Ciuman Pertama di Ruang Kerja

4769 Kata
"Selamat pagi, Bu." Nash memamerkan senyum begitu berhadapan dengan Daniella di keesokan harinya. Hari pertama ia menjadi asisten Daniella. Pria itu bergegas memasuki lift yang hendak naik. Apakah ia sudah pantas menyebutkan dirinya sebagai asisten Daniella? Pikir Nash. Kemudian begitulah hari-hari berganti minggu. Sekarang Nash menghabiskan hampir setiap waktu bersama Daniella bahkan di luar urusan kantor sekalipun. Namun jangan salah paham, hanya semacam makan siang setelah rapat atau urusan pekerjaan yang harus mereka lakukan di luar kota. "Tiba jam berapa tadi malam, Nash?" Daniella mulai terbiasa dengan panggilan keseharian Nash. Nama Christian terlalu panjang menurutnya dan Nash juga tidak keberatan ketika nama rumahnya dibawa-bawa ke kantor. Toh ia lebih nyaman dipanggil Nash. "Hampir jam dua, Bu." jawab Nash. Dua hari yang lalu mereka melakukan kunjungan ke perusahaan mitra di daerah Bandung dan pulang kemarin sore. Tetapi oleh karena macet dan lamanya waktu yang mereka habiskan di rest area mengakibatkan perjalanan mereka lebih lama. Setelah mengantarkan Daniella ke rumahnya, wanita itu menyuruh Nash untuk menggunakan mobilnya saja biar lebih cepat. "Ini kunci mobilnya, Bu." Nash menyerahkan kunci pada Daniella. "Bisakah kamu hanya memanggil namaku, Nash?" "Apa? Tidak mungkin." "Oh, lupakan saja." Lift terbuka disambut Sea yang sangat bersiap di mejanya. Akhir-akhir inni Sea sangat dekat denga Nash sampai-sampai sapaan pertama malah wanita itu ucapkan pada Nash, diiringi dengan sikap sangat manisnya. Sangat nyaman untuk dipandang laki-laki. "Sejak kapan Nash menjadi yang pertama, See?" Daniella menaikkan alis. "aku masih jadi bosmu dan kmau masih tetap sekretarisku jika kamu tidak lupa? Bukan begitu, Nash?" Sea mengedipkan mata cepat sedangkan Nash berdehem antara lucu dan canggung. Daniella jika bercanda memang tidak terlihat seperti bercanda. Orang-orang akan menganggapnya serius. "Oh, dan jangan lupakan juga soal larangan menjalin hubungan sesama karyawan." Cetus Daniella mengingatkan. Wanita itu pergi bersama dengan ucapannya itu. Aturan nomor sembilan belas dan dua puluh aturan pokok perusahaan baru saja ditekankannya. Aneh memang, Nash merasa ada sesuatu di balik ucapan itu. Selama satu menit yang lama, Sea meredupkan sinar matanya. Ia memang menyukai Nash kalau hatinya bisa jujur, sejak pertama Nash menginjakkan kaki di sana. Tapi ia juga tidak mau kehilangan pekerjaannya. "Masuk dulu, See." ucap Nash pamit pada gadis itu, menyusul Daniella yang sudah menghilang di balik pintu. Sea merupakan sekretaris handal jika menurut pengamatan Nash. Terbukti dengan usia gadis itu yang masih dua puluh tiga namun sudah dipercaya duduk di kursi sekretaris seorang direktur. Belum lagi beberapa waktu yang lalu mereka sempat berbincang terkait hal-hal pribadi. Sea adalah anak pertama dan masih menanggung biaya untuk pendidikan dua adiknya, Gadis itu juga menyelesaikan gelar sarjananya dalan kurun waktu tiga setengah tahun. Kemudian Nash menyusul Danuella ke ruangannya. Banyak pekerjaan yang telah mereka tunda selama perjalanan ke Bandung dan Nash tahu bantuannya sangat berarti bagi bosnya. Bukannya ia meremehkan Daniella, hanya saja selama beberapa  minggu bekerja dengan Daniella, Nash menyadari bahwa terkadang wanita itu ceroboh dan kurang teliti. "Kamu menyukai Sea?" Satu pertanyaan itu menyambut Nash begitu memasuki ruang kerja yang terbagi menjadi ruangannya dan Daniella. entah benar atau tidak, Nash merasa kalau Daniella sengaja menunggunya di dekat pintu hingga saat ia membuka pintu ia langusng berhadapan dan ditodong pertanyaan. "Apa kami akan dipecat jika kami menjalin hubungan?" Nash tidak menyesali pertanyaannya yang menyerang kembali bosnya. Bisa dibilang dia memang bawahan yang kurangajar untuk saat ini. Tapi ia memiliki alasan untuk itu, bosnya baru saja mencampuri urusan pribadinya, urusan hatinya. Daniella melemaskan posturnya agar terlihat santai. "Saya menyimpulkan kamu menyukai sekretaris saya." Daniella tidak berencana memberi jawaban atas pertanyaan serangan dari Nash. Ia mengambil duduk di sofa, memijit  tengkuknya dengan gelisah. Hal itu berhasil menghentikan langkah Nash menuju meja kerjanya. Diamatinya gerak gerik Daniella, wanita itu tampak pucat, kelelahan dan gelisah. Sehingga Nash segera menghampiri Daniella, duduk disampingnya lalu meletakkan punggung tangannya di dahi Daniella. Namun dengan cepat Daniella menyingkirkan tangan itu dari sana. "Maaf." Ucap Nash cepat menyadari kelancangannya. Lalu mereka dia beberapa saat. "Nash ..." "Iya?" Sahut Nash dengan sigap menghadap pada Daniella. "Jika seandainya kita yang memiliki hubungan, apakah saya harus memecat kamu?" Daniella kehilangan kendali lagi dan itu semua karena Nash. Ia seolah memberikan pembenaran pada tuduhan Nash ketika wawancara final. Dari awal berinteraksi dengan pria itu ia sudah kehilangan kendali akan dirinya. Gengsi dan keangkuhan yang ia tanam di dirinya meluruh bagai es di bawah terik matahari. Nash tidak tahu harus menjawab apa. "Itu tidak mungkin." Jawabnya. "Sementara kamu dengan Sea mungkin? Kenapa, Nash?" "Ibu adalah atasan saya." sahut Nash. Lagian Nash adalah pria berlogika yang sadar diri. Dia bukan pria tampan kaya raya yang pantas menggandeng Daniella. Dia bukan makhluk penuh pesona seperti dalam drama-drama Turki. Justru sekarang ia hanya sedang bertahan hidup dengan gaji dari perusahaan yang Daniella pimpin. Dan satu lagi yang paling penting dari semua itu, Daniella tidak mungkin tertarik untuk menjalin hubungan dengannya. "Kenapa kita tidak bisa menjalin hubungan seperti orang-orang?" tanya Daniella lagi. Ia beringsut mendekat pada Nash, meraih tangan pria itu untuk digenggamnnya. "meskipun saya menyukai kamu." pengakuan tulus wanita itu. Nash terdiam, mengikuti tangannya yang ditarik mendekat. Ada perasaan tidak benar saat wanita itu merengkuh lehernya untuk kemudian merasakan sentuhan lembut nan basah di bibirnya. Nash memperhatikan wajah Daniella dengan sepasang mata yang kini terpejam tepat di bawah tatapannya. Sungguh cantik dan kini pasrah pada Nash. Nash tidak pernah berpikir akan berada di posisi ini. Naluri Nash mulai berbisik dan ambil bagian. Nash menerima sentuhan itu lalu membalasnya. Digigitnya ujung bibir Daniella yang terasa manis dan lembut, membawa irama-irama yang bernyanyi di dalam hati mereka, Sementara Daniella semakin jatuh lebih dalam. Andai dunia tak menyisakan kebaikan di hati penghuninya, Nash pasti sudah mencari keuntungan saat ini. Sebagai pria dewasa bisa saja ia menelanjangi Daniella. "Sudah, Bu. Cukup. Kita di kantor." Nash meninggalkan sepasang bibir manis itu walaupun nalurinya masih ingin bersemayam di sana. Rasanya seperti sakaw dan ia candu pada bibir Daniella. Ia menyadari jika resiko sekejap yang ia cobai dan membuatnya menginginkannya lagi. "Tolong panggi Daniella saja, Nash." pinta Daniella, matanya masih terpejam di bawah tatapan Nash. "aku sungguh tidak bisa menghentikannya sejak awal. Aku menyukaimu sejak pertama kamu memasuki ruangan ini." Pengakuan itu melemparkan Nash pada kenyataan. Pria itu menggeleng tak percaya, dan tatapan mencemooh ia hadiahkan pada Daniella saat sepasang mata cantiknya terbuka, membuat wanita itu kaget dan bingung. Daniella bisa melihat hinaan itu di mata Nash, menertawakannya sama persis seperti di hari wawancara. Tatapan yang tidak pernah Daniella lihat lagi setelah hari itu. "Saya rasa saya sudah paham sekarang kenapa saya bekerja di perusahaan ini dengan posisi yang tidak jelas." Ucap Nash masih dengan senyum mengejek. Daniella menggeleng namun nyalinya menciut. Ia tidak sanggup ditatap seolah direndahkan. "Bukan Nash! Bukan begitu!" bantahnya tegas. "Sama seperti teman-temanmu yang lain, kalian memang pantas bekerja di sini. Dan kamu .." Daniella menatap tepat pada kedua manik Nash, berusaha mencari celah apakah pria itu akan mempercayainya. "Aku yakin kamu sadar kamu memiliki kelebihan dari teman-temanmu. IPK-mu, pengalamanmu semasa kuliah dan tempat kamu melakukan magang membuktikan segalanya." Lanjut Daniella karena memang pertimbangan pertamanya adalah itu. Wanita itu sungguh kewalahan menjelaskan dengan sikap Nash yang sudah merendahkannya. Ia berusaha meraih Nash kembali dalam rengkuhannya, mencium pria itu dengan penuh perasaan. Ia sangat menyukai Nash, Daniella merasakannya hingga jantungnya sakit. "Apakah ini yang dilakukan wanita rendahan di matamu, Nash? Mencium bawahannya sembarangan, berharap ditelanjangi dan memintanya menjadi kekasih?" Bisik Daniella dengan getir. Tanpa membalas ciuman Daniella, Nash menjawab. "Maka dengan itu, berarti ibu Daniella yang terhormat sedang memecat saya." Buru-buru Daniella membuka matanya, wajah Nash masih berada di atas tatapannya yang memuja. Ia menggeleng. "Aku menyukaimu dan kita tidak menjalin hubungan." "Setelah anda mencium saya tadi dan kata-kata anda beberapa saat yang lalu?" Nash memancing dengan suara khasnya ketika menjahili Rios dan Jonathan. Ia senang melihat ekspresi di hadapannya, wajah Daniella yang selalu konyol dan membuatnya terlihat bodoh. Nash sadar dengan posisinya sebagai bawahan dan ia tidak akan membuang harga dirinya hanya karena bosnya menyukainya. Ada banyak wanita jaman sekarang seperti itu bukan? Memerankan permainan kepada para pegawainya hanya demi kepuasannya. Nash memikirkan kemungkinan itu meskipun diam-diam ia menahan rasa bersalah karena secara tidak langsung telah menuduh Daniella sebagai wanita jalang. Daniella terlihat berpikir. Di sinilah titik terlemahnya, yaitu ketika ia jatuh cinta dan orang itu malah merendahkannya. Tapi Daniella adalah wanita yang lemah jika menyangkut perasaan. Ia pernah menyesal karena mempertahankan gengsi lalu kehilangan cinta pertamanya. Kejadian kedua tidak berakhir berbeda. Daniella selalu mencintai orang-orang yang tidak sepadan dengannya. Dengan perlahan Daniella melepaskan lingkaran tangannya di leher Nash, meluruskan kedua kaki lalu beranjak menuju meja kerjanya. "Aku tidak pernah dipandang sehina itu Nash selama hidupku." katanya begitu mendudukkan bokongnya di kursi kerjanya. Lalu hari itu berjalan dengan kebisuan. Selama waktu yang tersisa Daniella bekerja tanpa berinteraksi dengan Nash yang sudah ia tugaskan melakukan pekerjaan dengan arahan Sea. Tanpa ingin menduga-duga lagi, ia sudah tahu bahwa ia sudah kalah. Tiga pria kini sedang bersantap ria di tempat makan cepat saji yang berada di lantai bawah gedung perkantoran tempat mereka bekerja. Rios dan Jonathan tidak ada habis-habisnya menggoda keberuntungan Nash. "Rasanya pasti menyenangkan melihat wajah secantik itu setiap hari." ucap Rios dengan mata jenakanya menggoda Nash dan bertingkah seolah sedang membayangkan wajah Daniella. "Ibu bos kita itu udah cantik, masih muda, dan kaya raya. Apa lagi yang kurang?" "Kalau aku jadi Nash kau pasti akan merayunya. Sangat mudah membuat wanita panas dingin dan salah tingkah dalam satu ruangan. Apalagi hanya berdua." Jonathan tak kalah antusiasnya dengan status Nash yang menjadi asisten pribadi Daniella yang menghabiskan enam hari selama seminggu dengan wanita tercantik di lingkungan kantor. Memikirkan Daniella sepanjang waktu bahkan di jam makan siangnya membuat perut Nash bergejolak. Bahkan akhir-akhir ini ia mulai menggunakan seluruh otak kanannya untuk memikirkan kejadian hari itu. Jika Daniella menyukainya maka seharusnya wanita itu melanjutkan apa yang dimulainya. Jika Daniella menyukainya maka tidak seharusnya ia berdiam diri bahkan cenderung menghindarinya. Daniella sekarang berada di ruangannya, atau bahkan walaupun mereka berdua di sana, Daniella malah menyampaikan perintahnya jauh lebih formal dari biasanya. Apakah ia salah mengatakan sesuatu pada saat mereka berciuman tempo hari? Apakah tatapan merendahkannya sangat ketara dan Daniella sungguh-sungguh tersinggung dengan itu? Saat Daniella mengucapkan kata-kata itu, Nash tidak melihat ekspresi wanita itu sehingga ia tidak tahu persis apa yang dirasakan Daniella saat itu. "Hei, Nash!!" Jonathan memukul kepala Nash seraya menyerukan namanya beberapa kali. "Apa yang kau lakukan?" Rios dan Jonathan geleng-geleng melihat wajah frustasi temannya itu. "Kau memikirkan apa? Sejak kapan melamun menjadi pekerjaan sampinganmu saat makan?" tanya Jonathan meletakkan sendok yang sebelumnya ia gunakan untuk memukul jidat Nash. Rios tak beda jauh, ia juga tadi ikut-ikutan menyikut lengannya. Pada kenyataannya Rios adalah korban pengaruh buruk dari Jonathan karena dulu Rios tidak seperti yang sekarang ini. Nash berani bersumpah. “Lagian siapa yang suruh melamun di siang panas-panas begini, hum? Apa jangan-jangan kau sedang memikirkan si bos yang cantik itu?” tidak usah menebak, itu adalah pertanyaan Jonathan. Rios memang sudah banyak berubah, dari yang polos menjadi ceplas ceplos, tapi dia tidak separah Jonathan yang mulutnya ada seribu. Tidak heran, banyak di luaran sana gadis-gadis yang patah hati dibuatnya, dari anak sma hingga yang lebih tua dari dia. “Pas awal kita direkrut itu dia bilang kalau dia bukan bos yang kaku, padahal kenyataannya dia jauh lebih kaku dari yang aku pikirkan.” “Masa?” “Tuh lihat saja,” Nash dari tadi sudah melihat Daniella yang berjalan mengarah ke pintu masuk yang terbuat dari kaca itu. Wanita itu bersama seorang pria yang sepertinya seumuran dengannya. Rios dan Jonathan melihat ke arah yang ditunjuk Nash dan mereka mengulas senyum hormat pada bos mereka itu saat tatapan mereka bertemu. Daniella membalas dengan mengangguk, ia mengambil posisi duduk di hadapan pria yang bersamanya. “Ah, ternyata dia sudah ada yang punya,” Jonathan membuang napas. Apa-apaan itu? Jangan bilang kalau ia benar-benar bermaksud mau merayu Daniella seperti yang ia bilang tadi, pikir Nash. “Apaan sama pacar sendiri sekaku itu?” dengus Nash. Di sana Daniella mengulas banyak senyum memang sambil berbicara namun Nash tidak melihat adanya tanda-tanda kalau dua manusia itu tengah menjalin hubungan. Ok, walaupun Nash dapat melihat mata pria itu yang menginginkan Daniella. Itu tatapan memuja jika saja Daniella menyadarinya. “Tinggal lihat seberapa jauh pria itu akan berusaha agar bos kita peka,” Jonathan menimpali. Nash tahu dia juga melihat ketertarikan pria itu pada Daniella. Sesama pria pasti tahu. Jika ada yang bertanya kapan terakhir kali Nash berbicara langsung dengan Daniella, maka jawabannya adalah dua hari yang lalu. Dua manusia yang bekerja dalam satu ruangan—berdua—dengan status bos dan asisten pribadi tapi bisa tidak berbicara dalam dua hari, itu adalah pertanyaan besar. Jika terus seperti ini apa yang akan terjadi ke depannya. Rasanya seperti ada permusuhan saja di ruangan itu. Bahkan saat tadi pagi Sea datang untuk mengantarkan pekerjaan Nash, gadis itu mulai menatap mereka curiga. Belum lagi pria yang waktu itu makan bersama Daniella seharian kemarin berada di sana. Nash seperti nyamuk yang bersembunyi di sudut tidak dihiraukan. Nash mana betah bekerja seperti itu … “Ada masalah di antara kita?” Nash menghampiri meja Daniella. Aksi Nash yang melemparkan satu berkas analisa di meja membuat Daniella terkejut. Kacamatanya melorot ke pucuk hidung. “sebagai pemimpin yang menaungi satu perusahaan, saya rasa tidak sepantasnya ibu menyangkut pautkan perasaan pribadi dengan pekerjaan.” Ujar Nash masam. Kedua telapak tangan Nash bertumpu di atas meja, membungkuk tepat di atas kepala Daniella. “Kamu mau mengajukan surat pengunduran diri?” “Apa?” Nash melotot. “aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar,” Nash mendengus, dari kata-katanya ia mulai mengabaikan rasa hormatnya pada Daniella. “aku baru tahu ada perusahaan yang bisa maju di bawah pimpinan bos sepertimu.” Lanjutnya tersulut akan amarah. Dengan begitu tenangnya ia dipecat dengan cara seperti itu? Demi Tuhan … Tanpa memikirkan akibat dari ucapannya, kini Nash menyaksikan wanita itu terdiam. Di bawah mejanya Daniella  meremas tangannya sendiri di bawah kukunya. Emosinya bergejolak direndahkan seperti itu, tapi ia harus bertahan. Setelah adegan ciuman itu yang membuatnya merasa rendah, ia mati-matian mempertahankan harga dirinya dengan menjauh. Daniella menyadari betapa ia sungguh bodoh karena terlalu takut apa yang ia inginkan diambil orang. Ia bodoh karna berharap pria yang menilainya rendah saat ini akan mau saja menerima perasaannya karena ia menawarkan posisi dan upah yang besar. Bukan, sebenarnya itu hanya tujuan lain, karena sebenarnya Nash memang memiliki kemampuan lebih dalam menaganalisa. Daniella sudah siap untuk meledak. Kepalanya terangkat menantang Nash dan tiba-tiba saja kekuatan itu muncul. Telapak tangan Daniella membanting meja dengan keras. “Kamu pikir kamu siapa merendahkan saya? Apa karena saya menyukai kamu lalu kamu dengan seenaknya bersikap seperti ini?” “Siapa yang merendahkanmu? Aku hanya meminta atasanku supaya bersikap professional!” Bantah Nash. “Saya tidak bisa bersikap profesional jika sudah menyangkut perasaan saya,” biarkan saja dia menjadi atasan yang benar-benar menyalahi kekuasaan, itu yang dipikirkan Daniella. Ia menarik napasnya, memberikan tatapan seorang yang berkuasa pada Nash. Demi Tuhan … kenapa ia harus jatuh cinta pada pria ini? Hal itu membuatnya sangat lemah. Kata demi kata ia kuatkan untuk bisa terucap. “saya kasih dua pilihan, kamu mendapatkan posisi yang dulu kamu harapkan atau kamu mengundurkan diri.” Keputusan Daniella telak. “Pak Anggara baru saja sampai dan, oh my God!!!” Pekikan dari pintu yang terbuka berdampak pada dua anak manusia yang tengah kehilangan kendali diri di sana. Daniella menarik diri dari rengkuhan Nash hingga dua bibir yang saling menyingkapkan ego itu terpisah meski masih mendamba. Nash bukan pria pengecut, ia segera meraih bibir Daniella, mengusap bekas di sana dengan ibu jarinya. “Saya memilih pindah ke manajerial.” Nash berjalan mundur setelah mengucapkan pilihannya. Ketika menuju kursi di bagian lain ruangan besar itu, Nash menundukkan kepala kepada Sea tanda meminta maaf. “maaf sudah membuatmu melihat perbuatan tak pantas ini Sea.” Nash berucap. Sea mengangguk mengerti. Jawaban dari pertanyaannya selama ini baru saja ia temukan. Permusuhan yang menjadi teka-teki baginya dalam ruangan itu rupanya masalah satu ini. Entah Sea harus menyimpulkannya menjadi apa. “Pak Anggara baru saja sampai dan meminta ibu menemuinya di rumah makan di bawah. Ia berharap ibu tidak menolak untuk menemaninya makan siang.” Sea mengatakan tujuan awalnya ke ruangan itu. Daniella mengangguk. “Meeting-nya juga dilakukan di sana sekaligus?” Sea mengangguk. “baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.” Sea mengangguk lagi, melangkahkan kaki menuju pintu. “Dan itu See, soal yang kamu lihat tadi,” Daniella menggantung ucapannya. Ujung matanya melirik ke meja Nash. Rupanya pria itu sudah tak peduli lagi dengan pembicaraannya dengan Sea, ia tampak sibuk dengan laporan-laporan di mejanya. “tolong..” Daniella memohon. “Saya akan tutup mulut, Bu.” Daniella mengangguk, mengucapkan terimakasih pada Sea. Di mata Nash mungkin ia sudah menjadi pemimpin yang tidak profesional tapi ia belum siap jika itu semua berlaku di mata ratusan karyawannya. Setidaknya sampai ia dan Nash benar-benar memiliki status dan ia siap mempublikasikannya setidaknya di lingkungan kantor. Lagipula, sebentar lagi Nash akan turun jabatan. Mengenai ciuman yang baru beberapa menit berlalu, Daniella juga belum tahu apa maksud dari itu semua. Kali ini Nash yang menciumnya kan? Daniella meyakinkan dirinya. Nash yang meraihnya. Nash yang memulai dan Daniella yang mengakhiri. Tidak ada sifat murahan dari sikapnya kan? Atau apakah karena ia menerima ciuman itu dengan senang hati maka ia akan dicap gampangan? “Nash?” “Iya?” “Kita akan meeting dengan Anggara, sudah kau siapkan laporannya?” “Aku ikut?” Nash bertanya karena setelah insiden ciuman dan berakhir diam-diaman itu Daniella tak pernah lagi mengajaknya untuk meeting atau urusan di luar kantor. Laporan-laporan ia kerjakan dan selalu diminta—diserahkan dengan perantara Sea. Sementara Daniella merasa lebih mudah saat Nash menyebutnya dengan ‘aku’ tidak lagi ‘saya’ yang menurutnya menjadi sangat membatasi mereka. “Posisimu belum ditetapkan sampai akhir minggu ini, jadi tugasmu masih menjadi asistenku.” Jawabnya, menghampiri Nash yang sedang bersiap-siap. “Nash?” “Iya?” Saat ini mereka sedang berada di dalam lift menuju lantai satu dimana foodcourt dan tempat-tempat bersantai berada. Kalau tidak salah, Anggara menunggu mereka di kedai kopi yang berlogo hijau yang diminati orang-orang berkantong tebal jaman sekarang. Daniella menyandarkan punggung di dinding lift. “Ada apa?” Nash tak sabar menunggu pertanyaan yang sepertinya sangat sulit diucapkan wanita di sampingnya. “Tadi itu,” “Lupakan.” Ugh. Daniella menelan ludahnya. Ia pikir semuanya sudah lebih baik tapi perkiraannya salah. Tidak, ia tidak akan marah. Mereka sudah sama sekarang. Jika pertama kali ia dianggap murahan maka sekarang Nash pantas disebut b******k. Satu sama. Dan jika Nash meminta untuk melupakannya tadi, Daniella akan bersikap melupakan masalah itu. Daniella akan mencari asisten baru dan Nash akan jauh dari pandangannya. Ia akan menyelamatkan hati dan dirinya dari permainan pria sejenis Nash. Ketika lift terbuka, Daniella menenteng tas dan meminta berkas dari Nash. “Kurasa peranmu cukup sampai di sini saja. Meeting-nya hanya urusan tanda tangan.” Kata Daniella berjalan memasuki kedai kopi di depannya. Nash yang mendapat perintah bukannya menurut tapi ia mengekor di belakang Daniella. “Angga!” pekik Daniella langsung menghadiahi pria di sana dengan pelukan. “haruskah bisnis yang mempertemukan kita? Tega sekali kau, Ga?” Daniella merajuk. Ok, di sini Nash melihat sisi lain dari Daniella. Sifat yang pantas dimiliki wanita dua puluh enam tahun. Dan Angga adalah pria yang dipilihnya untuk bermanja ria. Angga menghela Daniella pada kursi di sebelahnya, melirik Nash yang berdiri di seberang meja. “Siapa, Ell?” tanya Angga. Daniella juga baru menyadari kalau Nash tidak mengindahkan perintahnya. “Oh, bagian penanggung jawab divisi manajerial, Ga.” Jawabnya. Angga mengangguk paham dan meminta Nash untuk duduk di sana. Daniella masih menikmati waktu bersuanya dengan Angga. Nash mendengus. Maksud hati ingin mengumpat namun batuk pura-puralah yang pantas ia keluarkan sekarang. “kita harus meeting bukan?” katanya. Daniella melirik Nash sebal. Siapa yang menyuruh pria ini ikut sih? Untung saja Angga bisa menjadi penengah yang adem ayem tak tahu masalah. Selama hampir setengah jam yang berlangsung, akhirnya rapat selesai dan terimakasih Nash ucapkan pada dewi keberuntungan karna Angga dengan sangat terpaksa harus pulang oleh sesuatu hal. Nash tak peduli hal apa itu, yang penting pria itu pulang, itu saja. Lalu apa yang terjadi dengan dua manusia yang ditinggal itu? Nash mulai semakin kesal. Setelah Angga pergi, Daniella memesankan kopi untuk dirinya sendiri lengkap dengan beberapa potong cake yang didapatnya dari cakeshop di sebelah kedai kopi itu. Maka sekarang Daniella sedang menikmati makanan manisnya. “Siapa klien yang tadi?” tanya Nash. “Anggara.” “Aku tahu. Maksudku, dia siapamu?” Nash lagi yang bertanya. “Klienku.” “Hubungan kalian selain klien, itu yang kutanya.” Nash mulai kesal. “Oh. Sahabat masa kuliah. Orang yang mungkin jadi suami masa depan.” “Siapa yang tahu dia akan jadi suamimu?” puncak kekesalan Nash sudah di ubun-ubun. “kita baru saja tadi berciuman dan besok bisa saja kamu menikah dengan orang lain.” “Ah, aku sudah lupa kalau kita, hmm .. maksudku kamu menciumku tadi,” Daniella tidak peduli dengan Nash, jawaban ia lontarkan sekenanya. Dari pada sakit hati, lebih baik ia menikmati makanan super manis itu untuk memperbaiki moodnya. Jika tidak, ia bisa cepat-cepat tua kalau terlalu peduli dengan semua ucapan pria itu. Soal perasaannya, itu urusan nanti saja. Ia akan memikirkannya setelah makanannya habis dan Nash tak ada lagi dalam jarak pandangnya. “Itu baru tadi pagi, Ell,” kata Nash. “Wah, sekarang kamu memanggilku ‘Ell’?” Daniella berdecak, “setelah aku berhenti meminta kamu malah memanggil namaku. Setelah kamu memintaku melupakan ciuman sialan itu, sekarang kamu mengingatkannya. Mau kamu apa sih?” “Daniella ..” “Stop!” Daniella melirik jamnya, “waktu makan siang sudah habis. Waktunya kembali bekerja.” Wanita itu menyedot kopinya setelah memasukkan satu potongan besar cake yang tersisa. Daniella tidak suka menyisakan makanan. Ia buru-buru meninggalkan meja, melangkah cepat menghampiri lift khusus di seberang salah satu lift karyawan. Udara mencekam di antara mereka. “Aku cuma tidak bisa melakukannya,” Nash memojokkan Daniella di dinding lift. Tanpa aba-aba ia mengecup sudut bibir Daniella. “rasanya manis, pantas saja kau menyukainya.” Katanya seraya menjilat bibirnya yang ditempeli cream. “Apa yang baru saja kau lakukan?” Daniella mengamuk. “Sebenarnya aku sudah merasa gatal ingin melakukannya tadi, tapi aku harus menunggu karena hal seperti ini tidak boleh dilihat orang karena aku tidak mau dipecat.” Nash terkekeh. “kamu makannya belepotan. Cream menempel di mana-mana.” “Aku bisa membersihkannya, kamu hanya perlu memberitahu.” “Tapi aku ingin melakukannya seperti tadi.” Nash berkata santai, tidak ada rasa menyesal melainkan rasa puas. “Apa sekarang aku benar-benar terlihat sebagai atasan yang murahan di matamu, Nash?” “Maksud kamu apa?” “Haha, dulu kamu mengataiku bodoh, tidak profesional, lalu sekarang pasti ditambah kata murahan. Aku menciummu, mengatakan suka padamu, lalu hari ini kau menciumku sebanyak dua kali dan aku hanya diam. Mana ada wanita sekelasku yang mau diperlakukan seperti itu,” Daniella tersenyum miris. Kedua bola matanya berair. Ah, gadis itu memang sangat lemah jika sudah jatuh cinta. Nash tidak serius dengan ucapannya waktu itu. Ia masih ingat kan kalau ia merasa bersalah karna ia mengatai Daniella terlalu kasar. Semoga saja tindakan yang dilakukan Nash selanjutnya adalah hal baik. Ia merengkuh Daniella ke dalam pelukannya, mengangkat dagu wanita itu untuk mendaratkan kembali bibirnya. “Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Maaf jika aku terlalu percaya diri mengatakannya, tapi jika kamu mau, kamu bisa berusaha membuatku menyukaimu juga.” Kata Nash. Mereka berhadapan dan saling menatap. “karna sekarang aku juga mulai betah dengan perasaan ini. Tapi, cobalah untuk tetap bersikap profesional, Daniella.” “Aku tidak bisa.” Daniella menggeleng. “Pasti bisa. Kan aku sudah ganti posisi, jadi kita lakukan semuanya di luar kantor. Bagaimana?” penawaran yang Nash harapkan akan diterima Daniella meskipun tidak menutup kemungkinan pada akhirnya akan ketahuan. Bukankah sejauh apapun bangkai itu disembunyikan pada akhirnya akan tercium juga? Tinggal waktu yang menjawab dan Nash masih terlalu takut untuk membayangkan resikonya. “Baiklah,” Daniella memeluk Nash sekali lagi dan pintu lift terbuka. Setelah menghebohkan satu divisi beberapa jam sejak pagi tadi, akhirnya Nash bisa tenang menggarap pekerjaannya. Lega rasanya, akhirnya kasak kusuk soal kelakuannya yang diduga tidak baik maka ia dipindahkan ke bagiannya sekarang. Gosip itu pun berhenti saat Daniella datang menjelaskan kalau Nash memang pada awalnya ada di posisi itu namun karna ia membutuhkan tenaga analisis untuk beberapa kasus maka ia meminta Nash melakukannya untuknya. Ini adalah posisi yang paling tepat untuknya. Divisinya bergerak di perencenaan dan analisis, sedangkan Rios dan Jonathan dibagian marketing. Tapi mereka berada di lantai yang sama sehingga kedua temannya itu kini bisa menghabiskan waktu lagi dengannya di saat-saat tak ada pekerjaan. “Wah, Nash sudah diturunkan dari tahtahnya,” Jonathan menyeringai yang dibalas pukulan ringan oleh Nash. “Tenang, Nash, di sini juga banyak kok wanita cantiknya. Tuh Nata salah satunya,” ia berkedip pada salah satu pemegang divisi, kalau tidak salah ia juga satu divisi dengan Jonathan tapi beda media. Natalie menanggapi dengan mengulas senyum, sepertinya Nata itu bukan sekali ini saja digoda Jonathan. Nash dapat melihatnya dari semburat malu-malu dari Nata dan itu adalah bagian paling menarik bagi Jonathan, menaklukkan wanita-wanita yang dirasanya menarik. “Jangan tergoda sama buaya ini, Nat,” ucap Nash yang dihadiahi tonjokan ringan dari Jonathan. “Itu, lebih baik sama Rios saja. Dijamin tidak akan diselingkuhin.” Lanjut Nash. Rios yang mendengar namanya dibawa-bawa menyambar lengan Nash. Nash sebenarnya tahu kalau Rios masih setia menunggu sampai adik perempuannya selesai kuliah. Ok, biarkan saja Nash jadi kakak paling jahat. Tapi ia benar-benar ingin adiknya itu fokus ke study-nya dulu sekaligus melihat seberapa besar usaha Rios pada adiknya. “Bagaimana dengan bos cantik kita?” Jonathan paling bisa mencari topik baru. Sayangnya hal itu berhasil memecahkan misteri di otaknya ketika melihat reaksi Nash. “Urusannya kan udah selesai. Yah, bos kita tetap cantik,” Nash menjawab sekenanya. Lagian tadi pagi juga baru muncul kan perkara menjelaskan kesalahpahaman dimutasinya dia. Nash menghela pergelangannya, menghentak-hentakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Jam delapan ia baru menyelesaikan pekerjaannya. Kedua sobatnya entah pergi kemana, padahal ia hanya tertinggal beberapa menit dan sekarang motor mereka masih terparkir manis di samping motornya. “Nash,” Nash menghentikan langkah. Tangannya meraba tengkuk saat suara-suara sepelan bisikan mengalun di pendengarannya. Kepalanya ia buat gerakan memutar, melihat ke kiri, kanan, depan dan belakang. “Nash,” lagi bisikan itu masih terdengar. “iiihh, Nash di sini!” kali ini lebih jelas karna Daniella yang menjadi dalang dari suara itu memekik dengan kesal. Nash menolehkan kepala. Di sana ada mobil Daniella yang terparkir khusus. “Ada apa?” Daniella mengerang mendengar nada tak peduli itu. Kemarin-kemarin sudah pelukan, sekarang kembali ke sifat aslinya. “Mau bilang kangen,” Daniella menggigit sudut bibirnya. Terlebih ketika melihat Nash membuka mata melebar. Ada apa? Itu adalah sifat aslinya. Daniella kesal, orang-orang terpaksa harus mengenalnya sebagai gadis cerdas, angkuh, dan semua antek-antek sifat keturunan orang kaya. Mereka tidak tahu saja bagaimana Daniella yang sebenarnya. “Tidak apa-apa,” Nash mengusap rambut Daniella. Sebelumnya ia melihat ke sekeliling, takut-takut jika orang kantor masih ada di sana. Beberapa kendaraan karyawan masih ada di sana itu menandakan kantor belum kosong sepenuhnya. Pria itu merangkul Daniella, membimbing wanita itu masuk ke mobil. “Ini sudah terlalu malam untuk kencan.” Katanya. Daniella yang tidak menyangka kalau Nash memikirkan hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang pacaran itu pun tersipu. “bisa kita lakukan kapan-kapan. Sekarang waktunya pulang, ok?” Daniella mengangguk patuh. Dengan begitu manisnya Nash memasang sabuk pengaman Daniella lalu kembali mengusap rambut sebahu wanita itu. “Hati-hati,” ia mengecup kening wanitanya, bertahan di sana beberapa detik kemudian turun ke bibir yang membuatnya candu sejak pertama kali. Daniella tersenyum menyambut Nash dalam lumatan singkat itu. Nash menegakkan tubuh, memberikan senyum termanisnya pada Daniella lalu menutup pintu mobil. Hingga mereka sadar jika ternyata ada orang di sana dan kini terdiam menyaksikan mereka. Dua pasang mata itu memaku satu manusia di depan sana. Terlalu cepat bagi mereka yang baru saja memulai. Daniella menatap Nash yang masih membeku di samping pintu mobilnya. Satu orang lagi muncul di belakang orang itu, Daniella merasakan kakinya melemas, otaknya sibuk berpikir. “Aku tak harus menjelaskan apa-apa, semuanya persis seperti yang kamu lihat, Jo,” Nash melirik Rios di belakang. Pria itu tidak tahu apa-apa tapi secepatnya akan tahu. Mungkin malam ini juga Nash akan menceritakan faktanya pada dua sahabatnya itu. Daniella menurunkan kaca mobil. “Bagaimana ini?” tanyanya khawatir. “Pulanglah.” Meskipun khawatir dengan Nash, Daniella mengulas senyum pada Jonathan dan Rios, melajukan mobilnya meninggalkan parkiran. Daniella tidak bisa ikut campur karena mereka adalah teman-teman Nash. Ketika kejadian yang lebih besar terjadi, di situ ia bisa ikut campur. Kejadian yang belum berani ia bayangkan. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN