BSW Bab 7

1573 Kata
“Malam ini, giliran Mara yang tidur sama Mas.” “Aku tidak bisa.” Nadia langsung melebarkan kelopak matanya, begitu mendengar sahutan dari sang suami yang begitu cepat. Bahkan mulutnya belum benar-benar kembali tertutup setelah menyelesaikan kalimatnya. Raga merapatkan sepasang bibirnya. Pria itu membalas tatapan sang istri dengan sorot mata memohon. Bagaimana bisa dia meninggalkan sang istri yang sedang sakit, dan tidur bersama perempuan lain? Oh … dia bukan perempuan lain, Ga. Dia itu istrimu juga—sanggah satu sisi batin pria tersebut. Sepasang suami istri itu saling adu tatap, tanpa menyadari bahwa ada sosok lain yang jengah melihat keduanya. Mara mendesah hingga akhirnya adu tatap antara Nadia dan Raga terputus. Keduanya secara bersamaan menoleh ke arah Mara. Mara menggeleng menatap keduanya bergantian. “Aku tidak habis pikir. Terbuat dari apa hatimu itu, Nad? Raga itu suamimu. Bagaimana kamu bisa dengan mudah meminta Raga tidur dengan perempuan lain? Aku sungguh tidak mengerti.” Raga menatap Mara. Napas pria itu sempat berhenti beberapa detik sebelum kemudian berhembus pelan. Sementara Nadia menelan ludah susah payah. Mara tidak tahu apa yang dia rasakan. Dia sangat mencintai Raga. Bukan hal mudah berbagi suami. Hatinya pun sakit saat meminta sang suami untuk tidur dengan wanita lain. Namun, dia menyimpan rasa sakit itu sendirian. Dia melakukan atas dasar rasa cinta yang begitu besar pada pria yang sudah begitu baik. Raga menerima dirinya yang jelas dalam kondisi tidak sehat. Nadia hanya ingin melihat Raga bersama perempuan yang tepat sebelum dia benar-benar pergi untuk selamanya. Baginya, kebahagiaan Raga adalah yang utama. Dia khawatir, Raga tidak akan mendapatkan wanita yang nantinya mampu membahagiakan pria itu. Nadia menarik oksigen sedikit demi sedikit. Wanita itu menarik dua sudut bibir. “Kamu bukan orang lain. Kamu istri Mas Raga juga.” Lalu sepasang bibir Nadia memberengut. “Mulai sekarang, kamu juga harus memanggil Mas. jangan kebiasaan hanya memanggil nama saja. Kamu harus menghargai suami kita, Mara.” Mara menghembuskan napas lelah. Wanita itu sempat melarikan bola mata tidak lebih dari satu detik ke arah Raga, sebelum mengembalikan perhatian pada sang teman. Mara meraih sebelah tangan Nadia. Wanita itu mencoba tersenyum. “Nad, aku percaya pada keajaiban,” buka Mara sambil menatap dalam netra sang sahabat. “Kamu pasti sembuh.” Mara mengeratkan genggaman tangan, ketika merasakan sang teman mencoba melepasnya. “Nadia … kamu harus selalu berpikir positif. Nikmati hidupmu. Jangan memikirkan sesuatu yang belum terjadi.” “Mara, kanker di tubuhku sudah stadium 4B. Kamu tahu apa artinya, kan?” Mara mengangguk. “Dokter sudah memberitahuku untuk bersiap. Tiga bulan, paling lama sepuluh bulan.” “Dokter hanya manusia biasa, Nad. Tidak ada yang salah dari kata-kata dokter. Dia memberi kesimpulan dari hasil pemeriksaan dan analisanya. Tapi, masih ada kekuatan lain yang jauh melebihi dokter, dan kamu tahu itu. Kenapa tidak bergantung pada kekuatan yang jelas jauh lebih besar itu?” Sorot mata Raga berubah setelah mendengar kalimat panjang Mara. Pria itu menatap dalam sosok yang masih memberikan motivasi pada istri pertamanya. “Mara.” “Mulai sekarang, jangan pikirkan apapun. Kita jalani apa yang dokter sarankan. Kemoterapi, radioterapi, terapi hormon, atau apapun itu. Satu hal yang pasti harus tertanam di hati dan pikiran kamu. Tuhan maha penyembuh, dan kesempatan sembuh itu masih ada. Kamu harus terus bersemangat.” Nadia menatap sang sahabat dengan sepasang mata berkaca. Napas wanita itu tertarik pelan. Nadia menurunkan pandangan mata bertepatan dengan satu bulir bening menetes. Nadia meremas genggaman tangannya dengan Nadia. Sepasang bibirnya tertutup rapat. Raga menghembuskan napas lega. Pria itu menatap dua wanita yang masih saling berpegangan tangan. Pria itu mengatur masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida. Satu nahkoda untuk dua kapal. Apa yang akan terjadi dalam hidupnya setelah ini? **** Pagi itu, Raga merasa suasana di rumahnya berbeda. Ibu mertuanya datang semalam bersama bibi. Wanita yang sudah melahirkan Nadia tersebut akan tinggal di rumahnya selama masa pengobatan Nadia. Raga melangkah menuju arah suara beberapa orang berasal. Tanpa sadar pria itu tersenyum ketika mendengar tawa Nadia. Semalam, dia bertahan di dalam kamarnya bersama Nadia, dan bersyukur sang istri tidak memintanya menghampiri Mara. Sepertinya percakapan dengan Mara--merubah pikiran istrinya tersebut. ** “Beneran kamu pernah pacaran sama Rio?” Sepasang mata Nadia membesar. Mara meletakkan satu mangkuk berisi sayur ke atas meja. Kepala wanita itu mengangguk membenarkan. “Wah … kok tidak pernah cerita, sih? Gila ih. Rio itu kan keren banget kalau main basket.” Nadia berucap dengan semangat. “Kamu tidak bohong kan, Mara?” “Ya ampun, Nad. Beneran. Tapi ya itu, cuma bisa tahan dua bulan.” Lalu Mara memperlihatkan cengiran, sebelum ikut tertawa ketika Nadia tertawa. “Siapa yang putusin? Sumpah, aku kaget kamu cerita pernah pacaran sama Rio. Ya ampun gimana bisa kamu sembunyiin dari aku?” Ibu Nadia tersenyum senang melihat sang putri bersemangat. Tidak seperti sebelumnya ketika mengetahui jika kanker yang dideritanya sudah sampai stadium 4B. Wanita itu meletakkan piring berisi ikan steam. Berjalan menghampiri sang putri, Asti mengusap pelan kepala Nadia yang tertutup beanie warna hitam. Rambut sang putri rontok sebagai efek dari kemoterapi yang dijalaninya. “Mara … jawab dong.” “Aku dong yang mutusin.” “Kenapa memangnya?” Mara hanya mengangkat kedua bahunya ringan. Wanita itu menarik punggung kursi, kemudian duduk di seberang tempat duduk Nadia. Menyisakan satu kursi kosong untuk ibu Nadia di depan sang putri persis. “Yah … padahal dia ganteng banget loh.” Nadia menoleh ketika mendengar suara langkah mendekat. Wanita itu tersenyum saat bertemu tatap dengan sang suami. Raga menghampiri tempat duduk sang istri. Pria itu menurunkan kepala untuk memberikan kecupan di pipi sang istri sebelum melanjutkan langkah ke kepala meja. “Ramai sekali,” kata Raga sambil menarik kursi, kemudian duduk di tempatnya. “Lagi ngomongin Mara yang katanya pernah pacaran sama siapa tadi namanya?” Ibu Nadia bertanya pada sang putri. “Rio, Ma. Dia itu dulu banyak yang suka.” Nadia menjelaskan. Wajah wanita itu terlihat berbinar. “Oh …. “ Raga tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Sekarang kita makan dulu. Nanti mau jam berapa ke rumah sakit?” tanya Raga di ujung kalimat. Sang istri masih harus menjalani kemoterapi setiap hari. “Jadwalnya jam 9. Nanti biar aku yang antar Nadia.” Nadia menoleh ke arah Mara. Sepasang bibir yang semula sudah akan terbuka, kembali tertutup, lalu tertarik melengkung ke atas. “Aku belum kerja. Jadi nggak masalah.” Mara menambahkan ketika mendapat tatapan penuh pertanyaan dari satu-satunya pria yang duduk melingkari meja makan tersebut. Raga memutar kepala ke arah sang istri. Melihat istrinya tersebut mengangguk, akhirnya Raga meraih piring, berniat untuk mengisinya. Gerakan tangan pria itu berhenti ketika mendengar suara Nadia. “Biar Mara yang ambilin, Mas.” Mara yang sebelumnya sudah akan meraih piring, menatap sang teman. Wanita itu menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. “Itu tugas istri, Mara. Kamu itu gimana, sih? Jangan bilang kamu tidak tahu.” “Aku belum pernah menikah, Nad,” sahut Mara yang kemudian memutar kepala ke arah Raga, lalu mengulurkan tangan kanan—meminta piring Raga. Mengambil piring dari tangan Raga, Mara mulai mengisi dengan nasi. “Sudah, cukup. Mas Raga tidak makan banyak nasi. Ingat itu,” kata Nadia yang masih memperhatikan apa yang dikerjakan oleh Mara. “Jangan pakai itu, Mas Raga tidak suka sayur berkuah. Pakai ca brokoli saja, sama itu … daging.” Nadia kembali memberitahu. Mara mengangguk, kemudian mengikuti apa yang Nadia katakan. Wanita itu kemudian memberikan piring yang sudah terisi kepada Raga. “Terima kasih.” Mara mengangguk. Selesai dengan tugasnya, Mara mulai mengisi piringnya sendiri. Suasana di dalam ruang makan itu kemudian tidak lagi penuh dengan suara obrolan--ketika empat orang penghuninya mulai menikmati sarapan mereka. Hanya sesekali terdengar denting alat makan. Selesai sarapan bersama, Mara membereskan sisa makanan dan piring kotor—sementara Raga dan ibu mertuanya mengantar Nadia untuk beristirahat di kamar. “Biar saya saja yang mencuci, Nyonya.” “Tidak apa-apa, Bi. Saya tidak ada kerjaan lain.” Mara menoleh, lalu tersenyum pada wanita paruh baya yang bekerja di rumah tersebut. Tangannya masih bergerak menyabuni piring bekas makan mereka. Selesai mencuci piring, Mara meninggalkan dapur. Wanita itu berniat mengambil ponsel di kamarnya untuk menghubungi mamanya. Mara nyaris berjingkat ketika mendapati Raga berdiri di luar ruang makan yang tersambung dengan dapur. “Astaga. Bikin kaget.” Raga tidak mengatakan apa-apa. Pria itu menarik keluar dompet dari saku celana bagian belakang, lalu membukanya. Mara memperhatikan apa yang pria di depannya lakukan dengan kening mengernyit. Dan lipatan pada kening wanita itu bertambah ketika melihat uluran kartu di depannya. “Apa ini?” “Kamu tidak bodoh, Mara. Ini. Passwordnya tanggal pernikahan kami.” Mara menatap Raga sambil menarik napas panjang. “Maksudku … untuk apa kamu memberiku kartu ini?” “Aku tidak ingin Nadia terus mengomel—mengingatkan jika saat ini kamu sudah menjadi istriku. Dan aku harus bertanggung jawab padamu.” “Ah … karena permintaan Nadia.” Mara menggerakkan kepala turun naik. “Aku tidak memerlukan uang darimu. Aku punya cukup tabungan.” Sepasang alis Mara terangkat. “Tidak perlu mengatakan apapun pada Nadia. Anggap saja aku sudah menerimanya. Kamu tidak perlu tertekan hanya karena sudah menyebut namaku dalam ijab kabul. Tenang saja, Raga. Bukan hanya kamu yang terpaksa. Aku pun sama. Aku juga terpaksa menikah denganmu.” Mara menarik sudut-sudut bibirnya. Wanita itu kemudian mendorong tangan Raga yang sebelumnya masih terulur di depannya. “Tidak akan ada yang berubah. Bagiku … kamu hanya suami Nadia.” Wanita itu tersenyum sekali lagi. “Permisi.” Lalu Mara berjalan meninggalkan Raga yang langsung mengepal kedua tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN