Lea melangkah perlahan menuju rumahnya yang terletak paling ujung di komplek tersebut. Hari ini ia sangat sibuk sekali dan membuat tubuhnya terasa sangat kelelahan.
“Assalamualaikum bu,” sapa Lea ketika masuk ke dalam rumah dan menyapa sang ibu yang masih menunggunya pulang sambil membaca buku dan mendengarkan musik lama.
“Waalaikumsalam… akhirnya kamu pulang, Lea. Ibu rasanya khawatir sudah pukul 10 malam tapi kamu belum juga sampai.”
“Hari ini semua KRL nya penuh banget bu dan susah banget dapet gojek gara-gara hujan. Jangankan ibu, aku aja yang harus bekerja setiap hari rasanya cape banget!”
“Ya udah, coba disabarin aja…”
“Coba kalau kita bisa kembali kerumah lama bu, pasti aku bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Selalu sampai dirumah dalam kondisi larut malam begini, lama-lama tubuhku rontok. Padahal kita punya rumah, gak perlu ngontrak sampai ke ujung kulon seperti sekarang,” keluh Lea sembari merebahkan tubuhnya di sofa tak berdaya.
“Hush, kalau ibu gak menyewakan rumah, kita bisa dapat biaya hidup dari mana? Lagi pula biaya mengurus rumah almarhum ayahmu cukup mahal buat kita, ibu gak punya uang untuk menutupinya sebanyak itu. Sekarang, dengan dikontrakannya rumah ayahmu dan kita yang malah hidup ngontrak, tapi ibu punya uang sendiri untuk hidup. Tak perlu mengandalkan siapa-siapa.”
Lea menatap ibunya dalam sebelum ia memeluk sang ibu sayang.
“Lea … tadi sore Max datang ke sini mencarimu.” Mendengar ucapan sang ibu, tubuh Lea seorang mematung.
“Dia memberikan ini untukmu, katanya ini memang milik kamu.” Alin memberikan sebuah amplop coklat yang sangat tebal ke tangan Lea.
“Kenapa diterima bu?! Lea gak mau!”
“Dia bilang itu adalah hak kamu yang seharusnya kamu terima saat kalian menikah dulu…”
“Nggak! Lea gak mau dan gak perlu menerimanya. Lea sudah mendapatkan banyak barang dari mas Max, dia gak perlu lagi kasih Lea uang hanya karena kasihan!”
“Dia bilang….”
“Sudah, bu! Lea gak mau dengar lagi… besok uang ini Lea kembalikan!” Lea segera berdiri dan meninggalkan sang ibu sendirian di ruang tengah dan membawa amplop coklat itu ke dalam kamar.
Pagi pun menjelang.
Alin hanya bisa mencoba tersenyum ketika melihat anak bungsunya tampak murung ketika berpamitan padanya.
“Lea pamit ya,Bu.”
“Kok berangkatnya pagi sekali?”
“Sekalian mau mampir ke kantor mas Max untuk mengembalikan uangnya.”
“Kamu masih marah sama ibu karena menerima uang itu?”
“Aku gak marah sama ibu, tapi aku kesal sama mas Max karena masih berusaha untuk memberikan uang padaku walau kita sudah berpisah. Perhatiannya itu gak diperlukan!”
“Sabar …. Sabar … hati-hati dijalan ya…”
Lea hanya mengangguk pelan dan segera mengucapkan salam dan segera masuk ke dalam taksi online yang sudah ia pesan. Hari ini ia rela merogoh kantong pundi-pundi uangnya dan berpenampilan berbeda hanya untuk tampil baik di hadapan Max. Walau sebenarnya hatinya sedih dan sakit, ia akan menunjukan dirinya baik-baik saja tanpa kehadiran mantan suaminya.
Waktu menunjukan tepat pukul 8 pagi ketika Lea sampai di kantor Max. Tanpa berlama-lama ia segera naik ke lantai 18 setelah menukarkan id dan menunggu disana. Lea tahu, Max selalu datang bekerja tepat waktu, jam segini sudah pasti mantan suaminya juga ada disitu.
“Loh, ada mbak Lea?!” sapa Miranti, sekretaris kantor Max yang tampak terkejut melihat kehadiran Lea.
Lea hanya tersenyum dan segera menanyakan keberadaan mantan suaminya.
“Mas Max ada?” tanya Lea ringan.
“Ada, sebentar saya beritahu ada mbak Lea disini.”
Lea mencoba mengatur nafasnya untuk mengendalikan rasa gugup dihatinya. Setelah hampir 5 bulan tak bertemu, kini mendadak ia merasa kikuk dan tak siap.
“Lea, kamu datang?! Ayo masuk!” Suara khas itu membuat hati Lea lemas dan menoleh perlahan ke arah pintu yang terbuka lebar tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan langkah tenang, Lea berjalan masuk tanpa tersenyum. Ketika pintu ditutup terasa sebuah pelukan hangat yang begitu dirindukan Lea memenuhi tubuhnya.
“Mas…” panggil Lea sambil melepaskan pelukan Max dan berjalan mundur beberapa langkah tanpa menatap suaminya.
“Kenapa? Hanya sebuah pelukan hangat pun gak boleh? Apa kita benar-benar tak bisa berteman lagi?” pertanyaan Max hanya membuat Lea tercekat dan tak bisa bicara apa-apa.
“Lebih baik begitu … ohya, aku kemari hanya untuk mengembalikan ini …” ucap Lea cepat dan segera membuka isi tasnya lalu mengeluarkan amplop coklat dan meletakkannya di atas meja kerja Max.
“Lea …”
“Aku sudah bekerja sekarang, alhamdulilah gajinya cukup kok untuk memenuhi kebutuhan hidupku.”
“Itu uang kamu … nafkah terakhir yang seharusnya bisa aku berikan sebelum kita bercerai dulu.”
Lea menggelengkan kepalanya tanpa sanggup menatap wajah suaminya. Sedangkan Max hanya bisa menatap wajah cantik Lea yang menundukan matanya begitu dalam terlihat sedih. Ia tahu Lea masih memiliki rasa cinta yang besar untuknya. Karena perasaan cintanya itu ia pun bersedia mundur dan mempersilahkan Max untuk bersama Laras perempuan yang menjadi cinta pertama dan sejati untuk Max.
Rasa bersalah di hati Max pada perempuan dihadapannya ini juga sangat besar, walau Lea bersedia, tapi Max sadar bahwa ia memanfaatkan perasaan Lea padanya agar ia tak menyakiti perasaan orang tua Max dengan menikahi Lea.Hanya saja rasa sayangnya pada Lea yang seperti adik, tak bisa menutupi perasaan cintanya pada Laras. Max hanya ingin bersama Laras.
“Aku pamit ya mas …”
“Kita belum ngobrol banyak, Lea. Kamu kerja dimana sekarang? Kata ibu, masih belum ada pria yang datang ….”
“Itu urusanku, Mas!”
Suara Lea yang meninggi dan memotong ucapan Max, membuat Max terdiam.
“Sudah ya … aku pamit…” ucap Lea lirih merasa menyesal meninggikan suara pada pria yang sangat ia cintai itu.
“Lea … tunggu … kita tak bisa begini terus … walau sudah berpisah, aku tetap mantan suamimu … aku tak ingin memiliki hubungan yang buruk denganmu. Dulu kita sangat dekat! Aku merasa sangat kehilangan!” ucap Max sambil menarik tangan Lea untuk menahannya pergi.
Ditahan seperti itu hanya membuat genangan airmata di pelupuk mata Lea.
“Buat apa kita berhubungan lagi?! Mas, sangat tahu bahwa perasaanku untuk siapa?! Kalau mas ingin aku bahagia, tolong biarkan aku sendiri … aku butuh waktu untuk tidak bertemu dengan mas … aku gak sanggup … “
“Max, kamu sudah siap? 30 menit lagi kita berangkat untuk meeting dan setelah itu kita akan mampir untuk fitting baju pengantin, aku …”
Max dan Lea dengan bersamaan menoleh kearah pintu yang tiba-tiba terbuka dan melihat seorang sosok anggun dengan suara lembut menyapa Max. Laras. Lea segera memalingkan muka dan menghapus air matanya cepat.
“Lea, kamu ada disini? Apakabar?” sapa Laras tenang walau ia tak kalah terkejutnya dengan Max dan Lea.
“Aku pamit …” ucap Lea cepat melewati keduanya tanpa berkata apa-apa lagi dan segera keluar dari ruangan Max.
Ia terus berjalan dan tak mempedulikan sapaan Miranti, panggilan Max juga Laras. Hatinya benar-benar kacau dan terasa sangat sakit. Kini tak hanya mereka akan menikah tetapi Laras dan Max pun sudah satu kantor. Lea merasa marah karena ia merasa dikhianati dan juga sangat terluka karena seolah disadarkan betapa bodoh dirinya karena terlalu mencintai Max.
Sesampainya di kantor Lea hanya bisa diam ketika Annie berkata bahwa ia lagi-lagi terlambat dan diketahui Theo. Belum sempat ia bernafas untuk menenangkan hati, kini ia sudah dipanggil ke dalam ruangan Theo.
Dengan langkah gontai Lea mengetuk pintu dan masuk ketika dipanggil oleh Theo. Perempuan itu hanya bisa menatap wajah Theo dengan pandangan kosong dan seolah tak bisa mendengarkan ocehan boss nya itu. Sindiran dan ucapan pedas Theo tentang disiplin tak mampu dicerna oleh Lea, yang terbayang di pikirannya hanya lah wajah cantik Max dan Laras yang tampak sangat bahagia menyambut pernikahan mereka berdua.
“Lea! Kamu dengar gak sih kalau saya bicara?!” ketus Theo merasa kesal karena Lea hanya menatapnya kosong. Ditanya begitu, air mata Lea pecah. Ia menangis sesegukan tak bisa menahan perasaan sedihnya lagi. Ia menangis sangat sedih sampai tak sadar berjongkok di lantai.
“Lea, kamu kenapa?!” tanya Theo kaget karena tak menyangka kemarahannya bisa membuat Lea menangis sesedih itu. Tapi Lea hanya terus menangis sampai meremas kain celananya sendiri.
“Maafkan saya kalau ucapan saya terlalu kasar … maaf ya… maaf …” ucap Theo panik dan segera berdiri melangkah tertatih- tatih mendekati Lea dan mencoba membantunya untuk berdiri. Tapi Lea yang sudah tak bisa menahan emosinya, malah semakin terduduk dan memeluk kaki Theo sambil tetap menangis.
Tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat Annie yang menatap kaget melihat Lea terduduk tampak memohon dilantai sampai memeluk kaki Theo.
“Bapak! Saya tahu Lea terlambat tapi gak usah sekejam itu!” ucap Annie tampak kesal pada atasannya sambil masuk menutup pintu ruangan agar tak ada yang lihat pemandangan itu.
“Bukan saya! Bukan saya!” ucap Theo sambil mengangkat kedua tangannya keatas. Annie pun segera membantu Lea berdiri dan terdengar sayup ditelinga Theo sebuah nama yang dipanggil Lea lirih.
“Mas Max…”
Panggilan lirih itu membuat Theo menoleh dan menatap Lea dalam yang tengah berjalan didudukan di sofa dan ditenangkan oleh Annie. Nama itu seolah membuat Theo tahu mengapa Lea menangis begitu histeris.
Bersambung.