Part 6 Kalian jadi Mata dan Telinga Saya!

1614 Kata
Karena kami memasrahkan putri kami padamu, untuk kamu dan keluargamu hormati! Seperti kami menyayanginya. ~~~ Adjie diperbolehkan melihat proses operasi Kelana dari ruangan khusus yang disediakan rumah sakit. Seharusnya hanya untuk satu orang dari pihak keluarga. Tapi berhubung Kelana adalah putri keluarga Rekso, maka mama papanya juga diperbolehkan untuk melihat proses operasi, entah bagaimana caranya, Adjie takt ahu dan tidak mau tahu. Selama proses operasi berlangsung, tak hentinya Bu Laras menyeka air mata dan beristighfar. Tak tega melihat anaknya tergeletak di meja operasi. Pak Rekso sudah meminta dokter terbaik yang boleh menangani putri kesayangannya. Walau tampak tegar, tapi tak ada yang tahu betapa sedih Pak Rekso melihat putri tercinta dioperasi. Walaupun dokter sudah menerangkan prosesnya sedemikian rupa, tapi tetap saja, bagi orang awam tanpa background medis, kata operasi adalah momok bagi mereka. Maka dari itu, Pak Rekso tak mau ambil resiko. Semua staf yang akan berhubungan dengan Kelana, haruslah orang yang terbaik. Dia tak peduli berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Dia tak peduli Adjie menjadi pucat dan menggaruk kepalanya saat mendengar perkiraan biaya yang harus mereka tanggung. Uang, baginya, bisa dicari lagi. Tak masalah. Asalkan putri kesayangannya, Kelana, bisa sembuh dan sehat seperti sedia kala, dia tak peduli harus mengeluarkan nominal yang besar, bagi orang kebanyakan tentunya. Pak Rekso beberapa kali mengelus punggung istrinya, untuk menguatkan. Keluarga intinya dia suruh kumpul semua untuk memberikan dukungan kepada Kelana. Bram, si sulung, bahkan mendadak harus ijin dari atasannya, demi bisa ikut menemani adik kecilnya. Padahal, katanya, dia sedang mengikuti program master di luar. Tapi sepertinya pekerjaannya lebih dari itu. Dwi, yang biasanya tengil dan iseng, tampak pendiam kali ini. Hanya Bapak dan Ibu Rekso, dan Adjie yang boleh menunggu di ruangan khusus. Sisanya menunggu di luar ruang operasi. Selesai operasi, saat di ruang pemulihan, Adjie terdiam melihat banyaknya selang di tubuh Kelana. Bahkan tubuh Kelana diselimuti khusus karena dia merasa kedinginan, badannya menggigil hebat. Membuat mamanya panik dan tak hentinya bertanya pada dokter mengapa bisa seperti itu. Apakah itu tak apa-apa? Dan setelah dijelaskan sejelas-jelasnya oleh dokter, Bu Laras menjadi tenang, sedikit sih. Walau tetap saja merasa resah dan khawatir, layaknya seorang ibu pada umumnya jika anaknya sakit. Walau Kelana sudah dewasa, bagaimanapun juga dia adalah ibunya, yang mengandung Kelana, yang melahirkan dan merawatnya penuh kasih. Perjuangan hidup matinya saat melahirkan Kelana, sesaat teringat kembali. Tak dipedulikannya si besan yang tak datang. Yang dia tahu, besannya baru saja kembali ke Solo setelah menginap di rumah Kelana selama dua malam. Yang Bu Laras tak tahu bahwa dua hari itu yang menyiksa lahir batin Kelana. Walaupun Kelana tidak cerita, tapi sebagai seorang ibu, dia tahu, ada yang salah antara anaknya dan mertuanya itu. Dia sendiri dulu sebenarnya kurang sreg saat Kelana menikah dengan Adjie. Mereka, dia dan suaminya, sudah punya pilihan untuk Kelana. Terbaik menurut mereka. Sama-sama berdarah biru sepertinya dan dia sudah kenal keluarga Danang, pilihannya, karena dulu sering bertemu saat ada acara. Hanya saja sayangnya, hati dan mata Kelana sudah tertutup oleh Adjie. Entah apa sebabnya. Kelana hanya mau menikah dengan Adjie. Tidak mau membuka hatinya untuk lelaki lain. Dan seperti sudah digariskan oleh Yang Kuasa, karena setelah ayahnya Adjie meninggal, Adjie bersedia menikahi putri satu-satunya keluarga Rekso. Yang dia yakin, Dwi, pasti ikut andil akan hal ini. Dia hanya tahu suaminya menyuntik modal segar untuk menyelamatkan perusahaan keluarga Adjie. Tapi seingatnya, mereka tak membuat perjanjian apapun. Kelana, putrinya, tak akan ia korbankan untuk apapun itu. Mereka keluarga kaya raya, tidak kekurangan suatu apa pun, tidak akan mungkin Kelana ia korbankan bahkan untuk kepentingan bisnis keluarga. Kelana, putri satu-satunya yang dia dapatkan dengan susah payah - karena ingin sekali anak perempuan - saat hamil Kelana dia sampai harus bed rest. Tak bisa mencium bau-bau, tak bisa makan nasi, dan selalu pusing kalau naik mobil. Walhasil kalau berobat ke dokter, dia akan dibonceng motor atau naik bajaj. Terbayang kan? Untuk orang sekaya Rekso tapi harus naik bajaj? Hahaha... suaminya sampai bingung tak tahu harus bagaimana. Kelana kecil juga kurus, susah makan nasi. Hobinya makan keju. Bahkan sampai SMU pun badan Kelana tetap kurus, tak sebanding dengan badannya yang cukup tinggi. Kutilang darat kalau kata orang-orang. Tapi saat kuliah, untunglah badannya menjadi jauh lebih berisi. Menjadi jauh lebih cantik dan menarik, terutama memikat mata lawan jenis, sudah tahu merawat diri. Tapi, tetap saja, di hatinya hanya ada Adjie. Berapa banyak lelaki yang suka padanya bahkan terus terang melamarnya, tapi Kelana tidak pernah mau. Sebagai seorang pengusaha, sebelum Kelana menikah dengan Adjie, tentu saja dia mencari tahu latar belakang keluarga Adjie. Tak ada yang salah dengan keluarga besar Adjie. Mereka dari keluarga baik-baik. Sederhana dan tidak neko-neko. Dia juga tahu bahwa Adjie dulu sempat menjalin hubungan serius dengan perempuan lain bahkan sampai hampir menikah. Dia tak mempermasalahkan status sosial dan ekonomi keluarga calon besannya. Toh, suaminya juga bukan dari keluarga berdarah biru seperti dirinya - tapi berdarah merah -. Tapi rumah tangga mereka bahagia. Aman tentram damai, tak kekurangan suatu apa. Dia dan suaminya yang semula berniat menjodohkan Kelana dengan Danang, putra sahabat mereka, akhirnya mengalah pada keinginan Kelana yang tetap mau menikah dengan Adjie. Tak ada yang tahu, malam sebelum akad nikah, dia nekat mengultimatum Adjie, bahwa jika sampai dia berani menduakan Kelana, maka detik itu juga Kelana akan dia minta kembali. "Hormati dan sayangi Kelana. Kami percayakan putri kami padamu, untuk kamu hormati dan sayangi. Jangan coba-coba kamu mempermainkan perasaan Kelana. Jangan pernah nekat untuk berkonfrontasi dengan kami, keluarga Rekso! Kamu akan tahu akibatnya nanti!" Saat itu dia tahu, calon mantunya sedikit terkejut dengan kefrontalannya. Tapi sebagai seorang ibu, sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi anak-anaknya. Terutama Kelana. Karena Kelana akan menjadi makmum bagi suaminya. Surga bagi Kelana sebagai seorang istri, bergantung pada suaminya yang bertindak selaku imam di keluarga. Dia dan suaminya, bahkan kedua kakak Kelana sudah tidak bisa ikut campur urusan dalam negeri keluarga Kelana setelah dia menikah. Dan sebagai bentuk keprotektifannya, seusai operasi, Bu Laras meminta Mbok Minah dan Pak Udin, yang orang kepercayaannya, untuk tinggal bersama Kelana. Alasannya pada Adjie dan Kelana agar ada yang membantu membereskan rumah. Kelana jadi tidak capek, jadi bisa lebih fokus ke baby program. Yang Adjie dan Kelana tak tahu, Bu Laras sudah wanti-wanti berpesan pada keduanya. "Mbok Minah dan Pak Udin sudah lama ikut saya, bahkan ikut momong Kelana dari bayi. Kelana bahkan sudah kalian anggap sebagai anak sendiri. Saya minta agar Mbok Minah dan Pak Udin juga menjaga Kelana. Kalian adalah mata dan telinga saya. Saya titip Kelana pada kalian. Tolong jaga dan lindungi Kelana, apa pun yang terjadi." Tentu saja apa kata Ndoro Laras - begitu biasa Mbok Minah dan Pak Udin memanggil - adalah titah bagi mereka. Mereka berdua mengabdikan diri mereka pada keluarga Rekso dan tahu perjuangan Ndoro Laras dan Ndoro Rekso sedari awal. Mereka menyayangi Kelana dan juga Ndoro Laras. Sebagai seorang ibu, Bu Laras merasa khawatir dengan hubungan antara Kelana - Adjie - dan mertuanya. Entah kenapa, jika ditanya dari mana dia bisa tahu, dia pasti akan menjawab tak tahu. Feeling seorang ibu biasanya terbukti. Begitu selalu diucapkannya pada suaminya jika tanya apa dasarnya. Dan suaminya hanya bisa mengedikkan bahu saja. Selama tidak berbahaya dan melanggar batas, pasti masih bisa dia terima tindak tanduk istrinya yang kadang terlalu protektif. Masa pemulihan Kelana di rumah membuatnya tak bisa beraktivitas layaknya biasa. Untunglah ada Mbok Minah yang selalu sigap membantunya. Adjie juga tak segan membantu semua kebutuhan Kelana. Bahkan sampai keperluan terkecil Kelana pun dia akan siap sedia. Entah kenapa sejak melihat Kelana sesaat setelah dioperasi, Adjie merasa sesuatu yang berbeda. Ada perasaan hangat menyusup di hatinya. Melihat perjuangan Kelana untuk bisa mendapatkan keturunan, mendapatkan anak, bahkan rela harus dioperasi, tentu saja membuat Adjie luluh. Sekarang dia bisa sedikit merasakan kesakitan hati Kelana jika selalu ditanya kapan hamil. Perjuangan untuk hamil, kan tidak hanya proses membuatnya saja. Tapi ternyata banyak sekali proses yang harus mereka lalui. Dia memang tak bisa merasakan sakit akibat operasi yang diderita Kelana, yang hebatnya selalu tersenyum dan bilang tak apa-apa. Tapi itu malah membuat hati Adjie menjadi tersentil. Sesuatu di lubuk hatinya menjadi sentimentil, tak tega melihat Kelana merasa kesakitan. Semua itu rela dijalani Kelana tanpa banyak mengeluh, demi hadirnya buah hati yang sudah lama mereka tunggu. Tanpa Adjie sadari, benih-benih itu mulai subur di hatinya. Adjie pun menjadi suami siaga. Mengantar dan menunggu Kelana untuk kontrol ulang ke obgyn yang antriannya mengalahkan antri atm saat awal bulan. Yang kadang membuatnya tak nyaman, karena wajah Kelana berubah sedih melihat kumpulan ibu-ibu berperut buncit di ruang tunggu. Kadang, Adjie lihat tanpa sadar Kelana mengusap perutnya sendiri sambil tersenyum kecil. Lirih mengucap doa agar perutnya juga bisa segera membuncit berisi bayi lucu. Dan kemajuan Kelana lumayan bagus, menurut dokter. Sebagus biaya yang harus dikeluarkan. Pernah sekali dia nekat membayar, dan nafasnya terasa terhenti saat harus mengeluarkan kartu kreditnya, membaca nominal yang tertera di tagihan. Biaya dokter, obat dan lain-lain. Tapi Kelana selalu membayar memakai kartu debitnya. Alasan Kelana sih, dia hanya bayar sebagian kecil saja, karena sisanya kan ditanggung kantor, yang adalah milik keluarga Rekso. Hari ini Kelana bilang akan pulang malam karena ada pertemuan dengan rekan bisnis. Toh, tugas antar jemput sekarang dipasrahkan ke Pak Udin, walau sesekali Adjie tentu saja menjemputnya. Mau tak mau hari ini Adjie pulang sendiri lebih dulu. Saat sedang menunggu Kelana pulang, terdengar bunyi bel pintu rumah. Bergegas Adjie menuju pintu depan untuk membukanya. "Biar saya saja, Mbok. Mungkin itu Kelana." Adjie bergegas menuju pintu, saat melihat Mbok Minah yang tergopoh hendak membuka pintu. "Sayang, katanya mau pulang malam, kok jam segini sudah sa..m...paiii?" Kalimat Adjie terputus saat melihat siapa orang yang berdiri di depan pintu rumahnya. Dia sungguh tidak percaya pada apa yang dilihatnya sekarang. Perempuan yang dulu sempat dirinduinya, sangat dirinduinya, sekarang ada di hadapannya. Benar-benar ada di hadapannya. "Lita...? Kamu... ke sini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN