Si Pemarah

1616 Kata
Si Pemarah “Selamat Pagi Lea.” Sapaan seseorang segera membuat Lea menoleh dan berjalan dengan riang menuju arah suara. “Selamat pagi Om Sukmaa …,” balas Lea penuh senyuman. “Ayo sarapan dulu,” ajak pria yang dipanggil Sukma oleh Lea. Sukma adalah ayah kandung Theo yang baru kembali dari Jepang seminggu yang lalu. Tak terasa sudah satu bulan Lea mengontrak di kediaman Theo. Sejak ia tahu bahwa Theo adalah induk semangnya, pria itu seolah selalu mencari waktu untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Lea. Seperti selalu mengetuk pintu untuk mengajak sarapan pagi bersama, berangkat bersama atau jika melihat Lea masih dikantor, ia akan whatsapps untuk pulang bersama. Belum lagi paksaan yang selalu meminta Lea untuk memanggilnya mas saat bertemu di rumah membuat Lea merasa jengah. Lea pun tak habis pikir pada Theo, walau ia bersikap begitu perhatian jika tak ada yang melihat, dikantor ia tetaplah seorang atasan yang galak, sinis dan penuh sindiran termasuk kepadanya. Ia tak mengerti mengapa karyawan lain masih bisa tetap mengagumi Theo sedangkan ia ingin menjauh dari pria itu. Tapi sejak kepulangan Sukma, sikap Lea berubah. Lea tak menyangka bahwa ayah Theo lebih tampan dari anaknya, bahkan sikap Sukma yang ramah dan lucu membuat Lea mengingat almarhum sang ayah. Lea pun paling senang jika tengah mendengarkan Sukma yang tengah berbicara, seolah bercerita sehingga tak terasa mereka bisa ngobrol berjam-jam lamanya. Kini Lea tak pernah menolak untuk sarapan pagi bersama, setiap tepat pukul tujuh pagi ia pasti sudah membuka pintu kamarnya dan melihat Sukma tengah menikmati secangkir teh panas sambil membaca di ruang makan yang terlihat dari teras belakang. Dengan sigap Lea masuk ke dalam rumah dan duduk dihadapan Sukma sambil mengambil secangkir kopi dan selembar roti panggang. Perempuan itu tampak tak peduli ketika Theo keluar dari kamarnya dan juga sudah siap dengan pakaian kerja melangkah mendekati sang ayah dan karyawan kantornya itu. “Tumben, belum dipanggil udah ada di meja?” sindir Theo sambil sengaja duduk disamping Lea dan membuat perempuan itu menggeser tubuhnya menjauh. “Aku kesini buat nemenin Om Sukma sarapan,” jawab Lea acuh lalu membalas senyuman Sukma yang tampak setuju dengan pernyataannya. “Anak jaman sekarang sukanya sama kakek-kakek, heran…” “Bapak tuh cuma iri aja, kalau bapak seumuran Om Sukma, belum tentu seganteng dan semenyenangkan Om Sukma… iya kannn Omm…” “Setuju!” jawab Sukma cepat sambil terkekeh mendengar pujian Lea yang polos. “Ck, bapak terus… mas… mas Theo…” “Nggak ah, ganjen! Eh, Om … aku berangkat yaa… hari ini mau datang lebih pagi soalnya mau ada meeting besar di kantor pukul 10.00 Jadi aku harus siapin semuanya dulu, doakan deal ya Om,” ucap Lea sambil berdiri setelah menghabiskan secangkir kopinya. “Kita berangkat bareng aja, aku juga sebentar lagi berangkat,” ajak Theo sambil mencoba kembali berdiri karena ia menutupi jalan Lea, tetapi karena sedikit terburu-buru tubuhnya pun sedikit oleng. Dengan sigap Lea yang sudah berdiri menahan tubuh Theo dari belakang dan membuat Theo sengaja melingkarkan lengannya di leher Lea untuk bertumpu. “Bapak, ah! Bajuku jadi kusut lagi…,” gumam Lea kesal. “Nolong gitu aja, gak ikhlas… “ balas Theo sambil menjambak kecil rambut Lea yang setengah basah dan masih tercium aroma shampo yang lembut membuat pria itu merasa gemas. “Tunggu di depan, kita pergi bersama,” suruh Theo dengan suara lembut. Lea pun hanya mendengus lalu berpamitan pada Sukma sebelum kembali ke kamar untuk mengambil tasnya diiringi pandangan dalam dari Theo yang tak menyadari bahwa sang ayah memperhatikan sikap mereka berdua. “Malam ini kamu harus pulang cepat, karena kita harus menghadiri acara pertunangan Max.” Mendengar ucapan sang ayah, Theo menoleh ke arah Sukma yang tengah menyeruput teh nya seolah tak peduli. “Hmmm…” jawab Theo singkat. “Apa kamu tak ingin berterus terang pada Lea, siapa kamu untuk Max?” tanya Sukma saat Theo hendak melangkah kembali ke kamar. Sukma sebenarnya cukup kaget ketika Theo bercerita bahwa ia menyewakan rumah bagian belakang mereka untuk karyawannya. Awalnya Sukma berpikir bahwa anak lelakinya hanya benar-benar ingin menolong, tetapi ketika bertemu Lea, Sukma merasa familiar dengan wajah perempuan itu tetapi tak ingat pernah bertemu dimana. Akhirnya Theo berterus terang siapa Lea sebenarnya, dan membuat Sukma resah. Rasa kasihan Theo pada Lea tak bisa diterima oleh akal sehat Sukma. Melihat dan berkenalan dengan Lea membuat Sukma menyadari, bahwa Lea memiliki sifat seperti Fara mantan istri Theo. Perempuan itu mampu membuat Theo merasa hidup dan ceria. Hanya saja, akan ganjil rasanya jika anak lelakinya itu menjalin hubungan dengan mantan istri sepupunya sendiri. Walaupun bersepupu jauh, tetapi keluarga besar Max bukanlah keluarga sembarangan. Sukma sangat bersyukur ia dilahirkan dalam keluarga sendok emas alias keluarga yang berkecukupan. Sampai saat ini ia dan Theo masih bisa hidup tenang dan nyaman dari warisan keluarga selain mendapatkan penghasilan dari bekerja. Hanya saja, sang ayah yang juga kakek dari Theo adalah orang yang paling berbeda dari kakak-kakaknya yang lain. Semua pamannya menjadi pengusaha besar dan sukses, sedangkan sang ayah mendidik Sukma untuk bekerja dibidang yang ia sukai dan bisa membuatnya bahagia.Itu juga yang ia didik pada Theo, ia ingin anaknya bebas untuk menentukan arah hidupnya sendiri. Walaupun keluarga mereka tak sebesar dan sehebat keluarga besarnya yang lain. Mendengar pertanyaan sang ayah, Theo hanya diam dan bergeming. “Semua orang yang melihat apa yang kamu lakukan pada Lea, pasti akan berpikir kalau ini tak sekedar kasihan tetapi karena kamu juga menyukai perempuan itu.” “Memang salahnya dimana?! Aku duda dan Lea juga Janda. Aku sangat tahu bahwa Max tak memiliki perasaan lebih pada Lea dan menganggapnya hanya seperti adik. Aku sangat tahu isi hati Max tentang Lea!” “Tetapi kamu tak hanya sekedar sepupu untuk Max, kalian sangat dekat satu sama lain. Kamu juga tidak menceritakan tentang pertemuanmu dengan Lea pada Max, bukan?” “Akh, sudahlah! Hal ini tak perlu dilebih-lebihkan! Kenapa kita tak melihat dari niat awalku untuk menolong Lea saja, ia hanya disini selama 6 bulan sampai kontrak di kantor diperpanjang. Aku hanya tak ingin menutup rejeki orang karena kelemahannya. Papa tahu aku,kan?!” Sukma hanya bisa mengangguk seolah menyetujui pendapat anaknya. Karena ia mengetahui siapa Theo luar dalam, ia sangat yakin bahwa tanpa sadar Theo mulai menaruh perasaan pada Lea. Pembicaraan mereka terhenti saat Lea kembali ke dalam rumah sudah lengkap dengan tasnya. “Ayo pak, kita berangkat,” ajak Lea. Theo pun segera mengangguk dan menyuruh Lea untuk menunggu di mobil. Selama perjalanan ke kantor, tiba-tiba Theo yang biasanya cerewet dan penuh gumaman hanya diam membisu, membuat Lea merasa kikuk. Percakapannya dengan sang ayah membuat Theo kepikiran dan merasa tidak nyaman. “Pak Sugi, aku nanti turun di depan yaa… sebelum bapak belok masuk kantor,” ucap Lea pada Sugi ketika melihat bahwa mereka sudah hampir sampai. “Sudah, turun bersamaku saja! Kenapa?! Kamu malu datang bersama?!” ketus Theo dengan nada tinggi dengan raut wajah kesal menatap Lea tajam. Lea terdiam seribu bahasa dan mengangguk pelan dengan penuh perasaan takut. Theo terlihat menggelengkan kepalanya sendiri karena menyesal mendadak bicara dengan penuh emosi pada Lea. Perempuan itu hanya bisa mengikuti langkah Theo yang berjalan cepat walau tertatih-tatih dan tak berusaha menjauhkan diri karena takut sikapnya akan membuat Theo kembali tersinggung. Seharian itu, Theo tampak uring-uringan. Tiba-tiba saja ia menjadi sangat galak ketika banyak hal yang tak sesuai dengan ekspektasinya. Semua orang tampak sibuk untuk menyiapkan segalanya agar Theo tak semakin marah, termasuk Lea yang menjadi salah satu orang yang paling sering dipanggil dan dimarahi oleh Theo hari itu. Lea baru bisa duduk tenang untuk makan siang ketika waktu sudah menunjukan pukul 2 siang. Ia merasa lega bisa lepas dari meeting panjang dan menegangkan karena Theo beserta atasannya yang lain tengah meeting alot untuk sebuah project. “Gimana di dalam, kayanya diskusinya alot banget ya?” tanya Juwana mencari tahu pada Lea yang tengah menikmati makan siangnya di meja dengan malas. “Banget! Mana si bapak pake marah-marah melulu lagi! Jadi makin tegang, aku keder pak,” keluh Lea mengeluarkan isi hatinya. “Makanya kalau dia minta sesuatu kamu harus cepet, fokus sama apa yang dia minta. Saya saja dengar kamu dipanggil bolak-balik dan ditegur seperti itu rasanya gak enak…” nasehat Juwana dan mendapat anggukan pelan dari Lea. Baru saja ia selesai makan, terlihat pintu ruang meeting besar terbuka. Para manager dan client tampak keluar sambil berbincang dan tertawa. Hal itu membuat tim Lea menghembuskan nafas lega, tandanya meeting berhasil dengan baik. Lea yang tampak tegang dan langsung kembali duduk lega. Minimal setelah ini ia bisa beristirahat sebentar karena semua sudah selesai. “Lea!” panggilan keras seseorang membuat Lea melompat dan berdiri tegak dan menoleh kearah suara. Ia melihat Theo tengah berjalan dengan tongkatnya menghampiri dirinya sambil membawa setumpuk berkas dengan raut wajah masam. Melihat hal itu jantung Lea rasanya jatuh ke ujung jempol kaki dan spontan berkata dengan suara cukup keras. “Haduhhh, apalagi sih masss yang salah?!” rengek Lea paranoid melihat berkas ditangan Theo. Wajahnya langsung memerah ketika menyadari bahwa ada yang salah dari ucapannya sehingga membuat hening orang-orang disekitarnya termasuk Theo. “Eh, maaf … maksudnya pak…. Bukan mas… Pak… Pak Theo…” ucap Lea gugup. “Ck, kamu ini! Kebiasaan! Siapkan barang-barang kamu, satu jam lagi ikut saya meeting!” ucap Theo sambil meletakan berkas yang ia bawa diatas meja Lea. “Meeting? Tapi barusan kita meeting pak, sekarang meeting apa lagi?” tanya Lea cemas. “Memangnya meeting hanya boleh sekali sehari?! Kalau kata saya ikut, ya ikut aja!” Hati Lea mencelos mendengar kemarahan Theo didepan banyak orang. Matanya tampak berkaca-kaca ketika Theo meninggalkan dirinya untuk kembali keruangan. “Sabar ya, Lea,” bisik Egi sambil mengusap bahu Lea perlahan. Entah apa yang mengganggu perasaan Theo, tetapi semua karyawannya merasa bahwa atasannya itu berbeda hari ini. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN