1. Prolog

1618 Kata
Siska : Satu jam berlalu. Kedua mata masih fokus membaca soal demi soal di selembar kertas. Sesekali melirik jam yang tergantung di dinding bagian depan, memastikan masih ada sisa waktu untuk mengisi jawaban. Semua penghuni sibuk dengan kegiatannya, begitu pun sang dosen yang sedari tadi berjalan mengelilingi kelas. Terkadang duduk sebentar, menit kemudian kembali melangkah. Lengkap dengan sorot tajamnya. Aku tersenyum, menyadari semua pertanyaan sudah terjawab. Tak menunda waktu, segera berdiri memberi isyarat. "Silakan, simpan di meja!" perintah lelaki paruh baya berperawakan tinggi kurus itu, lalu memberi isyarat menunjuk pintu. Aku mengangguk hormat. "Lega ...," desahku saat sudah berada di luar. Merentangkan tangan dan menghirup napas kuat-kuat, mengembuskannya lewat mulut. "Siska!" Aku menoleh. Terlihat perempuan seumuranku berlari menghampiri, salah satu mahasisiwi kampus juga. "Hai, Luna! Ada apa?" sapaku, ketika dia sudah berdiri di hadapan. Wajahnya pucat, dengan napas terengah-engah. "Aku ada perlu, Sis. Bisa minta waktunya, bentar aja?" "Boleh. Aku juga mau pulang, kok!" "Mmm, kalau gitu sambil jalan, ya?" Aku mengangguk. Baru beberapa langkah, Luna tergesa merogoh ponsel dalam tasnya. "Halo, Kak! Iya, ini aku lagi usahain." Luna terdiam. Raut wajahnya tampak sedih juga cemas. Sesekali melirik gelisah ke arahku. Hingga akhirnya menyimpan kembali ponsel dengan gerak lemah. "Kenapa? Ada masalah, ya? Itu telepon dari siapa?" tanyaku penasaran. "Kak Lutfi. Mama ... masuk rumah sakit, Sis. Terus, harus dioperasi hari ini juga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Astaga! Ya udah, kita langsung ke rumah sakit, ya!" Luna mengangguk. Di taksi Luna bercerita tentang keadaan sebenarnya. "Udah dua tahun Mama sakit paru-paru. Mestinya dari dulu di operasi, tapi Papa yang cuma karyawan biasa, mana sanggup membiayai operasinya. Gaji sebulan Papa habis buat makan, biaya kuliah aku, sekolah Lusi. Tabungan Kak Lutfi juga udah mulai menipis dipakai berobat Mama. Sampai kemarin kondisi Mama drop, dokter bilang harus cepet dioperasi. Kantor Papa udah kasih kasbon tapi belum cukup, sedangkan operasi enggak boleh lewat hari ini. Aku bingung, enggak tau mesti gimana?" Luna terisak, menghapus bulir air mata di pipinya. Aku mengelus pundaknya, memberi kekuatan. "Itulah alasannya, aku ... aku mau minta tolong sama kamu, Sis. Barangkali aja kamu bisa bantu." Suara Luna terdengar parau. Terlihat canggung di sorot matanya. Aku tersenyum. "Oke, sekarang kamu tenang dulu, ya? Aku pasti bantu kamu, selama aku bisa." Aku memeluk Luna, mengelus punggungnya berusaha menenangkan. "Makasih banget sebelumnya, Sis. Aku udah bikin kamu repot, sering banget susahin kamu selama ini." "Udah, enggak apa-apa. Kamu temen aku, sesama teman harus saling menolong, 'kan?" Aku melepas pelukan, dan tersenyum kembali. Luna mengucapkan terima kasih kembali, berkali-kali. Bahkan menggenggam erat kedua tanganku. Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju ruangan tempat mamanya Luna dirawat. Aku turut bersedih melihat keadaannya. Tak menunda waktu, segera aku ke ruang administrasi. Melunasi semua p********n agar operasi segera bisa dilaksanakan. "Semoga operasinya lancar, ya! Maaf, aku enggak bisa nemenin lama-lama. Aku udah harus pulang," pamitku. "Makasih banyak, Siska. Aku enggak tau harus berkata apa lagi." Luna kembali menangis, memelukku erat. "Udah, malu dilihat orang. Mendingan sekarang kamu berdoa, buat kesembuhan Mama kamu." Luna mengangguk. Sempat mengucapkan kembali terima kasih, yang aku tanggapi dengan senyum dan lambaian tangan. *** Matahari sore mulai bergulir ke peraduan. Aku menyandarkan tubuh lelah pada jok taksi. Rasanya ingin segera sampai, membayangkan agar bisa berendam di kamar mandi. "Apartemen depan, Pak!" Aku memberi isyarat pada sopir taksi, yang ditanggapi dengan anggukan kepala. Taksi pun berhenti di depan pintu lobby. Aku turun setelah membayar ongkos sesuai tarif yang tertera pada argo. "Selamat sore, Mbak Siska!" sapa security ramah sambil membuka pintu yang keseluruhannya terbuat dari kaca transparan. "Sore," sahutku singkat disertai senyum. Bergerak santai menyusuri lantai granit putih bersih kemudian berhenti di depan lift. Hanya lima detik, pintu lift terbuka. Aku masuk, menekan angka lima belas. Di mana rumahku berada. Sebuah apartemen yang bisa disebut mewah, atau mahal. Maka tak usah heran, jika penghuninya kebanyakan adalah kalangan pengusaha dan karyawan asing. Lalu aku? Ah, nanti saja aku ceritakan. Beberapa kali lift sempat berhenti, beberapa orang keluar masuk. Hingga sampailah di lantai yang kutuju. Hanya perlu berjalan beberapa meter, melewati lorong yang keadaannya selalu sepi. Berhenti di pintu bernomor 15A7. Pintu pun terbuka. Baru saja selangkah masuk, kakiku terantuk sebuah benda. Rupanya sepasang sepatu pantopel hitam tergeletak sembarang. "Hmm, kebiasaan." Aku mengambilnya lalu meletakkan di rak samping pintu. Menutup dan mengunci pintu lagi. Apartemen yang cukup luas, dengan satu kamar tidur besar. Lengkap dengan ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Sudah satu tahun aku tinggal di sini, bersama dia. Ah, tidak kurasa. Sesekali dia datang menengok. Seperti hari ini, dia sedang mengunjungiku. Kubuka pintu kamar perlahan, asap rokok memenuhi ruangan. Pandanganku tertuju pada tumpukan ; kaos putih, kemeja biru tua, celana bahan hitam, berikut jas hitam dan kaos kaki yang berserakan begitu saja di lantai. Ini memang sering terjadi, dan kurasa mood-nya sedang jelek. Membuat aku harus sedikit mengeluarkan tenaga ekstra. Tak banyak bicara. Kupunguti semua satu persatu, menyimpannya di atas kursi. Seperti pembantu? Oh, tidak! Ini hanya sambilanku saja. Pekerjaan utamaku sebenarnya adalah mengurus mood lelaki ini. Lelaki dewasa yang sudah berumur dua puluh delapan tahun. Dia duduk di kursi, menghadap ke teras yang tirainya masih tertutup. Sepertinya tadi pagi aku lupa membukanya. Kudekati perlahan. Aku tahu dia sadar akan kedatanganku, tapi dia tetap asyik sendiri dengan kegiatannya. Berhenti tepat di belakang punggung lebar itu. Merundukkan kepala, lalu mengecup hidung mancungnya. Dia mendongkak, meminta lebih. Cukup menurunkan posisi bibirku, hingga bersejajar dengan bibirnya. Menyesapnya selama beberapa detik. Manis, karena penuh dengan nikotin. "Bukannya dua hari lagi kamu pulang?" bisikku, dengan satu tangan membelai pipinya. Bukan jawaban yang aku dapat. Dia malah menarik tanganku, meraih pinggang ini agar duduk di atas pangkuannya. "Bosan. Yang penting meeting utama udah beres, sisanya biar jadi urusan mereka." Tangan kanannya meraih kemasan rokok di atas meja. "Have a problem?" Kutahan lengannya. Mata sayunya melirik tajam. Mungkin kurang suka atas sikapku. Akhirnya dia gunakan tangannya untuk menarik leherku, menekan lebih dalam. Hingga bibir kami saling mengulum dengan mata terpejam. Dering mengalun dari ponsel. Bisa kurasakan tangannya bergerak cepat meraih benda itu di atas meja, tanpa melepas pagutan bibir. Aku membuka mata, saat dia melepas ciuman panas kami. Terdengar decakan malas dari bibirnya ketika melihat layar ponsel, kendati akhirnya dia menempelkan benda persegi itu di samping telinga. "Halo, Mi!" "Mi, ayolah! Mami tau aku masih di Ausie, kerjaan aku belum beres. Aku baru bisa pulang akhir pekan," ucapnya dengan nada kesal. Dia terdiam, mungkin sedang mendengarkan suara di ujung telpon sana. Untuk mengisi kekosongan waktu, kumainkan jemari di atas d**a bidangnya. Aku suka jika dia bertelanjang d**a. Kau tahu, dadanya itu sangat seksi. Menurutku. Matanya mengerling, mengusap bibirku dengan jemarinya. "Iya, aku ingat." Dia mendengkus. Aku arahkan jemari ke bagian atas. Menyusuri leher, rahang tegasnya, mengusap pipi dan hidungnya. Lalu berakhir di telinga. "Oke-oke. Nanti aku atur waktunya," tandasnya. Lalu menekan tombol ponsel, dan melempar ke atas kasur. Beruntung smartphone itu tidak jatuh. "Kenapa menggodaku, hah?" desisnya. Aku tersenyum. Lalu mengulum telinganya, hingga tubuh tegapnya menggeliat. Dia menciumi leherku tanpa ampun, dengan kedua tangan yang mulai bergerilya. Menyurusi setiap lekuk tubuh yang masih berbalut pakaian. Aku menahan rasa geli, saat tangannya melepas kancing kemeja dan satu tangan lainnya membuka kancing celana jeans-ku. Aku menoleh, tas di atas pundak terjatuh. Rupanya tanpa sadar kelakuan tanganku sudah berlebihan. Akhirnya dia gunakan kesempatan itu untuk menarik kepalaku. "Let's make me happy, baby!" ucapnya sambil berdiri. Dengan aku yang masih bergelantung manja di tubuhnya. Kulingkarkan kedua tangan di lehernya, dengan bibir yang habis dilumatnya. Dia jatuhkan tubuh ini dengan pelan di atas kasur berukuran king. Tangannya bergerak liar, melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Hanya dalam hitungan detik, tubuhku nyaris telanjang. "Aku belum mandi," ucapku saat dia berdiri, untuk menarik celana dalamnya sendiri. "Tidak ada alasan untuk menolakku." Mata sayunya kini berubah. Ada kobaran api di dalamnya, yang meminta untuk segera dipadamkan. Aku tahu, dan aku mengerti apa yang dia inginkan saat ini. Kubuat dia melenguh panjang, mendesah, mengerang penuh kenikmatan. Inilah aku, Siska Aulia Lestari. Seorang mahasiswi di sebuah universitas ternama, yang hidup dan bertahan dengan bekerja ... melayani nafsu seorang pria. *** Aku menarik selimut yang tergulung di ujung kaki, menutupi tubuh polos hingga sebatas d**a. Lalu bersandar letih di ujung ranjang. "Ke mana pulang kuliah tadi? Kenapa pulang telat?" tanyanya sambil merebahkan kepala di atas perutku. Tubuhnya bahkan masih telanjang sempurna. "Habis dari rumah sakit." Dia menoleh. "Siapa?" "Luna. Mamanya sakit. Dia ... butuh biaya," sahutku ragu. "Enggak apa-apa, 'kan?" "Oh," jawabnya singkat. Lalu bangkit dan duduk di tepian ranjang. "Enggak marah, 'kan?" tanyaku lagi menyentuh lengannya. Dia berputar menghadapku. "Sudah kubilang, pakailah uang itu sesukamu." Lalu dia berdiri, meraih celana boxernya yang tergeletak di lantai. Aku terseyum, mendesah lega. Tampaknya dia sudah mengerti apa maksud perkataanku. Ya, Luna memang sering meminjam uang padaku. Dan dia tahu jelas itu karena aku selalu bercerita padanya. Termasuk tentang siapa Luna, yang juga adalah teman semasa SMP-ku. Biasanya dia akan meminjam untuk kebutuhan kuliah atau kontrakan rumah. Membayarnya kembali saat Kak Lutfi gajian. Dia berbalik, setelah memakai celana boxer hitamnya. "Kalau uangmu habis, bilang sama aku." "Makasih." Kali ini dia membungkuk, mengecup bibirku. "Everything for you." Lelaki tampan itu berputar, hendak melangkah. "Terus kamu sendiri, kenapa udah pulang? Katanya seminggu penuh di Ausie." "Something, entar kamu juga tau," jawabnya sambil berlalu. Mengambil sebatang rokok, dan menyulutnya. Duduk kembali di atas kursi. "Ujian kamu beres, 'kan?" tanyanya setelah mengepulkan asap ke udara. "Udah, tadi yang terakhir." Aku bangkit, turun dari ranjang. Mengambil tas yang masih tergeletak di lantai. Duduk di tepian ranjang sambil merogoh ponsel. Benar saja, banyak pesan dan telpon tak terjawab. Aku balas salah satu pesannya. "Siapa?" "Oh, ini Luna kasih tau kalau malam ini mamanya mau dioperasi," sahutku. "Hmm, baguslah. Jaman sekarang apa-apa disejajarin sama uang, termasuk nyawa." Dia berdiri, berjalan menuju kursi di dekat pintu. Jemari yang sedang mengetik balasan, terhenti sejenak. Jujur saja, aku merasa tersindir dengan ucapannya. Uang. Apa karena uang juga, alasanku sekarang bisa berada di sini? Bersamanya, menemaninya, memenuhi hasratnya. "Bisa bikinin aku kopi?" Dia sudah berdiri di hadapanku. Membawa kemeja putih lalu meletakkan bagian pundaknya di bahuku. Aku mengerti. Kumasukkan kedua tangan bergantian ke bagian lengan. Dia mengaitkan satu persatu kancing kemeja yang hanya menutupi tubuhku sebatas b****g. Bola mata hitam itu menatap lekat. Satu tangannya mendorong pelan tubuh ini hingga terbaring kembali. "Bukannya mau kopi?" selorohku. "Nanti saja. Ternyata aku masih butuh kamu," sahutnya parau. Kami kembali tenggelam, dalam pekatnya malam. Berbalut nafsu liar yang semakin memuncak. ***** --bersambung--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN