Setelah menikmati makan malam yang sederhana, Chris dan Cherry duduk di depan televisi, yang tengah mempertontonkan sebuah pertandingan badminton.
Cherry si gadis kecil berusia sepuluh tahun itu memperhatikan dengan seksama jalannya permainan. Tidak memperdulikan ayahnya yang duduk di samping kanannya.
"Cherry, Ayah mau bicara banyak sama Cherry," ucap Chris membuat gadis cilik itu menoleh langsung pada Chris.
Cherry mematikan televisinya dia rela ketinggalan permainan itu dari pada harus mengabaikan orang tua satu-satunya yang tengah berbicara. Gadis itu duduk bersila di hadapan sang Ayah.
"Ya, Ayah," jawab Cherry, ia siap mendengarkan semua yang dikatakan sang Ayah.
"Dengarkan ayah baik-baik. Cherry, harus tetap sekolah, apapun yang terjadi. Ayah tidak mau tahu, kamu harus mendapatkan pendidikan yang baik Cherry. Tidak ada bekerja untuk anak seusiamu, yang ada hanya belajar dan belajar. Ayah akan berusaha keras untuk mendapatkan uang yang di inginkan sekolah. Paham!" Chris menghardik Cherry dengan keras, bukan membantah namun mengatakan hal itu dengan tegas. Agar sang anak tahu bahwa pendidikan itu penting.
Ingin sekali Cherry memberontak dan menolak. Namun apa alasannya? Gadis cilik itu mengangguk paham, tanpa menyela, memotong pembicaraan sang Ayah.
Ia berjalan dengan gontai ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sempit, yang hanya muat untuk tubuhnya yang mungil.
Cherry berusaha memejamkan matanya, tapi hasilnya tetap sama. Mata itu enggan terpejam. Ia masih terjaga hingga waktu tengah malam.
Cherry berjalan mengendap-endap ke ruang tamu dan menuju bufet. Tempat di mana Chris meletakkan toples yang berisi abu dari jenazah Glory sang istri, juga ibu bagi Cherry.
Ia membawanya ke kamar, mendekapnya dengan erat, seakan itu adalah barang paling berharga di rumah itu.
Cherry masuk kedalam selimut, dengan membawa serta toples yang terbuat dari marmer berwarna putih.
"Mama, Cherry kangen. Aku tahu Ayah tidak punya uang untuk membayar sekolah Cherry. Tapi Ayah tetap memaksa Cherry bersekolah. Mama, dari mana kamu mendapatkan uang buat sekolahku? Pasti mama bekerja siang dan malam seperti Ayah." Cherry meneteskan air mata. Gadis kecil itu kembali menangis.
Chris yang ingin ke dapur berhenti di depan pintu Cherry, dia mendengar semua keluh kesah anaknya. Hatinya seakan teriris. Seharusnya sebagai Ayah dia bisa memenuhi segala kebutuhan anaknya terutama pendidikan.
Namun itu tidak terjadi dengan Chris, setelah kepergian Glory, seakan rejekinya pun pergi. Glory bak magnet penarik rejeki untuk Chris. Segalanya mudah ia dapatkan dulu, meski tetap saja pas-pasan. Tetapi kali ini, bahkan untuk makan saja dia sangat sulit mencarinya.
Maafkan ayah Cherry, jika memang nantinya kamu tidak bisa bersekolah, maka itu adalah sepenuhnya kesalahan ayah, batin Chris. Ia menutup pintu kamar Cherry dengan perlahan, agar anak itu tidak tahu kalau Chris menguping tanpa sengaja.
Cherry, gadis itu tertidur dengan memeluk abu kremasi ibunya. Mimpi membawanya seakan ia berada di tempat yang paling indah, banyak sekali hamparan bunga. Berbagai macam jenis bunga ada.
Gadis itu berlari kesana-kemari. Merentangkan tangannya dan berputar-putar. Namun tiba-tiba dia menabrak seseorang.
Bugh!
Cherry terjatuh. Pantatnya menyentuh tanah yang di penuhi dengan rerumputan hijau.
"Ahk!" pekik Cherry kesakitan. Ia bangkit dan membersihkan tangan dan pantatnya yang terkena rumput tersebut.
"Maafkan aku nak," tukas orang yang berada di depannya.
Cherry mengenal suara itu, suara yang baru tadi sore dia dengar. Bahkan Cherry mengobrol banyak hal dengannya.
Cherry menengadah dan menatap laki-laki tua yang menggunakan kaca mata hitam.
"Kakek Papu?" Cherry benar, dia tidak salah itu adalah kakek Papu, si buta yang memainkan biola untuk mencari sesuap nasi. Menyambung hidup di kota besar, dan sendirian.
"Cherry?" Papu melepaskan kaca matanya. Dia berjongkok dan menangkup kedua pipi bocah manis itu.
"Kakek bisa melihat Cherry?" tanya Cherry keheranan. Baru tadi siang bukan Papu bilang kalau dia buta tidak bisa melihat, kenapa tiba-tiba kini Papu bisa melihat Cherry.
"Iya, Tuhan mengembalikan nikmat penglihatan kakek. Ternyata benar dugaan kakek, bahwa kamu adalah gadis yang manis, dan cantik. Matamu sungguh cantik Cherry, kenapa kami di sini?" tanya Papu, karena itu bukan tempat untuk Cherry saat ini.
"Apa maksud kakek? Lalu kenapa kakek ada di sini kalau Cherry tidak boleh kemari?" Cherry menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun di sana kecuali mereka berdua.
"Pergilah, ini belum saatnya untukmu Cherry. Kau akan mendapatkan kebahagiaan, meski jalanmu salah." Kakek Papu berdiri dan menjauh dari Cherry. Dia meninggalkan Cherry, sebelum Cherry tahu maksud dari ucapan Papu.
"Cherry... Cherry! Bangun!" Chris menggendong paksa tubuh Cherry. Mereka harus keluar dari rumah itu.
Laki-laki itu berlari dengan Cherry yang berada di gendongannya.
"Kakek! Kakek Papu!" teriak Cherry. Dalam mimpinya.
"Hah– hah–" Nafas Chris menderu-deru karena dia harus mengamankan Cherry dari kobaran api yang melahap rumahnya.
Cherry terbangun karena merasa tubuhnya terguncang-guncang. Benar saja kini dia berada di dalam dekapan sang ayah yang tengah berlari.
"Ayah," lirih Cherry. Matanya terbuka, hembusan angin menerpa rambut sang ayah yang mulai memanjang.
"Cherry, syukurlah kamu bangun. Turunlah nak, tunggulah di sini, Ayah harus segera memadamkan api itu," seru Chris yang langsung meninggalkan Cherry yang terpaut cukup jauh dari kobaran api yang semakin membesar.
Sejenak Cherry bingung, dia belum tersadar sepenuhnya. Mimpinya, dan api yang membakar rumahnya sama sekali tidak masuk di akal.
"Memangnya rumah siapa yang terbakar? Lalu kenapa aku harus keluar? Tunggu!" Cherry tercengang, dia melihat sang Ayah yang mencoba masuk untuk menyelamatkan barang-barang berharga milik mereka. Dan Cherry hafal betul dengan atap rumah itu.
"Ayah! Ayah! Jangan!" teriak Cherry, gadis itu berlari mengejar Chris, beberapa orang menghalangi langkahnya yang mungil. Dadanya sesak, ia takut kalau ayahnya akan terpanggang di dalam sana. Dia baru sadar bahwa rumahnya lah yang telah terbakar.
Cobaan macam apa ini? Mama, pergi. Dan sekarang aku dan ayah harus kehilangan rumah? Batin Cherry. Ia marah, ia geram pada takdir Tuhan yang seakan mempermainkan kehidupannya.
"Ayah! Ayah kembalilah," rengek Cherry, kakinya melemas, ia terperosot di atas dinginnya jalan malam itu.
Cherry menatap lekat, pada kepulan asap yang menutupi pintu. Bagian belakang rumah itu benar-benar terbakar habis. Api mulai merayap ke bagian depan, belum ada satu mobil pemadam pun yang datang.
Cherry berharap sosok yang dia nanti akan keluar dari balik asap putih itu. Gadis itu menangis, meronta meminta untuk di lepaskan agar ia bisa menyusul sang ayah.
"Tenanglah Cherry, ayahmu akan selamat, tunggulah di sini," ucap wanita seusia ibunya terus menghadang Cherry, agar dia tetap tenang. Meskipun wanita ini juga sangat ketakutan.
Mata Cherry tidak lepas dari asap yang semakin bertambah banyak, dan api yang semakin menghabisi tiang-tiang kayu rumah Cherry.
Senyumnya mulai terukir, saat ia bisa melihat laki-laki yang terseok-seok keluar dari pekatnya asap putih, ia membawa toples marmer yang sempat Cherry peluk sebelum ia tertidur dan mengalami mimpi yang aneh.
Cherry menepis dengan kuat tangan wanita yang sedari tadi mengungkung dirinya. Dan berlari menuju ke arah Chris.
"Ayah! Ayah!" panggil Cherry, ia semakin mempercepat langkah kakinya. Hingga dia terjatuh, tapi dengan cepat dia bangkit dan kembali berlari. Rambutnya berlarian, semburat kemana-mana. Menutupi wajahnya yang ayu, dan basah karena air matanya.
Sang Ayah menangkap tubuh mungil Cherry dan memeluknya dengan erat. Chris terbatuk-batuk karena terlalu banyak menghirup asap tebal itu. Ia seakan kehabisan pasokan oksigen di dalam paru-parunya.
Nafasnya pun terengah-engah, dia beruntung karena bisa keluar dari dalam sana. Meskipun kakinya harus tertimpa dengan bongkahan kayu yang terbakar, membuat kakinya melepuh.
Begitupun dengan Cherry, gadis itu tengah mengatur nafasnya yang memburu, akibat berlari. Cherry memeluk Chris dengan erat, seperti tidak ingin lagi kehilangan sosok itu.
Dua puluh menit yang menegangkan bagi keduanya. Berkali-kali Chris mencium kening serta pucuk kepala Cherry. Dia masih tidak bisa membayangkan jika mereka tidak bisa bertemu lagi saat ini.
"Cherry, kamu baik-baik saja?" tanya Chris yang cemas dengan keadaan anaknya.
"Seharusnya Cherry yang bertanya. Apakah Ayah baik?" Cherry menatap wajah sang Ayah, di tidak tahu, bahwa kaki sang ayah terluka.
"Tidak, sayang. Ayah, baik-baik saja," tukas Chris. Mereka bangkit dan berjalan mencari tempat yang lebih baik, dari pada di atas paving.
"Apa Ayah terluka?" Cherry melihat langkah kaki ayahnya yang begitu berat dan seperti kesakitan.
"Tidak apa-apa Cherry, hanya luka bakar kecil," jawab Chris, ia mengulas senyum hangat untuk sang anak.
Kemana mereka akan pergi? Bahkan Chris saja tidak tahu harus kemana saat ini. Dia tidak memiliki keluarga atau siapapun saat ini. Chris hanya memiliki Cherry seorang setelah kepergian Glory.
"Kita akan kemana sekarang Ayah?'' tanya Cherry. Ia masih memapah sang ayah. Tangannya memegang erat lengan Chris. Sementara tangan Chris yang lainnya membawa gucci berisi abu kremasi.
''Entahlah, sayang. Ayah juga tidak tahu haru kemana. Kita juga tidak bisa ke kios. Sudah pasti penjaga melarang kita tinggal di sana.'' jelas Chris pada Cherry.
''Apa kita akan tidur di depan toko orang? Pasti polisi akan membawa kita ke kantor polisi,'' tukas Cherry. Ia mengerucutkan bibirnya.
''Tidak, nak. Kamu pasti lelah, mari kita duduk saja di kursi itu. Ayah akan berjaga, dan kamu harus tidur.'' Chris dan Cherry memutuskan untuk duduk di bawah tiang lampu yang ada kursi di bawahnya.
Akan kah merek di ringkus oleh petugas keamanan?