Enam hari ternyata bisa berlalu begitu cepat. Tak terasa pernikahan Andin dan Alvaro akhirnya datang juga. Dan sudah benar-benar tidak ada lagi alasan untuk menolak.
Saat ini Alvaro tengah berdiri di depan kaca, mematut penampilannya dari atas sampai bawah. Ia meletakan jempol dan jari telunjuknya yang membentuk tanda centang di bawah dagu. "Gue ganteng juga ya kalo pakek jas gini." Ucapnya percaya diri. Tiba-tiba saja sebuah tamparan mendarat di belakang kepala Alvaro, membuatnya langsung menoleh. "Apaan sih lo?!" Omel Alvaro kesal. Matanya menatap Ariq, pelaku yang baru saja menamparnya.
"Lo tuh ya! Masih sempet-sempetnya narsis gitu. Lo nggak mikir apa kalo hari ini lo bakal nikah?!"
Alvaro menghela nafas. "Ya terus kenapa? Yang nikah 'kan gue, bukan lo. Kenapa jadi lo yang kesel?”
Ariq menggeram kesal. Sementara Satya terkekeh geli.
"Lo...mau nikah sama Andin? Gak mau kabur gitu? Kayak di Ftv-Ftv gitu?"
Satya terkekeh. "Lo kurangin deh nonton begituan. Otak lo lama-lama gila ntar."
"Betul tuh! Lagian...lo ngajarin gak bener banget sih, nyuruh gue kabur di hari pernikahan. Lo nggak mikir apa, kalo nyokap gue udah susah-susah nyiapin semuanya. Kan sayang duitnya."
Satya menepuk bahu Alvaro dua kali. "Gue bangga sama lo, Var.”
Alvaro mengernyit bingung. "Bangga kenapa dah?"
"Bangga karena lo berani nikah."
Ariq tergelak. "Alamak temen gue pada najisin banget deh."
Pintu kamar Alvaro terbuka, Mama Alvaro muncul dari sana. "Udah siap belum? Kita mau berangkat nih."
Alvaro mengangguk. "Udah siap, Ma." Ia berjalan menghampiri sang Mama dan berdiri di depannya.
Icha tersenyum pada anaknya itu. "Mama nggak nyangka kamu udah mau nikah, Kak."
Alvaro tersenyum manis. "Hehehe iya dong, Ma."
Icha terkekeh haru, airmata mulai menggenang di matanya. "Aduh Mama mau nangis nih," Ia mengipas-ngipasi matanya dengan tangan, takut merusak make up yang sudah ia siapkan dari satu jam yang lalu.
Alvaro menggenggam kedua tangan sang Mama. Ia tersenyum manis. "Mama jangan nangis dong. Alvaro 'kan ngelakuin ini biar Mama seneng. Kan Mama yang pengen banget Andin jadi pasangannya Alvaro."
"Kamu bikin Mama tambah mau nangis nih."
Alvaro terkekeh pelan. "Yaudah, kita langsung aja yuk. Tadi katanya mau berangkat." Alvaro menggandeng tangan sang Mama keluar dari kamar. Tapi kemudian dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
"Eh! Lo bedua. Ngapain disitu? Nggak mau ngiringin pengantin?"
***
Sementara di lain tempat, Andin sedang duduk di dalam kamarnya, menghadap ke cermin yang memantulkan bayangan dirinya--yang sudah cantik dengan kebaya model sabrina warna abu-abu. Cewek itu menghela nafas saat melihat bayangan dirinya.
"Lo kenapa sih lesu banget?" Metta yang sedari tadi menemani Andin bertanya bingung. Pasalnya sudah beberapa kali ia melihat Andin menghela nafas seperti itu. Bukankah seharusnya Andin berbahagia di hari pernikahannya ya?
Andin memandang Metta dari kaca. "Lo mau nggak bantuin gue kabur?"
Metta melotot, tangannya refleks memukul lengan Andin yang berbalut kebaya abu-abu.
“Akh! Sakit, Ta!" Keluh Andin. Bibirnya mengerucut kesal.
"Sakit mana sama keluarga lo, kalo lo tiba-tiba kabur di hari pernikahan." Omel Metta. "Lagian lo aneh-aneh aja. Pakek mau kabur segala. Lo pikir pernikahan ini main-main?"
Andin mengusap lengannya yang masih terasa sakit. "Ya maaf deh. Tapi gue 'kan nggak mau nikah sama Alvaro."
Metta memijat pelipisnya. "Ampun dah gue! Lo kenapa sih segitunya sama Alvaro?"
Andin menghela nafas. "Gue nggak tau kenapa gue kayak gini. Soalnya, kalo liat muka dia tuh, gue bawaannya kesel terus."
"Yakin cuma karena itu?"
"Ya sebenernya ada alasan lain sih...gue itu cuma takut."
Metta mengernyit. "Takut kenapa?"
"Gue takut..." Andin menatap Metta sejenak, kemudian menghela nafas panjang.
"Takut sakit hati lagi." Ucap Andin pelan, lalu mengalihkan pandangannya.
***
Alvaro dan keluarganya sampai di kediaman Andin. Cowok itu berjalan memasuki kediaman Andin dengan diapit oleh kedua orang tuanya dikiri dan kanan. Ia dan kedua orangtuanya terus berjalan ke ruang tengah rumah Andin, tempat yang sudah dipenuhi oleh beberapa tamu undangan. Karena pernikahan ini tertutup, alhasil hanya keluarga Alvaro dan Andin beserta tetangga dekat saja yang diundang, karena ini permintaan Alvaro dan Andin yang pernikahan dilaksanakan secara tertutup.
Alvaro kemudian duduk di depan penghulu yang sudah menunggu kedatangannya. Ia tersenyum pada Pak Penghulu lalu matanya menyusuri tiap sudut rumah Andin, merasa tak menemukan yang dicarinya, ia kemudian menatap Ayah Andin yang duduk di samping penghulu. "Yah...Andin mana?"
Anwar, Ayah Andin tersenyum geli. "Kamu ini," Ia geleng-geleng kepala. "Untuk saat ini kamu belum boleh liat Andin dulu. Nanti kalo ijab kobul selesai, baru Andin boleh keluar."
Alvaro mengangguk mengerti, padahal ia ingin melihat penampilan Andin agar bisa ia tertawakan. Alvaro juga ingin tahu bagaimana seorang Andin yang sedikit tomboy tapi kini malah dipaksa pakai kebaya. Pasti lucu sekali.
"Kamu sudah siap?"
Alvaro menatap ke depan ketika Pak pemghulu bertanya. “Siap untuk apa, Pak?"
Terdengar kekehan dari beberapa tamu undangan saat mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Alvaro.
"Ijab kobulnya mau di mulai. Kamu siap?"
"Oh kalo itu sih siap!" Ucap Alvaro semangat.
Pak penghulu tersenyum. Ia kemudian menyuruh Anwar untuk menjabat tangan Alvaro.
Alvaro menggenggam tangan Anwar dengan keyakinan penuh, meskipun hatinya ketar-ketir karena takut salah sebut nama. Semoga aja gak salah sebut, bisa gawat kalo gue salah sebut nama.
"Alvaro Sanjaya bin Basuki Sanjaya, saya nikah 'kan dan kawin 'kan engkau dengan putri saya Andini Putri binti Anwar Cahyono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
Alvaro menghirup nafas panjang. "Saya terima nikah dan kawinnya Andini Putri binti Anwar Cahyono dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai."
"Bagaimana saksi? Sah?"
"SAH!"
"Alhamdulillah."
Pak penghulu mulai memimpin doa setelah ijab kobul selesai. Dan Alvaro baru bisa bernafas lega saat itu juga. Haaah! Untung aja gak ada yang salah.
***
"SAH!"
Bahu Andin langsung merosot kala mendengar teriakan lantang itu. Ia kembali mematut penampilannya di cermin.
"Cieeee yang udah nikah." Godaan itu muncul dari Mira yang baru saja masuk ke dalam kamar.
Andin menatap melas pada Kakak iparnya itu. "Kaaak..."
Mira terkekeh. "Udah ah! Nggak boleh manja. Kamu udah jadi istri orang loh."
"Alvaro mah bukan orang, Kak. Dia itu makhluk terngeselin didunia!”
Mira dan Metta terkekeh mendengarnya.
"Aduh sampe lupa. Ayo keluar, Alvaro udah nungguin tuh."
Andin cemberut. Dengan terpaksa ia mengikuti Mira dan Metta yang menggiringnya keluar.
Semua pasang mata langsung menatap ke arah Andin begitu ia memasuki ruang tamu. Hanya Alvaro yang tak melihatnya, sebab laki-laki itu masih membelakangi Andin.
Andin terus melangkah mendekati Alvaro, lalu duduk di samping Alvaro, membuat Alvaro langsung menoleh. Cowok itu terdiam menatap Andin lama.
"Sadar, Var!" Goda Satya.
Alvaro langsung saja tersadar. Ia menatap tajam pada Satya. Kemudian ia menatap Andin yang mengulurkan tangan padanya. "Ngapain lo?"
Andin melotot. Dengan kesal, ia meraih tangan Alvaro dan menyalaminya.
"Oh mau salim. Bilang dong, gue 'kan nggak tau kalo lo mau salim."
Astaga! Andin merasa malu sekali saat ini. Belum lagi beberapa orang yang mendengar ikut terkekeh. Siapapun, tolong tenggelamkan dirinya sekarang.
"Cium dong keningnya." Suruh Mama Alvaro.
Andin dan Alvaro saling pandang dengan rasa canggung. Lalu dengan pelan, Alvaro meletakkan kedua tangannya di sisi kepala Andin, menarik cewek itu mendekat dan mencium kening Andin dalam.
"Cieee cieee,"
Andin langsung menjauhkan wajahnya kesal ketika Metta dan kedua sahabat Alvaro menggodanya. Ia lalu memandang Alvaro dengan pandangan mematikan. "Abis lo nanti!" Ancam Andin pelan.
Alvaro menyentuh dadanya. "Aduh takuuut." Balas Alvaro dramatis.
Andin menutup matanya frustasi. Bunda....kenapa suami Andin kayak gini sih?
***
Selesai pesta pernikahan yang diadakan secara tertutup, Andin langsung berlari ke kamar, meninggalkan Alvaro yang masih asik mengobrol dengan kedua teman cowok itu. Ia sudah merasa sangat lelah, untuk itulah ia izin pada keluarganya untuk ke kamar lebih dulu. Untung saja mereka mengerti, meski harus ditambahi godaan-godaan kecil tentang malam pertama. Aish!
Andin membuka lemari pakaian, ia mengambil pakaian tidur dan membawanya ke kamar mandi. Di kamar mandi, ia menghapus make up di wajahnya, dan dia juga harus bersusah payah melepas sanggulan di rambutnya. Setelah semuanya selesai, Andin melepas kebaya abu-abu yang melekat di tubuhnya dan lanjut untuk mandi.
15 menit kemudian Andin pun selesai mandi, ia keluar dari kamar mandi dengan rambut terlilit handuk, mengeringkan rambutnya sejenak, setelah itu duduk dipinggir ranjang dengan perasaan gugup.
Detik demi detik berlalu sangat menegangkan bagi Andin. Ia bahkan sudah beberapa kali menghela nafas. Lalu ketika pintu kamarnya terbuka, ia langsung menahan nafasnya.
Alvaro yang baru masuk kamar, mengernyit bingung saat menemukan Andin yang duduk kaku dipinggir ranjang tanpa menatapnya. “Lo belum tidur, Ndin?” Tanya Alvaro, karena biasanya Andin pasti sudah tidur jika sudah lewat jam 9 malam. Dan sekarang jam sudah menunjukan pukul 11 malam.
“Eng...gue nungguin lo.”
“Nungguin gue? Kenapa?” Alvaro melangkah mendekat lalu duduk disamping Andin. Saat itulah, ia baru menyadari betapa merah wajah Andin saat ini. Dan ia pun mengerti maksud Andin menunggunya. “Lo tidur aja ya,”
“Eh?” Andin memberanikan diri untuk menoleh. “Kita nggak...itu?” Bukan maksud Andin ngebet ingin melakukan itu, hanya saja ia takut berdosa jika harus menolak. Kan sekarang Alvaro adalah suaminya.
“Nggak, Ndin. Gue tahu lo belum siap. Begitu pun juga gue,” ia tersenyum tipis. “Gue nggak bisa ngelakuinnya kalo lo belum siap.”
Andin mengerjap pelan lalu menangguk. “Oke,”
“Gue mandi dulu deh, lo duluan aja tidurnya.” Alvaro mengusap kepala Andin pelan disertai dengan senyuman tipis diwajahnya.
Andin hanya mengangguk pelan lalu segera berbaring membelakangi Alvaro dengan selimut menutup tubuhnya sampai kepala.