"Vicky, kami pinjam tunanganmu dulu sebentar," ucap Dina sambil memegang lengan Manda, dia meminta izin kepada Vicky yang sedang asik membaca buku n****+.
"Ayo Manda, di butik sebelah ada koleksi tas baru," seru Desi yang juga ikut memegang dan menarik lengan Manda dengan lembut.
"Iya Manda, sebelum pulang mari kita singgah di butik sebelah, aku yakin tuan pengusaha kuliner Amerika ini akan mengerti, benar ‘kan Vicky?" Tanya Vony dengan sedikit mencibir.
Vicky sedikit terkejut melihat perubahan sikap ketiga sahabat Manda kepadanya. Vicky merasa setelah mereka mendapat pesan, ketiga sahabat Manda mulai bersikap aneh kepadanya.
"Tapi Vicky," ucap Manda sambil menatap Vicky.
"Tidak apa-apa, kamu pergi saja dengan mereka bertiga, aku juga masih membaca n****+ ini," balas Vicky sambil menunjukkan n****+ yang berada di tangannya ke Manda yang terlihat tidak enak meninggalkannya sendirian.
"Baiklah, aku janji tidak akan lama," ucap Manda sambil tersenyum kepada Vicky.
Beberapa saat setelah Manda dan temannya meninggalkan Cafe Cool, Giyan kembali bersama kedua orang temannya, orang-orang yang berada di situ tentu saja masih mengingat kejadian tadi. Mata mereka kini tertuju kepada ketiga orang yang baru saja masuk, mereka merasa jika kali ini ketiga orang itu pasti akan menghajar Vicky.
"Ohh karena ini," gumam Vicky dalam hati ketika melihat Giyan dan kedua temannya kembali.
Vicky bisa menebak jika perubahan sikap ketiga sahabat Manda ada hubungannya dengan kedatangan Giyan.
"Ada apa?" Tanya Vicky seraya meletakkan buku n****+ yang dia baca di meja.
"Kalau kamu memang seorang pria sekarang ikut dengan kami," tantang Giyan dengan nada arogan.
"Kalau aku tidak mau?" Tanya Vicky santai seraya menguap dan merenggangkan badannya. Dia mulai merasa mengantuk setelah membaca n****+ tadi.
Emosi Giyan langsung terpancing ketika melihat tingkah Vicky.
"Kami akan menghajarmu disini," balas Giyan sambil memukul meja di depan Vicky.
"Hah... merepotkan sekali," batin Vicky.
"Baiklah, tunggu aku di depan pintu masuk, aku akan ke kasir terlebih dahulu untuk membayar ini." Vicky menunjuk piring dan gelas kosong yang berada di meja, bekas mereka tadi makan.
"Kamu jangan coba-coba melarikan diri," hardik Giyan, setelah mengatakan itu dia meninggalkan Vicky dan menunggu di depan pintu masuk bersama dengan dua orang temannya.
Vicky berdiri lalu menuju kasir, seorang pria yang duduk seorang diri di cafe itu terlihat menghampiri Vicky.
"Tuan Muda, apa perlu kami bereskan?" Tanya pria itu, berbisik kepada Vicky.
"Tidak usah," balas Vicky tenang, yang ternyata merupakan anak buah Barry.
"Siap Tuan Muda!" jawab pria itu lalu kembali ke tempat duduknya.
Begitu tiba di kasir, Vicky menyerahkan uang kepada gadis yang bekerja sebagai kasir di cafe itu, sambil menunggu kembalian Vicky melipat kedua lengan baju kemeja yang dia kenakan.
"Kak, apa perlu aku menghubungi polisi ?" tanya gadis yang bekerja sebagai kasir di tempat itu.
Vicky sedikit terkejut mendengar ucapan dari gadis itu. "Tidak usah," balas Vicky sambil tersenyum.
"Apa kakak yakin? Mereka sepertinya ingin melukai kakak." Gadis itu kembali bertanya lalu menyerahkan uang kembalian kepada Vicky.
"Mereka melukaiku? Tidak mungkin, mereka hanya sekumpulan orang bodoh," balas Vicky, kemudian mengambil uang kembalian dari gadis itu.
Ketika Vicky hendak pergi, gadis itu menarik dengan halus kemeja yang digunakan Vicky untuk menahannya.
"Kak ...," gumam gadis itu yang terlihat khawatir.
Vicky menoleh kebelakang, dia dapat melihat jika gadis itu benar-benar mengkhawatirkan keselamatannya.
Pria berhazel biru indah itu lalu berbalik dan tersenyum, Vicky mulai khawatir jika setelah dia pergi, gadis itu benar-benar akan menghubungi polisi, tentu akan semakin merepotkan jika pihak kepolisian ikut terlibat dalam hal sepele seperti ini.
"Siapa namamu?" Tanya Vicky kepada gadis itu.
"Namaku Nina Kak," balasnya dengan ekspresi wajah cemas.
"Aku Vicky, salam kenal Nina," ucap Vicky memperkenalkan dirinya sambil mencari cara untuk menenangkan Nina.
Sebuah ide muncul di kepala Vicky.
"Atau begini saja." Vicky mengeluarkan lima lembar pecahan uang seratus ribu dari saku celananya.
"Ayo kita bertaruh, jika aku menang kamu harus menerima uang ini sebagai tips, dan jika aku kalah aku tidak akan pergi bersama mereka dan aku sendiri yang akan menghubungi polisi," ucap Vicky sambil meletakkan uang di atas meja kasir.
Nina terlihat kebingungan dengan tindakan Vicky.
"Aku bertaruh jika ketiga orang itu hanya sekumpulan orang bodoh," sambung Vicky.
"Dan bagaimana cara mengetahui jika mereka bodoh?" tanya Nina mengerutkan keningnya.
"Gampang," kata Vicky dengan percaya diri, dia lalu berbalik ke arah Giyan dan kedua temannya.
"Apa kalian bodoh?" ucap Vicky dengan suara pelan.
Letak antara kasir dan pintu masuk cukup jauh, tentu saja Giyan tidak mungkin bisa mendengar apa yang dikatakan Vicky, yang bisa mendengar itu hanya Vicky dan Nina.
Setelah mengatakan itu Vicky menatap Giyan dengan gestur menantang, Vicky lalu menganggukkan kepalanya ke arah Giyan dan kedua temannya, yang langsung dibalas anggukan oleh ketiga orang itu.
"Benar ‘kan kataku, mereka mengiyakan jika mereka bodoh," ucap Vicky kepada Nina.
Melihat itu Nina langsung tertawa, dia tidak menyangka jika cara yang digunakan Vicky seperti itu.
Dia juga tertawa karena kebodohan Giyan dan dua temannya yang ikut mengangguk secara bersamaan tanpa mengetahui apa yang Vicky katakan.
"Pfftt… Aduh kak.. Astagaa… Hahahhahaa...." Nina menahan tawanya.
"Jadi kamu harus menerima uang ini karena aku sudah memenangkan taruhan," ujarVicky sambil menggeser uang yang berada di meja ke arah Nina.
"Tidak usah Kak," Nina menolak uang yang diserahkan Vicky.
Vicky mengernyitkan dahinya, "Hei... kita sudah janji kan," protesnya.
"Hmm, ok!... jika Kakak kembali lagi di cafe ini, aku akan membayar minuman Kakak," balas Nina, mengambil uang di atas meja.
"Aku pasti akan sering datang ke Cafe ini," sahut Vicky.
Setelah itu dia langsung menuju ke tempat Giyan dan kedua temannya menunggu.
"Hati-hati Kak," seru Nina sebelum Vicky benar-benar menjauh.