Acara makan malam antara keluarga Sinatra dan Triyatno berlangsung hangat. Para orang tua sibuk membicarakan tentang bisnis dan berbagai topik menarik versi mereka. Sementara itu Ara dan Rahid yang duduk bersebelahan juga sesekali mengobrol pelan di sela-sela aktivitas santap makan malam mereka.
“How about Australia?” tanya Rahid.
Ara mengangkat bahunya. “Not bad.”
Rahid tersenyum hingga matanya menghilang. “Kapan kamu pulang dari Australi?”
“Baru tadi sore ini... kamu sendiri bukannya sedang kuliah di Rusia?” Ara balik bertanya.
“Aku sudah menyelesaikan study aku dari tahun lalu,” jawab Rahid.
Ara mengangguk tanda mengerti. Dia pun kembali meneliti penampilan Rahid sekali lagi. Ara pun mengernyit heran dan masih tidak percaya. Sejak kapan dia mempunyai d**a yang bidang seperti itu? sejak kapan dia mempunyai bahu yang begitu lebar, Proporsi tubuh Rahid dalam balutan kemeja ketat itu membuat Ara menelan ludah.
“Kamu kenapa?” sergah Rahid.
“T-tidak... aku tidak apa-apa.” Ara langsung memalingkan wajahnya.
Rahid memiringkan wajahnya, lalu menyeringai pelan. “Sepertinya kamu cukup terkejut melihat aku?”
Ara menjadi sedikit salah tingkah. “S-sedikit sih... kamu benar-benat terlihat berbeda dari yang terakhir kali aku ingat.”
“Apa sekarang kamu menyesal sudah mencampakkan aku di masa lalu?”
“Uhuk... uhuk....” Ara langsung tersedak.
“Kamu kenapa sayang?” tanya sang mama. “Makanya hati-hati makannya.”
Ara hanya tersenyum malu sambil memukul-mukul dadanya pelan, sedangkan Rahid kini menyembunyikan senyumnya dibalik tangannya yang diangkat menutupi mulut.
Setelah meneguk segelas air, Ara pun kembali melirik pada Rahid yang masih berusaha menyembunyikan tawa. Ara juga tidak menyangka bahwa sosok yang pernah menyatakan cinta padanya di masa SMA itu akan berubah menjadi sosok pangeran tampan seperti ini. Layaknya sang buruk rupa yang sudah terlepas dari mantera sihir, Rahid kini menjelma menjadi sosok pria dewasa yang membuat hati Ara berdesir kala memandangnya.
“Jadi apa rencana Ara selanjutnya, Dit?” tanya ayah Rahid kepada papanya Ara.
“Rencananya saya ingin dia mulai ikut serta dalam mengurus perusahaan, tapi sepertinya Ara kurang mempunyai minat di sana,” jawab papa Ara.
“Wah... Rahid juga sudah saya percaya meng-handle beberapa anak perusahaan. Sejauh ini dia bahkan berhasil meningkatkan harga saham dan juga menarik inverstor lebih banyak lagi.” Ayah Rahid menatap putranya itu dengan wajah bangga.
Papa Ara pun beralih menatap Rahid. “Benarkah itu Rahid? Wah... padahal kamu masih sangat muda, tapi sepak terjang kamu benar-benar luar biasa. Rahid pasti akan dikelilingi banyak wanita. Tidak hanya punya wajah yang tampan, tetapi dia juga sudah mapan dan mempunyai karir yang luar biasa.
Rahid menggaruk tengkuknya dengan wajah malu-malu. “T-tapi aku belum punya pacar, Om.”
Jane—mama Ara pun menatap tidak percaya. “Ah, yang benar kamu Rahid...? masa iya kamu belum mempunyai pacar?”
Mila—ibunda Rahid pun langusng mengibaskan tangannya. “Rahid itu anak yang pemalu... sepengetahuan saya dia tidak belum pernah berpacaran sama sekali. Dia pernah bilang ke saya, katanya kalau menemukan yang cocok, dia ingin segera menikah saja.”
“Kamu serius Rahid?” tanya papa Ara.
Rahid tersenyum malu. “Iya, Om... aku pikir untuk apa lagi menghabiskan waktu dengan berpacaran. Jika memang dirasa sudah cocok, lebih baik langsung menikah saja. Kalau untuk masalah tanggung jawab, rasanya saya sudah mampu untuk mengemban tugas sebagai seorang suami.”
Papa dan mama Ara pun menatap takjub. Ara yang duduk di sebelahnya entah kenapa merasa gelisah mendengarkan penuturan Rahid, karena saat mengatakan hal itu Rahid terus saja sesekali melirik padanya.
“Wah... kamu sudah siap untuk menikah dini rupanya. Kamu sendiri bagaimana, Vid? Apa kamu siap mempunyai menantu lagi?” tanya papa Ara ditutup dengan gelak tawa.
Ayah Rahid tertawa pelan. “Tentu saja. Jika Rahid benar-benar menikah, maka seluruh putraku sudah lepas. Aku tentu merasa senang karena masih bisa melihat mereka semua berkeluarga.”
“Iya... saya sendiri juga berpikir seperti itu. Betapa menyenangkannya jika semua menantu nantinya berkumpul bersama cucu-cucu, tentu akan menyenangkan,” sela ibunda Rahid.
Mama Ara pun mendesah pelan. “Kamu enak... sudah merasakan bagaimana menjadi seorang nenek muda, aku belum tahu bagaimana rasanya.”
“Siapa tahu Ara juga mau menikah muda,” jawab ibunda Rahid.
Deg.
Ara langsung melotot dengan sendok yang masih mengawang di udara. Tidak lama kemudian barulah dia tersadar dan tersenyum canggung. Ara mulai bingung dengan arah pembicaraan para orang tua itu. Mereka terus saja membicarakan tentang pernikahan dan pernikahan. Menyadari Ara yang terlihat bingung, Rahid pun menyenggol pundak gadis itu pelan.
“Kenapa kamu diam?” sergah Rahid.
Ara menatap bingung. “A-aku—”
“Kalau yang datang melamar Ara seperti Rahid tentu saja kita akan langsung memberi restu, iya kan, Ma?” papa Ara langsung menyela seraya menatap istrinya.
Mama Ara tersenyum. Iya... tapi itu tidak mungkin terjadi karena Ara dan Rahid sudah berteman sejak lama. Mungkin mereka bahkan merasa seperti saudara.”
“Itu mungkin saja kok, Tante.”
Ucapan Rahid membuat semua mata tertuju padanya, termasuk Ara yang kini terhenyak kaget. Ara bertanya-tanya sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran Rahid saat ini.
“Sebenarnya dari dulu aku sangat menyukai Ara.”
Pengakuan Rahid membuat keadaan menjadi hening seketika. Para orang tua menatapnya lekat-lekat dengan wajah terkejut. Ara sendiri menatapnya dengan tatapan nanar. Menyadari hal itu Rahid pun tersenyum pelan, lalu menerkur sambil kembali lanjut berbicara.
“Tentu saja aku akan sangat bahagia jika memang Om dan Tante menerima aku sebagai menantu,” lanut Rahid.
Deg.
“K-kamu serius sayang?” tanya ibunda Rahid.
“Iya, Ma.”
“Hahahaha....” Ayah Rahid pun tertawa keras sambil bertepuk tangan. “Pantas kamu ngotot sekali ingin ikut makan malam bersama, padahal biasanya dia selalu menolak ajakan untuk makan bersama orang lain.”
Papa dan Mama Ara pun terlihat senang dan salin pandang dengan rona wajah bahagia. Sejatinya mereka juga memiliki niat untuk menjodohkan Ara dengan Rahid. Namun siapa sangka Rahid malah terlebih dahulu mengungkapkan hal yang mengejutkan itu.
“Wah... apakah kita akan segera menjadi besan?” tanya papa Ara.
Ayah dan ibunda Rahid kompak tersenyum dan beralih menatap Rahid dan Ara secara bergantian.
“Kalau dilihat-lihat lagi mereka berdua memang terlihat sangat serasi,” puji bunda Rahid.
“Bagaimana menurut kamu Ara?” tanya sang papa.
“Ha...?” Ara terlihat lingling. “A-aku masih merasa bingung dengan situasi ini.”
Para orang tua itu pun tertawa pelan sembari mengangguk-angguk.
Sang mama menghela napas panjang. “Wajar kalau Ara terkejut, tapi kalau memang Rahid memiliki niat yang serius, maka ini adalah suatu yang harus dipikirkan baik-baik.”
Ara menelan ludah. Obrolan tentang perjodohan itu pun terus berlanjut. Para orang tua tampak bersemangat sekali. Padahal mulanya ayah Rahid mengatakan bahwa dia tidak bisa berlama-lama karena ada urusan yang lain, namun sekarang dia malah membatalkan janjinya itu dan asyik bercengkerama dengan kedua orang tua Ara.
“Kalian pasti bosan duduk di sini... Ara, ayo bawa Rahid ke ruangan keluarga, siapa tau kalian ingin berbicara berdua,” ucap sang mama.
“I-iya, Ma.”
Ara pun bangun dari duduknya sambil menarik lengan kemeja Rahid untuk berdiri. Kebetulan dia juga ingin berbicara kepada Rahid dan bertanya tentang apa yang sudah dia lakukan itu. Ara menyeret Rahid dari ruang makan itu dan para orang tua pun menatap pemandangan itu sambil tersenyum senang.
Rupanya Ara tidak membawa Rahid ke ruang keluarga, melainkan ke halaman belakang yang terlihat sepi. Setiba di sana Ara langsung menyentakkan lengan Rahid dengan mata melotot.
“Maksud kamu apa, ha?” tanya Ara.
Rahid mengernyit bingung. “Lho... kenapa kamu kelihatan marah begitu?”
Ara menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Jika saja sosok Rahid masih terlihat seperti dulu, tentulah Ara tidak akan segan-segan menjambak rambutnya dan menghajar lelaki itu sampai babak belur.
“K-kamu lagi bercanda, kan?” tanya Ara lagi.
Rahid menggeleng cepat. “Aku tidak bercanda.”
“Hahahaha....” Ara tertawa pelan. “Gila! kamu benar-benar sudah gila.”
Rahid pun tersenyum, lalu menatap Ara dengan tatapan mata yang terlihat berbeda. Ada binar kesungguh-sungguhan yang terpancar dari kedua bola matanya itu. “Ya... aku memang sudah gila karena kamu.”
Deg.
Sekelebat perasaan aneh pun menyelimuti Ara saat dia memandang mata itu. Untuk sesaat Ara membatu bagai terhipnotis oleh tatapan Rahid. Semilir angin malam pun juga mengelus wajahnya dengan pelan. Ara ingin memalingkan wajahnya, tapi otaknya seperti tidak menerima perintah itu.
“Jadi bagaimana? Apa kamu mau menikah sama aku?”
Ara terperanjat kaget, lalu menggeleng pelan. “K-kamu—”
“Perasaan aku ke kamu itu tidak pernah berubah, Ra... sampai kapan pun aku selalu menyukai kamu,” lanjut Rahid dengan senyumnya yang khas dan tatapan mata yang teduh.
Ara mendesah pelan. “Aku baru aja pulang ke rumah okey dan saat ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Badan aku masih terasa capek... ada banyak hal juga yang sedang aku pikirkan. Jadi aku mohon... jangan bermain-main seperti ini.”
“Aku tidak bermain-main.” Rahid menatap serius. “Sudah lama sekali aku menunggu kamu menyelesaikan study kamu di Australia... setiap Papa berkunjung ke rumah kamu, aku akan selalu menanyakan apakah kamu sudah kembali atau belum.”
“R-Rahid....” Ara benar-benar kehabisan kata-kata.
Hening.
Keadaan sejenak menjadi sunyi. Ara terpekur sambil memijit kepalanya yang kini terasa berdenyut. Siapa yang tidak shock dengan keadaan seperti ini? dia baru saja pulang ke rumah dan langsung dihadapkan pada situasi seperti ini. Yang paling menjadi beban bagi Ara adalah saat dia melihat raut wajah kedua orang tuanya. Ara bisa langsung tahu pasti bahwa mereka menginginkan perjodohan itu dan ketika itu mereka sudah menetapkan keputusannya, maka itu akan menjadi sebuah sabda yang wajib dilakukan oleh Ara tanpa bisa dia menolaknya sama sekali.
“Jadi bagaimana, Ra?” tanya Rahid lagi.
Ara menatap nanar. “A-aku benar-benar bingung. Aku masih 23 tahun dan aku juga tidak punya perasaan apa-apa kepada ka—”
Kalimat Ara terputus saat tiba-tiba Rahid mengecup bibirnya kuat-kuat.
Deg.
Ara melotot kaget, sementara Rahid semakin liar melumat bibirnya. Meskipun awalnya terkejut, tapi kemudian mata Ara mulai terpejam menikmati serangan yang tiba-tiba itu. Hingga kemudian Rahid pun menarik wajahnya kembali, lalu menatap Ara lekat-lekat.
“Bagaimana sekarang? apa kamu benar-benar tidak mempunyai perasaan apa-apa...?
_
Bersambung...