Jaga Jarak Aman

1048 Kata
Beberapa hari kemudian, KKN yang team Sekar lakukan akhirnya berakhir juga. Mahasiswi itu dapat bernapas lega karena tidak harus bertemu dengan Raiden lagi. Setidaknya di kampus tidak setiap hari juga mereka bertemu. Sejak kejadian di gubuk itu Sekar menjaga jarak dari sang Dosen. Kalau beberapa mahasiswi KKN di sana selalu menempel kemanapun Raiden pergi, Sekar berbeda. Dia malah memilih menjauh dan pergi bersama para mahasiwa lainnya. Perpisahan antara mahasiswa KKN dengan masyarakat sekitar membuat suasana sedikit mengharukan. Banyak kenangan yang akan tertinggal di desa tersebut. Terutama untuk Sekar, matanya berkaca-kaca ketika menyalami satu persatu warga yang sering berinteraksi dengannya. Hari terakhir Raiden mengganti motornya dengan mobil ketika dia kemarin sempat pulang ke rumahnya. "Kamu ikut mobil saya," ajak Raiden ketika Sekar lewat di dekatnya. Sekar menengok ke kiri ke kanan, dia berharap Raiden tidak berbicara kepadanya. "Saya bicara sama kamu, Sekar!" cicit Raiden, gemas melihat tingkah wanita yang sudah mengusik hatinya beberapa hari ini. "Oh! Sama saya ya?" Sekar membeo sembari menunjuk dirinya sendiri. Tidak sabar Raiden langsung menarik tangan Sekar dan memaksanya masuk ke dalam mobilnya. "Perlengkapan saya -" "Kamu tunggu saja di sini, biar saya yang ambil." Raiden pergi meninggalkan Sekar di dalam mobil. Pria itu mencari team perlengkapan dan meminta koper kecil milik Sekar. Beberapa mahasiswi memperhatikan Raiden dan Sekar dengan tatapan tidak suka. Mereka iri, mengapa harus Sekar dan hanya dia yang Raiden bawa di dalam mobilnya, sedangkan kursi belakang mobil dosen tersebut masih kosong dan muat beberapa orang lagi. Tapi mereka bisa apa, Raiden itu dosen paling tampan sekampusnya tapi juga galak tidak ada yang berani menentang apa yang sudah dia lakukan atau menjadi keinginannya. Seperti saat ini dia ingin Sekar ikut di mobilnya, jika ada yang bicara ingin ikut maka tidak segan-segan Raiden akan menolaknya dan meminta orang tersebut naik mobil lain tanpa basa-basi. Di dalam mobil, sepanjang jalan tidak ada percakapan di antara Raiden dan Sekar. Kecanggungan menyelimuti mereka. "Ehem!" Deheman Raiden memecah keheningan di antara mereka. "Rumah kamu di mana?" tanyanya kemudian. Sekar masih terdiam dan menatap keluar jendela. Menikmati pemandangan sawah yang sudah hampir menguning, pemandangan yang tidak akan dapat dia lihat lagi jika sudah di kota. Pemandangan tersebut akan berganti gedung pencakar langit yang tinggi menjulang. "Sekar," panggil Raiden sambil menggenggam jemari lentik sang mahasiswi. Sekar tersentak dan langsung menarik tangannya. "Kamu melamun?" tebak pria berdarah Jepang-Indonesia itu tepat sasaran. "Iya," jawab Sekar singkat, wanita itu menunduk tidak berani terlalu lama menatap sang Dosen. "Rumah kamu di mana?" ulang Raiden sekali lagi. "Rumah saya dekat kampus, Pak," jawab mahasiswi berkacamata itu pelan. "Pak Rai turunkan saja saya di kampus, dari sana saya bisa jalan kaki," sambungnya. "Oke." Raiden setuju. "Kamu tinggal sama siapa?" Kembali sang Dosen bertanya, mengorek sedikit informasi tentang keluarga mahasiswinya. "Heum, saya hanya tinggal berdua dengan mama saya, Pak." "Papa kamu?" "Pergi entah kemana sejak ...." Sekar menggantung kalimatnya. "Sejak?" Raiden penasaran. "Sejak tahu kalau mama saya hamil, dia tidak tanggungjawab." Raiden mengangguk paham. "Tapi tidak semua pria seperti itu, Sekar." Raiden meyakinkan wanita di sebelahnya kalau dirinya berbeda. "Saya bukan pria seperti itu dan jujur saya membenci jika ada pria yang tidak bertanggungjawab," tambahnya. Sekar menggedikan kedua pundaknya. "Maka dari itu, saya ingin mengenal kamu lebih dalam lagi. Bertemu mama kamu." Sekar menoleh dengan tatapan tidak suka, "Untuk apa?" "Saya akan buktikan kalau saya pria yang bertanggungjawab, hubungan kita -" "Saya tidak minta Pak Rai tanggungjawab atas kejadian di gubuk itu. Jadi tidak perlu repot-repot," tolak Sekar, sinis. Raiden terkekeh, "Kamu tuh lucu ya, dimana-mana perempuan akan minta pria yang merawaninnya untuk tanggungjawab, kamu malah gak mau!" Raiden mengakhiri kalimatnya dengan berdecak dan geleng kepala. "Saya menganggap kejadian di gubuk itu hanya kekhilafan kita berdua aja, Pak. Bukan salah Bapak atau saya," papar Sekar. "Kamu gak menyesal?" "Menyesal juga gak akan membalikan keperawanan saya, Pak," ketus Sekar. Sontak aura Raiden berbeda, dia tidak suka Sekar menolaknya. Siapa dia? Pikir Raiden. "Baiklah kalau begitu, tapi jika suatu hari terjadi sesuatu, jangan datang padaku!" gertak Raiden. Sekar sudah dewasa dan pintar tinggal di kota besar membuatnya langsung menangkap maksud dari sang Dosen. "Iya," jawabnya singkat. Raiden mengeratkan giginya dan tangannya menggenggam erat stir mobil hingga kukunya memutih. Menahan emosi yang hampir meledak, tapi dia tahan. Kembali hening sampai mobil yang Raiden kendari memasuki area kampus. Raiden memarkir mobilnya di tempat khusus untuk dosen. Sekar langsung keluar dari mobil itu dan mengambil koper kecilnya yang berada di kursi belakang. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, kalau dirinya belum mengucapkan terima kasih atas tumpangannya pada Raiden. Akan tetapi, ketika Sekar hendak berbicara pada pria itu, sang Dosen sudah lebih dulu pergi membaur dengan mahasiswa lainnya yang juga baru tiba. Sekar menghela napas panjang. Menarik koper kecilnya pergi tanpa pamit adalah pilihan Sekar saat ini, menyusuri trotoar pinggir kampusnya, masuk ke dalam gang tidak jauh dari sana sudah terlihat rumah kontrakan petakan yang Sekar dan ibunya tinggal. "Ma, aku pulang," teriak Sekar dari luar. Si Ibu yang sedang di dapur langsung keluar dengan tergopoh-gopoh menyambut kepulangan sang buah hati. "Eh, putri cantik mama dah pulang," sambut Arumi, langsung memeluk Sekar dan memberikan ciuman di pipi kiri kanan sang putri. Terlihat wanita itu sangat merindukan putri sematawayangnya dengan amat sangat. "Sini, sini biar mama yang bawa kopernya," pinta Arumi sedikit memaksa karena Sekar menahannya dengan maksud agar tidak merepotkan mamanya. Arumi membawa koper milik Sekar ke kamar dan langsung merapihkannya. "Baju kotor kamu mana, Kar?" tanya Arumi. Sekar yang baru saja duduk di karpet langsung kembali beranjak mendekati mamanya. "Semua pakaian bersih, Ma. Aku cuci sendiri di sana," ungkap Sekar. "Oh seperti itu, baiklah." Arumi kembali merapihkan pakaian putrinya dan memasukannya ke dalam lemari. Sekar duduk di tepi ranjang memperhatikan wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya tengah sibuk merapihkan pakaiannya di lemari, Arumi tidak menyadari perubahan raut wajah Sekar yang saat ini sedang mati-matian menahan hatinya agar tidak menangis. Ingin rasanya dia mengadu apa yang terjadi di saat KKN hendak berakhir. Sekar takut Arumi kecewa kalau mengetahui putrinya sudah tidak suci lagi karena kebodohannya sendiri tidak dapat menolak ajakan Raiden tempo hari itu. Sekar tersentak ketika Arumi menutup kopernya dengan kencang. "Loh! Kamu kaget?" ledek Arumi melihat putrinya terkejut dengan tubuh sedikit tersentak. "Mama ih! Ngagetin aja!" protes Sekar. "Kamu yang melamun, melamunin apa sih? Cerita dong!" paksa Arumi. 'Cerita apa? Cerita KKN akan mengorek lukaku, Ma!' seru Sekar di dalam hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN