sebelum menyentuh anakku. Setelah mencuci tangan, aku mendekati ranjang di mana anakku berada. Aku menatapnya lalu mengangkat tubuhnya dan mendekapnya di dadaku. Dia sangat tampan. Andai istriku masih hidup, mungkin ia akan sangat bahagia saat ini. Lagi-lagi dadaku terasa sesak saat mengingat almarhumah istriku yang baru saja meninggal dunia beberapa jam yang lalu. Air mataku pun tak bisa terbendung lagi. Setelah menidurkan bayiku dan mengusap air mataku, aku pun menatap gadis itu. Tiba-tiba terbesit di pikiranku meminta gadis itu untuk menjadi pengasuh anakku. Untungnya dia langsung setuju setelah aku menawarkan gaji yang lebih besar dari gajinya di rumah sakit. Bagaimana pun aku harus tetap bekerja untuk menghidupi dan membahagiakan anakku. Karena istriku sudah tiada, mau tidak mau aku harus memperkerjakan seorang pengasuh. Aku rasa dia orang yang tepat karena terlihat belum menikah. Jadi ia bisa fokus mengurus anakku tanpa harus mengurus suami dan anaknya di rumah. *** BAB 4 Pov Author Keesokan harinya Pagi ini adalah hari pemakaman almarhumah istri Dokter Ardian. Setelah beberapa orang pelayat meninggalkan pemakaman, Dokter Ardian masih berjongkok di samping makam mendiang istrinya. “Ayo kita pulang, Yan!” ajak Pak Aryo, Papanya Dokter Ardian. “Papa pulang dulu saja. Ardian masih ingin di sini,” sahut Dokter Ardian tanpa menoleh pada Pak Aryo yang berdiri di sampingnya. “Baiklah kalau begitu,” tukas Pak Aryo lalu pergi meninggalkan Dokter Ardian. Ia tahu bagaimana perasaan Dokter Ardian saat ini. “Tenanglah di sana, Sayang. Aku akan menjaga anak kita,” ucap Dokter Ardian seraya membelai batu nisan yang ada di depannya. Setelah beberapa saat, Dokter Ardian bangkit dan menoleh ke makam mendiang istrinya sebelum pergi. Usai itu ia masuk ke dalam mobil dan melajukannya ke rumah sakit untuk menjemput anaknya. *** Kos Citra Citra sedang mengecek barang-barangnya dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Tidak lama kemudian ponselnya berdering. Ia pun meraih ponselnya yang berada di atas tempat tidur. “Siapa yang telepon?” gumam Citra dengan mengernyitkan keningnya saat melihat nomor tak dikenal pada layar ponselnya. Namun, ia tetap menggeser tombol hijau pada layar benda pipih itu untuk mengetahui siapa yang meneleponnya. “Hallo ...,” sapa Citra dengan pelan. “Di mana kamu?” tanya seseorang di seberang telepon dengan tegas. Citra pun membelalakkan matanya lantaran terkejut saat mendengar suara Dokter Ardian. Saking terkejutnya, ponselnya sampai terjatuh ke lantai. “Di kos, Dok!” jawab Citra dengan gugup setelah mengambil ponselnya kembali. “Cepat ke rumah sakit!” seru Dokter Ardian lalu memutuskan sambungan teleponnya tanpa mendengar jawaban dari Citra terlebih dahulu. Citra pun mendengus pelan ketika melihat sambungan teleponnya sudah mati. Dengan segera ia membawa tas berisi barang-barangnya menuju rumah sakit. Untungnya tadi pagi ia sudah berpamitan pada pemilik kos. Sehingga ia tidak perlu berpamitan lagi. Sesampainya Citra di rumah sakit, Dokter Ardian sudah menunggunya di depan ruang Perinatologi. “Ayo masuk!” ajak Dokter Ardian tanpa menunggu Citra bernapas sebentar karena berjalan cepat menuju rumah sakit dengan membawa tas besar. Mau tidak mau Citra pun mengekor di belakang Dokter Ardian. Tidak lama kemudian mereka keluar dengan bayi di gendongan Dokter Ardian. Di dalam mobil, Citra duduk di samping Dokter Ardian dengan memangku anak Dokter Ardian. Selama perjalanan menuju rumah Dokter Ardian, tidak ada percakapan di antara mereka. Dokter Ardian pun fokus mengemudi hingga sampai di rumah. Sesampainya mereka di rumah Dokter Ardian, para keluarga menghambur keluar rumah untuk menyambut anak Dokter Ardian. Mereka sudah tidak sabar untuk segera menggendongnya. “Jangan menyentuhnya sebelum mencuci tangan!” seru Dokter Ardian setelah keluar dari dalam mobil. Setelah itu ia membuka pintu yang ada di samping Citra lalu mengangkat anaknya dari pangkuan Citra dan membawanya masuk ke dalam rumah. Citra pun buru-buru mengambil tasnya yang ada di kursi belakang lalu mengekor di belakang Dokter Ardian. Ketika Dokter Ardian memasuki ruang tamu, ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya. Pemilik sepasang mata itu pun tersenyum lalu bangkit dari duduknya dan mengikuti Dokter Ardian. “Kak!” sapa pemilik sepasang mata itu. Dokter Ardian pun menghentikan langkah kakinya lalu menoleh ke arah sumber suara. “Apa?” sahut Dokter Ardian dengan jutek. Orang itu pun tersenyum dan memandang mata Dokter Ardian. “Aku turut berduka cita atas meninggalnya Kak Nadia,” ucap orang itu yang tidak lain adalah Widia, adik kandung Nadia Rahayu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN