BAB DELAPAN

2741 Kata
Ivy merasakan kepalanya sedikit pusing, tapi rasa sakit pada luka di pinggang sudah tak dirasakannya lagi. Dia pun membuka mata dengan perlahan. Berpikir yang akan dia lihat pertama kali adalah suasana pagi yang cerah, Ivy terkesiap saat menemukan wajah seseorang yang sedang tertidur di sampingnya. Apalagi tangan orang itu sedang melingkari bahunya dan Ivy baru sadar dia tidur dengan menjadikan lengan orang itu sebagai bantalan. Yang lebih membuat Ivy syok adalah orang itu ternyata seorang pria.  Spontan Ivy berteriak sembari menendang tubuh pria itu dengan mengerahkan tenaga dalam yang dia kuasai karena pernah diajarkan padanya di padepokan, akibat tendangan itu tubuh si pria yang tidak lain merupakan Clyde, terpental sampai membentur dinding gubuk yang nyaris rubuh itu. Beruntung gubuk malang tersebut tak sampai rubuh meski terkena hantaman keras tubuh Clyde yang terpental dan menabrak dinding.  “Adudududududuh, sakit.” Clyde meringis kesakitan sembari mengusap-usap punggungnya yang menabrak dinding. Dia lalu menatap sosok orang yang dengan begitu tega menendangnya dengan menggunakan tenaga monster. “Kau ini sebenarnya wanita atau pria? Eh, salah, maksudnya kau ini manusia atau monster, kenapa tenagamu kuat sekali?”  Namun Ivy tak menanggapi pertanyaan Clyde karena yang menjadi fokusnya sekarang adalah penampilannya yang hanya mengenakan kemeja kebesaran yang terlihat mahal karena terbuat dari kain berkualitas terbaik, mungkin itu kain sutra karena terasa lembut di tangannya saat dia sentuh. Namun, sekilas pun terlihat kemeja itu milik seorang pria. Dia tak mengenakan celana lagi sehingga bawah kemeja itu hanya menutupi sebagian pahanya.  Ivy mendelik tajam pada Clyde begitu menyadari pasti pria itu pelakunya. Melakukan sesuatu pada tubuhnya di saat dia tak sadarkan diri.  Menyadari tatapan Ivy menguarkan aura membunuh yang mengerikan, Clyde bergegas berdiri dari posisi meringkuknya, memaksakan diri untuk bangun meski punggungnya sakit bukan main. Clyde mengangkat kedua tangan, isyarat meminta ampun saat melihat Ivy pun bangkit berdiri dan memasang kuda-kuda seolah ingin menyerangnya seperti yang dilakukan gadis itu semalam saat menyerang ketiga perompak dengan tangan kosong.  “Eh, eh, eh, tunggu. Jangan salah paham. Jangan menyerangku sembarangan. Aku tidak melakukan apa pun padamu. Sungguh.”  Ivy mendecih, tentu saja dia tak bisa mempercayai ucapan pria itu begitu saja. “Mana mungkin kau tidak melakukan apa pun? Buktinya aku mengenakan pakaianmu sekarang dan lagi kita tidur sambil berpelukan. Aku yakin kau pasti melakukan sesuatu pada tubuhku di saat aku tak sadarkan diri, kan?”  Clyde menggeleng-gelengkan kepala, tak terima dengan tuduhan yang dilontarkan Ivy padanya. “Itu tidak benar. Kau salah paham.” “Jadi kau mau mengelak bukan kau yang memakaikan kemeja ini di tubuhku? Kau juga mau membantah kalau kemeja ini bukan milikmu?”  Clyde meneguk saliva, merasa keadaannya terjepit sekarang karena semua yang ditanyakan Ivy barusan memang mengarah padanya.  “Kita tidur sambil berpelukan merupakan bukti kau melakukan sesuatu padaku semalam. Kurang ajar. Dasar b******n. Berani sekali kau memanfaatkan seorang gadis yang sedang tidak berdaya. Kau sengaja memanfaatkan situasiku yang sedang tak sadarkan diri untuk menjamah tubuhku, kan? Aku tidak akan memaafkanmu, kau harus merasakan pembalasanku.”  Ivy berlari ke arah Clyde, mengabaikan tubuhnya yang masih lemah karena dia tak bisa memaafkan Clyde yang menurutnya sudah melecehkan dirinya selagi tak sadarkan diri semalam. Clyde tentu tak tinggal diam, dia berlari keluar gubuk sembari berteriak meminta tolong. Ivy berdecak jengkel karena kecepatan lari dan gerak antisipasi pria itu begitu cepat sehingga belum sempat memberikan pukulan, pria itu sudah lari terbirit-b***t.  Ivy berniat mengejar Clyde keluar dari gubuk, tetapi …  “Hei, hei, hei, kau yakin akau keluar dari gubuk itu dan mengejarku keluar?” tanya Clyde yang kini berdiri cukup jauh dari posisi Ivy yang sedang berdiri di depan pintu gubuk.  “Tentu saja, kau pikir aku akan membebaskanmu begitu saja setelah apa yang kau lakukan padaku semalam?” “Maksudku, lihat kondisimu. Penampilanmu. Memangnya kau tidak malu keluar dari gubuk dengan setengah telanjang seperti itu?”  Mendengar ucapan Clyde, Ivy seketika melangkah mundur, tak jadi keluar dari gubuk karena menyadari ucapan pria itu memang benar. Dia memang hanya mengenakan kemeja yang bagian bawahnya hanya menutupi setengah pahanya. Tentu saja penampilannya sangat memalukan untuk dilihat orang lain.  Di tempatnya berdiri, Clyde mengusap-usap d**a, lega bukan main karena dia berhasil selamat dari kejaran Ivy. Tapi bukan berarti gadis itu akan berhenti mengejarnya, bisa saja dia mengenakan celana yang tergeletak di lantai dan kembali mengejar dirinya. Menyadari kondisinya sangat berbahaya jika membiarkan Ivy terus salah paham, Clyde memutuskan untuk berjalan mendekati pintu gubuk. Dia berniat menjelaskan segalanya pada Ivy, kejadian yang sebenarnya sehingga kondisi mereka bisa tidur dalam posisi berpelukan. Juga alasan dia terpaksa memakaikan kemeja itu di tubuh Ivy.  Dalam posisi berdiri di dekat pintu gubuk, Clyde berkata, “Aku akan menjelaskan semuanya padamu. Dengarkan aku karena yang aku katakan ini kebenaran.”  Suara Ivy tak terdengar menyahut, Clyde memanfaatkan itu untuk melanjutkan penjelasannya. “Jadi semalam itu kau demam tinggi. Pakaianmu basah kuyup karena tubuhmu banjir keringat. Aku kasihan melihatmu menggigil kedinginan makanya aku terpaksa mengganti pakaianmu dengan kemeja itu. Benar itu memang kemejaku.”  “Jadi kamu memang melepaskan pakaianku?” Suara Ivy yang luar biasa ketus, mengalun dari dalam gubuk. Clyde berdeham karena mau tak mau dia harus mengakui perbuatannya semalam yang lancang melepaskan pakaian Ivy. “Iya, aku memang melepaskan pakaianmu karena aku terpaksa.” “Kurang ajar. Kau memang b******n,” umpat Ivy, tak peduli meski kata-katanya begitu kasar. “Hei, sudah kukatakan itu tindakan terpaksa karena aku kasihan padamu. Kalau kau tidak percaya semalam kau berkeringat sampai membuat pakaianmu basah kuyup, kau periksa saja sendiri itu pakaianmu tergeletak di lantai. Aku yakin sampai sekarang masih basah.”  Suasana di dalam gubuk hening karena suara Ivy tak terdengar lagi. Clyde mengembuskan napas pelan, berpikir ini kesempatannya untuk kembali menjelaskan kejadian semalam yang menimpa mereka berdua.  “Lalu alasan aku tidur sambil memelukmu karena kau menggigil kedinginan. Kau juga mengigau terus mengatakan ‘dingin, dingin’, aku kan jadi tidak tega mendengarnya. Karena di gubuk ini tidak ada selimut, tidak ada penghangat ruangan maupun perapian makanya aku terpaksa memelukmu. Tolong digarisbawahi ya, aku terpaksa memelukmu agar kau tidak kedinginan.”  Clyde heran karena suara Ivy tak terdengar lagi. Penasaran ingin melihat apa yang sedang dilakukan gadis galak dan kasar itu, Clyde pun mengintip. Dia menemukan Ivy sedang duduk bersila dengan celana miliknya yang basah semalam sudah membungkus sempurna tubuh bagian bawahnya. Sedangkan bagian atas tetap mengenakan kemeja milik Clyde.  Clyde berdeham untuk menarik atensi Ivy yang sedang menundukan kepala. Rupanya usahanya menarik perhatian Ivy berhasil karena gadis itu kini sedang melayangkan tatapan tajam padanya.  “Aku berani bersumpah tidak menyentuh apa pun di tubuhmu. Yang aku lakukan murni karena ingin menolongmu.” “Kau pikir aku percaya?” balas Ivy. “Kau periksa saja sendiri tubuhmu. Kalau aku melakukan sesuatu padamu, kau pasti akan merasakannya, kan? Kau ini masih perawan, kan?”  Mendapati Ivy memelototinya, Clyde membekap mulut, baru sadar tak seharusnya dia bertanya seperti itu. “Eh, maafkan aku. Maksudnya kau sendiri pasti bisa merasakan keanehan di tubuhmu jika aku memang melakukan sesuatu padamu semalam.”  Clyde berharap Ivy mempercayainya kali ini. Melihat gadis itu hanya terdiam tanpa berniat menyerangnya lagi, Clyde sempat berpikir Ivy memang mempercayainya. Namun, dia menyadari ada sesuatu yang aneh dari sikap Ivy begitu menyadari sejak tadi gadis itu memegangi perutnya.  “Kau kenapa? Lukamu sakit lagi?” tanya Clyde, penasaran sekaligus khawatir.  Lagi, Ivy tak menanggapi apa pun. Clyde yang terlalu penasaran dengan kondisi gadis itu akhirnya memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam gubuk. Dia lalu berjalan dengan penuh antisipasi mendekati Ivy yang masih setia duduk bersila di lantai. Dalam jarak sedekat itu barulah dia memahami apa yang terjadi pada Ivy. Itu karena suara aneh yang dia yakini berasal dari perut Ivy baru saja tertangkap indera pendengaran Clyde.  Clyde mengulum senyum, “Kau lapar ya?” tanyanya.  Walau Ivy tak menjawab, Clyde tahu gadis itu memang kelaparan. Lagi pula Ivy memang sejak semalam, bahkan sebelum terlibat perkelahian dengan ketiga perompak sudah merasakan perutnya begitu lapar karena belum memakan apa pun dikarenakan terlalu bersemangat menjalankan misinya untuk mencuri stempel milik Menteri Perpajakan.  Ngomong-ngomong soal stempel, Ivy tersentak saat baru menyadarinya. Ivy pun bergegas memeriksa pakaian atasannya yang tergeletak di lantai.  Sedangkan Clyde di tempatnya berdiri menatap bingung pada Ivy yang terlihat jelas sedang mencari sesuatu pada pakaiannya yang dia lepaskan semalam.  “Kau mencari apa?” tanya Clyde. “Stempel. Kau lihat stempel di pakaianku tidak?”  Clyde menggelengkan kepala karena tak mengingat menemukan stempel apa pun saat melepaskan pakaian Ivy.  Ivy memeriksa semua saku yang ada di pakaiannya, seketika dia mengembuskan napas lega begitu menemukan stempel itu ternyata masih ada di salah satu saku pakaiannya.  Clyde bisa melihat dengan jelas sebuah stempel yang baru saja dikeluarkan Ivy dari saku pakaiannya. Pria itu tidak bodoh, dia tahu persis stempel apa itu. Sekarang dia heran karena gadis seperti Ivy bisa memiliki stempel berharga seperti itu.  “Itu benda apa?” tanya Clyde, pura-pura tak tahu. Alih-alih memberikan jawaban, Ivy justru bergegas memasukan stempel ke dalam saku celananya, “Bukan apa-apa,” jawabnya sinis.  Clyde mendengus, mulai jengkel dengan sikap Ivy yang menyebalkan dan terlalu sombong menurutnya. Tapi mengingat gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya dari ketiga perompak, kekesalan Clyde seketika lenyap digantikan oleh rasa iba saat dia mengingat gadis itu sedang kelaparan.  Mengabaikan kecurigaannya karena Ivy memiliki stempel yang berharga, Clyde memilih mengambil tas kainnya yang tergeletak di lantai. Dia lalu mencari makanan dan mengambil dua buah roti.  “Tangkap ini,” katanya sembari melemparkan salah satu roti pada Ivy. Beruntung Ivy berhasil menangkapnya tepat waktu dan sempurna.  Clyde mengulum senyum saat melihat Ivy membuka bungkus roti itu dengan tergesa-gesa dan memakannya dengan rakus seolah gadis itu sudah berhari-hari tak makan.  Selama Ivy sedang mengunyah makanan, tanpa sengaja tatapan Clyde tertuju pada bibir Ivy. Detik itu juga dia menegang karena melihat bibir gadis itu dia jadi teringat pada kejadian semalam saat dia memasukan obat dari mulut ke mulut, yang mana bagi Clyde kejadian itu sama saja dengan dia melakukan ciuman pertamanya dengan Ivy.  Menyadari tatapan Clyde tertuju pada bibirnya, Ivy pun mengusap bibirnya yang sedang bergerak-gerak karena di dalam mulut dia sedang mengunyah roti. “Kenapa kau menatap bibirku terus?” tanyanya sembari memicingkan mata, penuh curiga.  Clyde berdeham, “Ah, tidak. Siapa memangnya yang melihat bibirmu? Aku hanya terkejut kau makan seperti orang yang sudah berhari-hari tidak diberi makan.”  Tentu saja Clyde tidak mungkin mengakui bahwa sejak tadi dia memang terus menatap bibir Ivy karena teringat pada ciuman pertamanya yang dia lakukan bersama gadis itu. Yang sialnya hanya dia yang tahu karena Ivy sedang tak sadarkan diri.  “Roti ini enak. Kau membelinya dimana? Aku baru sekarang memakan roti seenak ini.”  Clyde nyaris menjawab tentu saja rakyat biasa seperti Ivy tak mungkin bisa menemukan roti itu karena roti tersebut sengaja dibuat koki istana untuk sarapan keluarga kerajaan. Clyde berdeham untuk mencairkan suasana sedangkan otaknya kini sedang berpikir bagaimana menjawab pertanyaan Ivy ini agar tak mengundang kecurigaan. Clyde beruntung karena Ivy sepertinya tak mengenali dirinya merupakan putra mahkota Kerajaan Wendell. Sebenarnya itu hal yang wajar karena pada dasarnya Clyde memang tak diizinkan sembarangan keluar istana sehingga hanya segelintir orang yang pernah bertemu dengannya. Mungkin hanya para pejabat yang sering keluar masuk istana yang mengenali dirinya.  “Aku juga tidak tahu membelinya dimana karena roti itu pemberian orang,” jawab Clyde, akhirnya menemukan jawaban yang tepat untuk berbohong.  Ivy mendengus, tanpa mengatakan apa pun lagi, dia menghabiskan roti miliknya dengan cepat. Begitu pun dengan Clyde yang memakan roti itu dengan penuh wibawa seperti yang selalu dia lakukan saat sedang di istana.  “Kau bilang semalam aku demam tinggi?” tanya Ivy tiba-tiba yang membuat Clyde nyaris tersedak roti di dalam mulut karena terkejut Ivy secara mendadak mengajaknya bicara. “Iya. Kau demam tinggi sampai tubuhmu banjir keringat. Kau juga menggigil, membuat aku khawatir dan ketakutan saja melihatnya. Untung saja di dalam tasku ada obat penurun demam.”  Ivy tertegun, “Kau memberiku obat lagi?” “Tentu saja. Karena tidak mungkin aku diam saja tanpa melakukan apa pun melihatmu menderita seperti semalam. Apalagi kau ini pingsan, aku takut nyawamu tidak selamat jika aku tidak bertindak.”  Awalnya Ivy ingin memberikan hukuman pada Clyde yang hingga detik ini dia yakini telah melakukan sesuatu pada tubuhnya. Tapi menyadari dirinya selamat dan masih bernapas hingga detik ini berkat pria itu yang memberinya obat dan menjaganya, Ivy jadi tak lagi berniat melanjutkan rencananya. Untuk kali ini saja sepertinya dia harus mengampuni pria itu. Begitu pikir Ivy di dalam hatinya.  “Setelah ini kau mau bagaimana? Mau melanjutkan perjalanan pulang ke padepokan?” tanya Clyde, memastikan rencana Ivy setelah ini.  Ivy mengangguk tegas, “Tentu saja. Memang itu tujuanku semalam andai saja aku tidak terkena demam.” “Kau demam karena efek luka di pinggangmu itu. Sepertinya kau juga kehilangan banyak darah. Memangnya kenapa kau bisa sampai terluka separah itu di pinggangmu?”  Ivy terdiam karena tak mungkin juga dia mengatakan terluka karena terkena tembakan saat melarikan diri dari mansion Menteri Perpajakan setelah mencuri stempelnya.  “Bukan urusanmu,” jawab Ivy ketus. “Ya, ya, terserah kau saja. Aku juga tidak ingin ikut campur urusanmu,” sahut Clyde seraya memasukan potongan terakhir rotinya ke dalam mulut. “Hah, aku haus sekali. Tapi di sini tidak ada air.” Clyde menggerutu, lagi-lagi merasa kesal saat mengingat gara-gara ajudan tak bergunanya dia jadi kehausan seperti ini. Tak bisa minum air setelah memakan roti yang membuatnya kini haus bukan main.  “Padepokan tempatku tinggal sudah cukup dekat dari sini. Kau ikut saja denganku. Kau bisa minum air di sana.” Ivy bangkit berdiri dari duduknya. “Itu pun kalau kau mau ikut denganku ke padepokan.”  Clyde ikut bangkit berdiri, “Tentu saja aku akan ikut denganmu. Toh, aku sudah berjanji akan mengantarmu pulang, kan?”  Karena Ivy tak merespon, Clyde menganggap hal itu sebagai bentuk persetujuan dari Ivy bahwa dia tak keberatan diantar pulang ke padepokannya.  “Ayo, kita berangkat. Tenggorokanku kering rasanya. Tidak sabar ingin merasakan air mengalir di sini,” kata Clyde seraya menunjuk tenggorokannya dengan jari telunjuk.  Ivy berjalan tanpa kata setelah memungut pakaiannya yang tergeletak di lantai. Dia pun menghampiri kuda milik Clyde yang untungnya tak melarikan diri meski semalaman dibiarkan berdiri di depan gubuk. Ivy menebak kuda itu pasti sudah sangat terlatih sehingga begitu patuh pada majikannya.  “Kuda ini sepertinya penurut sekali ya?” tanya Ivy begitu dirinya dan Clyde kini sudah berdiri di samping kuda. Siap menaiki dan duduk manis di punggung kuda tersebut. “Memang iya karena aku meminta dipilihkan kuda terbaik di ista …” Clyde berdeham karena nyaris saja dia mengatakan kuda itu merupakan kuda terbaik di istana.  “Apa? Kuda ini terbaik di mana?” Ivy yang penasaran karena Clyde tidak melanjutkan ucapannya kini melontarkan pertanyaan. “Terbaik di peternakan kuda. Kuda ini hadiah dari ayahku dulu,” jawab Clyde, kembali berbohong diiringi cengiran lebar.  Ivy tak ingin ambil pusing lagi dengan tingkah pria itu yang menurutnya aneh. Dia berniat naik ke punggung kuda namun urung begitu luka di pinggangnya terasa sakit saat dia hendak melompat naik.  Mendengar ringisan Ivy, Clyde sudah bisa menebak apa yang terjadi pada gadis itu. Dia pun berinisiatif membantu dengan sengaja memegang Ivy dan menaikkannya ke atas punggung kuda. Ivy terkejut tentu saja dengan tindakan pria itu yang membantunya naik tanpa diminta, terlebih saat Clyde kini mendudukan diri tepat di belakangnya sehingga posisi mereka seolah dia sedang dipeluk oleh pria itu.  “Hei, kenapa kau duduk di belakang? Aku saja yang di belakang,” tolak Ivy sembari duduk dengan gelisah karena posisi mereka itu benar-benar membuatnya tak nyaman. “Tidak apa-apa. Aku takut kejadian semalam terulang lagi. Semalam itu kau membuatku ketakutan dan khawatir karena tiba-tiba kepalamu itu menabrak punggungku. Untung saja kau tidak jatuh. Jadi biarkan saja posisi kita seperti ini supaya kalau kau pingsan lagi, aku bisa menahanmu supaya tidak jatuh.”  Ivy memutar bola mata karena merasa yakin kali ini tubuhnya sudah baik-baik saja, sepertinya obat yang diberikan pria itu sangat mujarab.  “Sudahlah, Nona. Tidak masalah posisi kita seperti ini, toh hanya sampai padepokan saja, kan? Kau sendiri tadi yang bilang padepokannya sudah dekat. Jadi kita berangkat sekarang ya, Nona?” “Ivy.”  Clyde tertegun mendengar suara si gadis mengalun begitu pelan sehingga tak bisa dia dengar dengan jelas. “A-Apa yang kau katakan barusan?” tanyanya, meminta Ivy mengulang ucapannya yang terdengar samar-samar.  “Ivy, itu namaku. Jadi berhenti memanggilku Nona.”  Clyde tersenyum lebar setelahnya merasa lega karena gadis itu akhirnya mau memberitahukan namanya sehingga kini Clyde mengetahui nama penolongnya tersebut. Sebuah nama yang tak akan pernah Clyde lupakan sampai kapan pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN