Ara dan Rahid akhirnya memutuskan untuk makan malam di sebuah cafe yang cukup klasik. Desain cage yang berdindingkan kayu itu seakan membawa pengunjungnya pada saat-saat kependudukan kolonial. Nuansa Eropa terasa kental sekali. Barisan figura yang menampilkan potret wajah kota Bandung di masa lalu terpampang dengan rapi. Ketika sedang asyik menyantap makan malam itu, tiba-tiba Rahid mendapatkan sebuah pesan. Wajahnya yang tadi ceria, tiba-tiba berubah cemas.
“Ada apa?” tanya Ara.
“I-ini... Kak Adji bilang mobilnya mogok dan aku diminta untuk menyusulnya sekarang.”
Ara tersenyum tipis. Dia tahu betul kalau Rahid sangat menyayangi saudaranya itu. Sewaktu masih duduk di bangku SMA, Rahid selalu bercerita tentang saudaranya itu dengan sangat bangga. Menurut pengakuan Rahid, Kak Adji adalah sosok panutan dan pahlawan dalam hidupnya.
“Ya sudah... kalau gitu kamu pergi sana,” ucap Ara.
“T-tapi....”
“Aku nggak apa-apa kok,” potong Ara.
Rahid tampak kebingungan. “Apa aku anterin kamu pulang dulu aja?”
Ara menggeleng pelan. “Nanti aku naik taksi aja.. gampang kok. Kamu nggak usah khawatir.”
Meski masih merasa ragu dan juga merasa bersalah, Rahid akhirnya bangun dari duduknya. “Maafin aku ya, Ara... nanti kamu kabarin aku kalau sudah sampai di rumah.”
“Hati-hati di jalan,” pesan Ara seraya melambaikan tangannya.
Sepeninggal Rahid, Ara pun melanjutkan santap makan malamnya. Dia sebenarnya sengaja ingin menikmati waktu sendirian. Papa dan mamanya tentu masih berpikir kalau Ara masih bersama Rahid. Ini adalah sebuah moment kebebasan kecil bagi Ara dan dia ingin menikmati itu.
Sementara itu, seorang lelaki berkulit sawo matang dengan guratan bekas luka diwajahnya yang duduk di ujung sana terus saja menatap ke arah Ara. Tatapannya begitu intens dan tajam. Sesekali ia juga tersenyum sambil memainkan sebuah sendok di tangannya. Awalnya Ara tidak menyadari hal itu, tapi kemudian mata mereka bertemu.
Ara menelan ludah, lalu mengalihkan pandangannya. Ia Berpura-pura acuh meski sebenarnya mulai merasa risih.
"Ngapain sih dia lihatin aku terus?" ucapnya dalam hati.
Ara kembali fokus pada makanannya. Cangkir kopi di depannya masih mengepulkan asap. Padahal Ara sedang menikmati moment kesendiriannya. Tapi, dia merasa sudah tidak nyaman lagi. Perasaan apa ini? Dia merasa seperti diintai. Seperti diawasi.
Benar saja, lelaki itu masih menatapnya.
Ara mengakhiri makan malamnya, walau sebenarnya dia masih merasa lapar. Tatapannya beralih pada kaca jendela. Hujan di luar sana masih belum reda. Padahal ia ingin cepat-cepat pergi dari sana. Ara benar-benar sudah risih pada lelaki aneh yang masih saja menatapnya itu.
"Hah, ke mana dia?"
Ara mengernyitkan dahi begitu melihat lelaki itu tidak ada lagi di sana. Bersamaan dengan itu hujan mulai pun teduh. Ara tersenyum, segera mengemasi barang-barangnya, kemudian beranjak pergi dari sana.
Ara masih belum mau pulang ke rumah. Dia masih ingin berjalan-jalan sebentar lagi. Gadis itu berjalan melintasi deretan ruko yang terlihat tua. Ara menghirup aroma bekas hujan yang menenangkan itu. Dia terus melangkah menembus malam. Pengalaman seperti ini merupakan sebuah kesempatan yang langka bagi Ara di Indonesia. Karena orang tuanya pasti tidak akan mengijinkan Ara untuk keluar malam. Hingga kemudian langkahnya terhenti di depan sebuah gang yang gelap dan sempit.
Ara menatap sebuah bola kasti yang tadi sudah mengenai bahunya. Bola itu masih menggelinding di tanah. Ara mengarahkan pandangannya ke gang itu untuk melihat siapa yang sudah melemparnya.
Gelap.
Tidak ada apapun yang terlihat. Sampai kemudian ia mendengar suara langkah kaki. Tidak lama kemudian sesosok wajah itu muncul dari kegelapan dan membuat Ara terkejut.
"K-kamu...."
Lelaki itu tersenyum lagi.
"Kamu yang udah ngelempar aku pake bola ini?"
Ia mengangguk.
"Kenapa?"
"Ikut aku sebentar!" lelaki itu meraih tangan Ara.
Ara terkejut dan langsung menarik tangannya dari genggaman lelaki itu.
Lelaki itu tersenyum. "Kamu nggak perlu takut. Aku bukan orang jahat. Ayo ikut sebentar aja!"
Ara merasa takut, tapi dia mengikuti kemauan lelaki itu. Mereka memasuki gang sempit itu dan berhenti di tempat yang cukup gelap.
"A-ada apa?" tanya Ara.
Saat ini mereka sedang berdiri berhadap-hadapan di antara dinding bangunan yang membentuk gang sempit itu.
Ara menelan ludah. Lelaki itu tidak menjawab dan masih saja menatapnya dengan sorot mata yang sedikit aneh.
"Kenapa malah diem? Kenapa kamu membawa aku ke sini?"
Lelaki itu menghela napas panjang, lalu menatap Ara lekat-lekat.
"Aku ingin mencium kamu!"
Deg.
Ara terkejut dan beringsut mundur. Sejenak ia menjadi linglung. Hingga kemudian ia menggeleng pelan.
"Kamu gila!"
Ara bermaksud pergi, tapi lelaki itu langsung menghalanginya. Ia menghempaskan telapak tangannya ke dinding di belakang Ara hingga membuat gadis itu tergelinjang kaget. Tidak ada hanya satu, tetapi kedua tangannya. Dia mengapit Ara dalam kedua lengannya.
"A-apa apaan ini?" suara Ara terdengar bergetar.
Lelaki itu tersenyum. Dia menatap Ara perlahan, kemudian beralih menatap bibirnya.
"Apa sekarang aku udah boleh mencium kamu?"
Ara tercekat. "Kamu bener-bener gila! Kalo kamu masih kayak gini... Aku bakalan teriak!" ancam Ara.
"Kenapa harus teriak?"
"T-tentu aja aku harus teriak karena kamu mau...."
"Sekali aja, aku mohon." pintanya.
Lelaki itu mulai memiringkan wajahnya. Ara makin gelagapan. Dia mencoba untuk kabur menembus benteng lengan itu, tapi gagal.
"Lepasin aku sekarang!" pinta Ara yang semakin ketakutan. Dia tidak menyangka bahwa hari ini dia akan bertemu manusia gila seperti itu.
"Nanti... Setelah aku mencium kamu."
Ara benar-benar terperangah. Mimpi apa dia semalam sampai harus bertemu dengan lelaki aneh super m***m seperti ini. Deru napas Ara kini terdengar sesak. Dia menatap lelaki itu perlahan dan menelan ludah.
Tatapan lelaki itu membuat jantung Ara memompa lebih cepat. Bibir berwarna merah itu membuat mata Ara sulit berpaling.
"Nggak! ini nggak bener!" Ara menggeleng cepat.
"Kenapa?" tanya lelaki itu.
Ara menatap sinis. "Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu sama orang yang baru kamu temui, ha?"
"Itu bukanlah suatu masalah," jawab lelaki itu.
Ara meneliti penampilan pria itu sekali lagi. Penampilannya benar-benar seperti preman. Rambutnya kusut tidak beraturan. Ada sebuah tato yang terlihat di lehernya. Jaket levis yang dikenakannya dipenuhi oleh aroma asap rokok. Yang paling mengerikan adalah bekas luka sayatan di pipi sebelah kanannya.
Ara menelan ludah. Dia sangat ketakutan sekali. Berbagai pikiran buruk mulai memenuhi pikirannya. Bagaimana kalau pria ini memiliki senajata tajam? Bagaimana kalau lelaki ini nantinya membunuhnya jika dia menolak permintaan itu? Ara menatap ke ujung sana, berharap ada orang yang lewat, tapi di depan sana begitu sunyi. Tidak ada orang sama sekali.
“Kenapa kamu bersikap seperti ini, ha? saya bisa melaporkan kamu ke polisi,” ancam Ara.
Lelaki itu tidak menjawab dan meringsek maju sehingga jarak di antara mereka kian menipis. Ara menunduk dan tidak sanggup menatap wajah itu. Dia bisa merasakan hangatnya helaan napas lelaki itu di kepalanya. Ara juga bisa mendengar suara detak jantung lelaki itu.
"Aku mohon!"
Ara tercekat dan mendongakkan kepalanya. Dibalik penampilannya yang menyeramkan, lelaki itu sebenarnya mempunyai fitur wajah yang menarik. Lelaki itu tersenyum, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Ara. "Aku tahu kamu juga menginginkannya.”
Deg.
Ara menatap nanar. Lelaki itu pun menatapnya sambil menyeringai menampilkan deretan giginya yang rapi.
Ara mencoba melarikan diri sekali lagi, namun dia tidak bisa menembus lengan yang berotot itu. Kali ini lelaki itu merapatkan tubuhnya lebih dekat lagi, hingga Ara benar-benar terdesak.
“Kamu benar-benar gila!” pekik Ara.
“Ya... aku memang gila,” jawab lelaki itu.
Helaan napas Ara mulai terdengar sesak. Lelaki itu pun kini terpaku menatap mata gadis itu, lalu beralih ke bibirnya. Sedetik kemudian sosok tampan itu beringsut maju. Ara tidak dapat berbuat apa-apa. kedua tangannya kini dipegangi oleh lelaki itu dan di tekan ke dinding dibelakangnya. Ara berusaha berontak, namun lelaki itu langsung menahan ara dengan segenap kekuatannya. Ara pun kini hanya memejamkan matanya rapat-rapat dengan wajah ketakutan.
Cup.
Ara tersentak saat bibir lelaki itu menyentuh bibirnya. Meski awalnya mencoba menghindar, pada akhirnya Ara membiarkan bibirnya dicumbu oleh orang asing yang tak di kenalnya itu dan ternyata...
Ara menikmatinya.
Cukup lama mereka melakukannya.
Hingga kemudian Ara merasakan lelaki itu menarik wajahnya menjauh. Ara pun menghela napas dengan mata yang masih tertutup. Ketika Ara membuka matanya, lelaki itu sudah menghilang dari pandangannya.
"D-dia ke mana?"
Ara menatap kesekitarnya dengan panik. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki. Lelaki itu juga tidak mungkin keluar dari gang sempit ini secepat itu. Ara bergidik ngeri. Lelaki itu menghilang sekejap mata.
Ara menyentuh bibirnya perlahan. Dia masih bisa merasakan kehangatan itu. Tapi, ke mana lelaki itu pergi? Ia bahkan belum sempat menanyakan siapa namanya. Dari mana ia berasal dan apa tujuannya melakukan itu padanya.
Ara pun tertegun bingung.
“Apa ini sebuah mimpi...?”
_
Bersambung...
_