BSW Bab 11

1316 Kata
“Penyesalan memang selalu datang terlambat, Mara. Jadi … berapa gaji yang kamu inginkan? Jangan sampai kamu menyesal untuk yang ke dua kalinya.” Mara tidak menjawab. Wanita itu membalas tatapan Raga ketika pria itu mengangkat kepala. Beberapa saat keduanya hanya saling mengunci tatapan sampai akhirnya Mara mengedip, lalu wanita itu bersuara. "Sesuai dengan kemampuan perusahaan ini. Saya tidak akan memaksa." Mara berbicara dengan kata ganti formal. Raga menghembuskan napas, lalu kepala pria itu mengangguk. Raga menurunkan pandangan mata. Pria itu kemudian menuliskan angka di atas surat lamaran pekerjaan milik mara. “Terima kasih sudah menerima saya.” Mara beranjak dari kursi. Dia tidak mungkin meminta gaji 100 juta tiap bulan, sedangkan posisinya hanya sebagai asisten manager. Berbeda dengan posisi ketika dia bekerja di Jepang. Dan Mara bersyukur ketika mengetahui berapa gaji yang Raga berikan untuknya. Dua puluh juta per bulan. Baginya, itu sudah lebih dari cukup untuk hidup di Indonesia. Dia bukan seorang selebriti yang membutuhkan perawatan mahal untuk wajah dan penampilannya. Dia juga bukan seseorang yang menyukai barang-barang branded. “Kalau kamu menemukan pekerjaan lain dengan gaji yang lebih besar, tidak masalah jika kamu ingin pindah. Aku tahu … gajimu dulu pasti berkali lipat lebih besar dari gaji yang kuberikan.” Mara menganggukkan kepala. Memang benar, Mara membatin. “Saya permisi, Pak. Sekali lagi ... terima kasih.” Mara tersenyum kecil sebelum memutar tubuh. “Kamu akan ke rumah sakit, kan? Nadia masih berada di sana.” Kaki Mara yang sudah melangkah, berhenti ketika suara Raga terdengar. Wanita itu mau tidak mau kembali berbalik. “Sama Mama, kan? Aku ada urusan lain. Mungkin aku akan ke rumah sakit sore nanti.” Mara kembali merubah cara bicaranya saat mereka sudah tidak membicarakan masalah pekerjaan. “Urusan apa?” Nadia hanya tersenyum dengan bibir terkatup rapat. Beberapa detik kemudian, bibir itu terbelah—namun tidak untuk menjawab. “Aku pergi sekarang. Nanti aku hubungi mama.” Lalu Mara benar-benar keluar dari ruang kerja Raga. Mara sedikit kaget ketika keluar dari ruangan Raga dan menemukan Andra duduk di sisi lebar meja sekretaris Raga. “Bagaimana? Dia tidak membuatmu ketakutan, bukan?” Andra langsung berdiri, kemudian berjalan menghampiri Mara. Mara setengah meringis. Tidak paham kenapa Andra begitu khawatir. Raga tidak akan menggigit, bukan? batin wanita itu. Mara menggeleng menjawab pertanyaan Andra. Dan dia sungguh heran ketika melihat Andra menghembuskan napas lega. “Baguslah. Jangan sampai dia membuatmu lari sebelum kamu mulai bekerja denganku.” “Oh, tidak kok, Pak. Pak Raga baik.” Sepasang alis Mara terangkat ketika melihat ekspresi tidak percaya pria yang akan menjadi atasannya. “Baik? Tumben,” kata Andra sebelum berdecak. Mara menatap bingung Andra. “Memangnya pak Raga biasanya galak?” Andra mengedik kepala tanpa menjawab. “Ayo … jangan ngobrol di sini, takutnya dia bisa dengar.” Lalu Andra melangkah diikuti Mara. “Kamu bisa mulai kerja kapan? Aku sampai lupa belum tanya.” Andra menuruni anak tangga. “Kalau minggu depan, bagaimana? Apa Bapak keberatan?” “Tidak masalah.” “Terima kasih.” Mara tersenyum sekalipun Andra tidak melihatnya. Tiba di lantai satu, Rendra menoleh ke belakang. Menunggu Mara, kemudian menyertai wanita itu berjalan keluar dari lobi. Mara berhenti melangkah, setelah keluar dari pintu kaca lobi. Wanita itu memutar tubuh hingga berdiri berhadapan dengan Andra. “Terima kasih sudah mengantar saya.” Andra tersenyum sambil mengangguk. Pria itu kemudian mengulurkan tangan kanan. “Selamat bergabung di perusahaan ini. Terutama di divisi keuangan.” Mara membalas senyum Andra. Wanita itu menyambut uluran tangan pria tersebut. “Terima kasih juga sudah bersedia menerima saya.” “Ah, jangan begitu. Justru kehormatan bagiku untuk bisa bekerja dengan seseorang yang punya pengalaman luar biasa di luar negeri.” Mara melepas jabatan tangan mereka. Wanita itu tersenyum sekali lagi. “Kalau begitu, sampai bertemu minggu depan, Pak. Saya … permisi.” “Sampai jumpa, Mara. Hati-hati di jalan.” Mara mengangguk. Wanita itu memutar tubuh, lalu mengayun sepasang kakinya. Tangan Mara bergerak membuka tas, lalu menarik keluar kunci mobil. Wanita itu berjalan cepat menuju kendaraan roda empat berwarna putih miliknya. Dia tidak menggunakan mobil milik Raga yang digunakan ketika mengantarkan Nadia ke rumah sakit. Dia tahu statusnya dengan Raga tidak boleh terbuka. Masuk ke dalam mobilnya, Mara segera menyalakan mesin, memasang sabuk pengaman, lalu melajukan kereta besi tersebut--keluar dari pelataran gedung perusahaan keluarga Raga. Raga menatap ke bawa melalui kaca besar di bagian belakang ruangannya. Pria itu memperhatikan pergerakan sebuah mobil sedan putih keluar dari gerbang perusahaan. Sepasang bibir pria itu mengerut, lalu kepalanya mengangguk. Dia sempat khawatir Mara memakai mobilnya. Memang dia jarang memakai mobil yang Mara kendarai kemarin, karena mobil itu digunakan untuk kebutuhan Nadia. Namun, bukan berarti tidak pernah. Dan dia khawatir jika akan ada yang mengenali mobil tersebut. “Rupanya kamu tahu diri juga, Mara. Baguslah,” gumam Raga sebelum pria itu memutar tubuh, kemudian berjalan kembali ke kursi kerjanya. Menarik laptop, Raga kembali sibuk memeriksa email yang masuk. *** Nadia menerima gelas yang ibunya ulurkan. “Terima kasih,” kata Nadia sebelum membawa tepi gelas ke sela bibir. Ibu Nadia menarik napas kasar melihat bibir kering dan pucat sang putri. Putrinya baru menyelesaikan sesi pertama kemoterapi. Rasanya ingin sekali dia menggantikan posisi sang putri. Dia tidak tega melihat Nadia merintih kesakitan. Sang putri bahkan berteriak kencang ketika tidak lagi bisa menahan rasa sakit. “Apa Mara belum selesai wawancaranya?” tanya Nadia setelah meneguk beberapa kali isi dalam gelas. Wanita itu mengulurkan kembali gelas pada sang ibu. Nadia mendesah. “Apa Raga menyulitkannya?” “Kenapa berpikir begitu? Tidak mungkin Raga menyulitkan istrinya sendiri.” “Mama kan tahu, dia menentang pernikahan itu. Dia terpaksa melakukannya.” Nadia menarik napas. Wanita itu meringis ketika tarikan napasnya terlalu keras. “Sakit?” tanya mama Nadia khawatir saat melihat sang putri meringis. Wanita itu menatap dalam putrinya. Napasnya berhembus pelan ketika Nadia menggeleng sebagai jawaban. “Nad … boleh Mama bertanya sesuatu?” Wanita yang sudah tidak lagi muda tersebut meraih sebelah tangan sang putri, kemudian menggenggamnya. “Apa, Ma?” tanya Nadia sambil membalas tatapan mata sang ibu. “Apa kamu tidak menyesal meminta Raga menikahi Mara? Poligami itu tidak mudah, Nadia. Sekarang Mama takut kamu akan kecewa dan sakit hati.” Sepasang mata Nadia bergerak—mengerjap. D*da wanita itu tertarik ke atas, lalu bergerak turun setelah beberapa detik. Cukup lama Nadia terdiam, sampai kemudian wanita itu meremas tangan sang ibu. “Mama kan tahu kenapa aku meminta mas Raga menikah dengan Mara. Bagiku, tidak ada wanita yang lebih tepat untuk menggantikan posisiku di samping mas Raga. Selain Mara.” “Nadia … kamu akan sembuh. Lihat dirimu sekarang. Kamu pasti sembuh, Nad. Sebelum nanti kamu menderita, sebaiknya kamu minta mereka bercerai sekarang. Lagipula, bukankah Mara dan Raga sama-sama terpaksa dalam pernikahan itu?” Ibu Nadia menghembuskan napas setelah mengeluarkan isi di hatinya. Semalaman dia berpikir keras. Dia tidak bisa menolak keinginan sang putri saat dalam kondisi kritis. Ketika itu, dia pun sudah kehilangan harapan akan kesembuhan sang putri. Namun sekarang, kondisi putrinya perlahan stabil. Putrinya juga rela menjalani kemoterapi yang menyakitkan untuk bisa sembuh. Apa yang akan terjadi setelah putrinya sembuh, dan dia harus hidup dengan seorang madu? Sebagai seorang wanita--dia sungguh tidak bisa membayangkan. “Ma ….” Ibu Nadia menarik napas panjang. Sepasang bola mata wanita itu menatap dalam netra sang putri. Tangannya mengusap-usap punggung tangan putrinya. “Dengan kondisiku seperti ini, sekalipun Tuhan memberiku kesembuhan—apa mungkin aku bisa memberikan keturunan untuk mas Raga? Sedangkan sebelumnya saja, aku belum bisa memberinya anak. Aku tidak boleh egois, Ma.” Nadia tersenyum menenangkan sang ibu. “Lagipula … ini Mara. Asmara, Ma. Dia sahabatku, dan aku tahu seperti apa dia. Mama juga cukup mengenalnya dengan baik." Nadia mengatur pelan napasnya. Wanita itu menarik kedua sudut bibir. "Dia pasti bisa memberikan keturunan untuk mas Raga. Anak-anak yang tidak hanya sehat, tapi juga cerdas. Karena ibunya memang cerdas. Tidak seperti aku. Anak yang juga akan menjadi anakku kelak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN