BAB SEBELAS

2327 Kata
Semua penghuni di dalam padepokan begitu terkejut saat tiba-tiba banyak prajurit istana yang berdatangan. Dengan tidak sopan berteriak memanggil agar semua orang yang berada di dalam padepokan segera keluar.  Tak berani membantah para prajurit istana yang dikenal begitu tegas dan arogan, semua orang pun menurut. Satu demi satu semua penghuni padepokan tempat Ivy tinggal, akhirnya keluar dari rumah kayu tingkat dua yang sudah terlihat lapuk termakan usia.  “Maaf Tuan-tuan, bisa jelaskan kenapa tiba-tiba anda semua mendatangi padepokan kami?”  Yang maju ke depan dan begitu berani mengajukan pertanyaan pada para prajurit yang terlihat berbaris rapi dengan penampilan gagah, tentu saja merupakan pemilik sekaligus guru besar di padepokan tersebut, Xiao Lian. Seorang kakek dengan keriput yang tercetak jelas di wajah tapi masih memiliki fisik yang gagah dan kharisma yang terpancar jelas sehingga disegani banyak orang.  Salah seorang prajurit menyahut sembari mengangkat sebuah pedang di tangannya, “Kami datang kemari untuk menangkap pemilik pedang ini. Kami sudah mendatangi pandai besi yang membuat dan menjual pedang ini di toko senjata miliknya. Berdasarkan pengakuan orang itu pemilik pedang berasal dari padepokan ini. Jadi kami minta serahkan orang yang memiliki pedang ini ke hadapan kami sekarang juga.”  Tidak hanya Xiao Lian yang kini sedang memakukan tatapan pada pedang di tangan sang prajurit, melainkan semua penghuni padepokan melakukan hal yang sama. Beberapa dari mereka terenyak kaget dengan kedua mata melebar ketika menyadari pedang itu milik Ivy.  Ya, itu tidak lain merupakan pedang yang ditinggalkan Ivy di mansion Menteri Perpajakan karena tak sempat dia ambil ketika melarikan diri. Sekarang benda itu menjadi petunjuk utama untuk menemukan keberadaannya.  “Memangnya kenapa dengan pedang itu? Kenapa bisa ada di tangan kalian?” Xiao Lian kembali melontarkan pertanyaan, dia tentu tahu pedang itu milik salah satu muridnya yaitu Ivy. Kini dia heran karena pedang milik Ivy bisa berada di tangan sang prajurit. Mengingat gadis itu juga sejak kemarin belum kembali ke padepokan, dia mulai mengkhawatirkan kondisi gadis itu. Berpikir sesuatu yang buruk mungkin telah menimpa Ivy.  “Kami tidak akan menjelaskan apa pun sebelum pemilik pedang ini diserahkan pada kami. Cepat, serahkan pemilik pedang ke hadapan kami jika kalian tidak ingin dianggap bersekongkol melakukan kejahatan dengan orang itu.”  Semua penghuni padepokan kini terbelalak sempurna, mereka bahkan saling berpandangan karena bingung dengan apa yang tengah terjadi di sini. Yang paling mendominasi perasaan mereka adalah kekhawatiran pada Ivy yang menjadi pemilik pedang itu.  Seorang pria tiba-tiba melangkah maju, dengan lantang mengatakan, “Saya pemilik pedang itu.”  Atensi semua orang tertuju pada sang pria, tidak lain merupakan Alvin yang sudah dianggap kakak oleh Ivy.  Sang prajurit mengernyitkan dahi saat melihat orang yang mengaku sebagai si pemilik pedang merupakan seorang pria. Padahal yang mereka ketahui adalah orang yang menyusup masuk ke dalam mansion dan mencuri stempel milik Menteri Perpajakan merupakan seorang wanita.  “Kau pemilik pedang ini? Apa itu benar?” tanya si prajurit yang tengah memegang pedang Ivy, kedua matanya memicing tajam pada Alvin, tampak jelas tak mempercayai Alvin sebagai pemilik pedang.  Dengan tegas dan tanpa keraguan Alvin mengangguk, “Benar, itu pedang saya. Jika anda tidak percaya, silakan bawa saya menemui pandai besi yang menjual pedang ini karena saya yakin dia masih mengingat wajah saya. Saya belum lama membeli pedang itu, baru saya beli sekitar empat bulan yang lalu.”  Alvin beruntung dirinya bisa berbicara selantang dan penuh percaya diri seperti ini karena memang dia yang membeli pedang itu untuk dihadiahkan pada Ivy di hari ulang tahunnya. Kejadian itu memang baru terjadi kurang lebih empat bulan yang lalu sehingga dia yakin sang penjual pedang pasti masih mengingat wajahnya. Alvin tentunya tahu Ivy telah melakukan sesuatu yang berbahaya seorang diri dan kini gadis itu tengah menjadi buronan mengingat para prajurit sampai mencari keberadaannya di padepokan. Hanya dengan melihat hal ini, Alvin yakin adik angkatnya itu pasti baik-baik saja dan sedang bersembunyi di suatu tempat. Sebagai seseorang yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Ivy, Alvin tentunya akan melakukan apa pun untuk melindungi gadis itu.  “Tapi seharusnya pemilik pedang ini seorang wanita.” Sang prajurit masih tak percaya bahwa pemilik pedang itu adalah Alvin. “Sungguh, Tuan. Saya pemilik pedang itu karena saya yang membelinya di toko senjata empat bulan yang lalu. Tapi pedang itu hilang bulan lalu saat saya sedang melakukan perjalanan.”  Alvin sama sekali tak mengungkit masalah misi yang biasa dilakukan oleh penghuni padepokan karena kenyataan mereka selalu menerima misi apa pun dari klien, dirahasiakan serapat mungkin agar tak diketahui pihak kerajaan. Tentunya kerajaan akan melarang jika sampai mengetahui mereka selalu diam-diam menerima misi dari klien. Karena itu para klien yang menyewa mereka untuk menjalankan misi rahasia bukanlah orang sembarangan. Misi rahasia yang mereka lakukan pun terbilang merupakan misi-misi yang sangat berat.  Satu alis sang prajurit terangkat seraya melayangkan tatapan penuh curiga, “Hilang kau bilang?” “Benar, Tuan. Saya kehilangannya karena pedang itu tertinggal saat saya sedang beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang. Ketika akan kembali melanjutkan perjalanan saya melupakan pedang ini dan saat saya kembali untuk mencarinya, pedang sudah tidak ada lagi di tempat saya menyimpannya.”  “Dimana kau kehilangan pedang ini?”  Alvin terlihat sedang berpikir keras seolah-olah dia sedang berusaha mengingat-ingat kejadian yang pernah dia alami tapi sudah dia lupakan, jarinya mengetuk-ngetuk pelipisnya. “Di sekitar perbatasan dengan kerajaan tetangga, Tuan. Saat itu saya baru saja pulang setelah seharian berdagang di sana. Saya biasanya berjualan buah. Seperti yang anda lihat tempat kami ditumbuhi beraneka ragam jenis buah,” kata Alvin sembari menunjuk ke arah pohon-pohon yang sengaja ditanam di depan padepokan. Memang benar pohon-pohon beraneka jenis buah sengaja ditanam dan kini sudah tumbuh menjulang tinggi di sana.  “Jika sedang panen, saya selalu menjualnya di pasar kerajaan tetangga,” tambah Alvin terlihat meyakinkan. Padahal dia sedang berbohong karena buah dari pohon-pohon itu biasanya mereka gunakan untuk dikonsumsi sendiri oleh semua penghuni padepokan.  “Begitu rupanya,” gumam sang prajurit, terlihat mulai mempercayai kebohongan Alvin. “Jangan-jangan gadis yang mencuri stempel itu berasal dari kerajaan tetangga. Dia mata-mata yang dikirimkan untuk mencari informasi tentang kerajaan kita.” Rekan sang prajurit menyampaikan pendapat. Meski suara mereka berbisik-bisik pelan tapi telinga Alvin masih bisa mendengarnya, walau samar-samar. Setidaknya dia lega karena kebohongannya ini sepertinya berhasil menyelamatkan Ivy dari kejaran para prajurit itu.  “Kita harus menyelidiki masalah ini lebih lanjut lagi. Yang pasti untuk membuktikan kebenaran ucapan pria ini, kita harus membawanya ke toko senjata itu dan bertanya pada penjualnya, benarkah pria ini yang membeli pedang di tokonya.”  “Benar. Itu satu-satunya jalan terbaik.”  Alvin memasang sikap siap sedia, tak keberatan sedikit pun meskipun dia harus dibawa pergi untuk menemui sang penjual pedang, toh memang dia yang telah membeli pedang itu untuk Ivy dan dia sangat yakin sang penjual masih mengingatnya dengan jelas.  Karena itu, Alvin sama sekali tak keberatan saat dirinya dibawa pergi oleh para prajurit. Melempar senyum pada penghuni lain padepokan yang terlihat khawatir begitu melihat kepergiannya.   ***   Dari kejauhan, Ivy menatap kepergian Alvin dengan telapak tangan yang terkepal erat, begitu melihat pedangnya berada dalam genggaman salah satu prajurit kini Ivy tahu penyebab para prajurit itu bisa mencarinya sampai ke padepokan. Entah apa yang dikatakan Alvin sehingga jadi pria itu yang dibawa pergi, Ivy kini merasa sangat bersalah. Ini semua karena kecerobohannya yang meninggalkan pedang di mansion Menteri Perpajakan tanpa berpikir bahwa pedang itu akan membuat padepokannya dicurigai.  “Pria itu siapa?” tanya Clyde dari balik punggung Ivy, dia menyadari arah yang ditatap Ivy tidak lain merupakan pria yang dibawa pergi oleh para prajurit. Di dalam hatinya, Clyde lega bukan main melihat para prajurit sudah pergi karena artinya bukan dia yang sedang mereka cari hingga sampai datang ke padepokan ini.  “Apa dia melakukan kejahatan karena itu dia ditangkap dan akan diadili?”  Clyde meringis kesakitan saat tiba-tiba Ivy menyikut perutnya cukup kencang. Gadis itu juga terlihat mendelik tajam seolah-olah pertanyaan Clyde membuatnya tersinggung.  “Kau ini kenapa menyikut perutku? Sakit tahu.” “Supaya lain kali kau tidak bicara sembarangan. Kalau punya mulut itu tolong dijaga, jangan asal bicara.” Masih memasang ekspresi meringis sembari memegangi perutnya yang disikut Ivy, Clyde berkata, “Mana aku tahu kalau aku salah bicara. Aku kan hanya bertanya karena aku tidak tahu. Memangnya pria yang ditangkap itu siapa? Pacarmu?” Ivy berdecak jengkel, “Bukan urusanmu,” sahutnya karena merasa tak memiliki kewajiban untuk menjelaskan siapa Alvin pada pria asing yang baru dia kenal tersebut.  Setelah memastikan para prajurit sudah tak terlihat lagi dan situasi sudah sepenuhnya aman, Ivy keluar dari tempat persembunyiannya. Dia kembali melangkah menuju padepokan diikuti Clyde di belakang.  Menyadari Clyde masih mengikutinya, Ivy seketika menghentikan langkah dan berbalik badan ke belakang, “Kenapa kau masih saja mengikutiku? Bukankah cukup bagimu tahu dimana padepokan tempatku tinggal? Padepokan itu sudah ada di depan mata, aku sudah tiba di sini dengan selamat jadi kau pergi saja.”  Clyde terbelalak mendengar ucapan Ivy yang begitu kejam mengusirnya. “Kenapa kau jadi mengusirku padahal tadi sudah mengizinkan aku untuk ikut ke padepokan?” “Aku berubah pikiran. Orang asing sepertimu seharusnya tidak perlu ikut ke padepokan. Sana, lanjutkan saja petualanganmu. Bukankah kau bilang sedang berpetualang untuk mencari pengalaman?”  Clyde menggelengkan kepala berulang kali, tentu saja dia tak mungkin pergi begitu saja mengingat ada kemungkinan para prajurit istana masih berkeliaran di sekitar padepokan. Clyde cukup teliti, menurutnya bersembunyi sementara di dalam padepokan yang sudah diperiksa para prajurit merupakan pilihan yang paling aman. Dia tak ingin memaksakan diri untuk pergi yang memiliki konsekuensi dirinya akan berpapasan dengan para prajurit istana yang tentunya akan mengenali dirinya sebagai putra mahkota.  “Kau ini jahat sekali ya. Padahal ini sudah hampir malam, kau malah menyuruhku pergi. Kau tidak kasihan padaku? Kau tahu aku ini tidak memiliki kemampuan bela diri maupun cara menggunakan senjata, memangnya kau tidak khawatir aku akan dirampok lagi seperti semalam?”  Ivy terkekeh, “Apa peduliku? Toh, kau ini bukan siapa-siapa. Aku tidak peduli walau apa pun menimpamu.” “Jahat sekali. Padahal aku ini sudah banyak membantumu. Apa kau lupa berkat obat-obat mujarabku, kau masih bisa bernapas sampai sekarang? Jika bukan karena aku sudah menyelamakanmu, kau pasti sudah berada di dunia lain sekarang.”  Ivy tertegun mendengar ucapan Clyde, tak memungkiri yang dikatakannya memang benar. Ivy pun menghela napas panjang, menyadari dia tak memiliki pilihan selain mengizinkan Clyde untuk ikut dengannya ke padepokan.  “Baiklah, aku akan mengizinkanmu mampir ke padepokan dan menumpang untuk beristirahat. Tapi hanya untuk malam ini saja. Kau dengar itu, besok kau harus pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi.”  Clyde meneguk ludah karena terlihat jelas Ivy sangat serius saat berkata demikian. Karena menurutnya hanya ini satu-satunya jalan terbaik yang bisa diambilnya untuk saat ini, Clyde pun dengan terpaksa menyetujui.  Kepala Clyde terangguk, “Iya, iya, baiklah. Aku hanya akan ikut beristirahat malam ini saja. Besok aku akan pergi.”  Merasa puas dengan jawaban Clyde, Ivy kembali berbalik badan dan melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju padepokan. Kini membiarkan Clyde berjalan mengekorinya di belakang.  Setibanya di padepokan, semua penghuni padepokan mulai dari seniornya, rekan seumuran bahkan junior Ivy yang masih anak-anak saling memekik girang melihat Ivy telah kembali dalam kondisi selamat. Mereka memeluk Ivy, secara terang-terangan memperlihatkan rasa senang dan lega mereka.  Clyde hanya diam memperhatikan interaksi antara Ivy dan semua penghuni padepokan, kini percaya bahwa hubungan mereka sudah seperti keluarga sendiri alih-alih rekan seperguruan.  “Ivy, kau ini kemana saja? Kami khawatir padamu?” tanya Claudia, yang terlihat paling senang begitu melihat kepulangan Ivy. Ini karena gadis itu tahu kemana Ivy pergi dan takut bukan main saat melihat para prajurit datang ke padepokan sambil membawa pedang Ivy.  Ivy mengulas senyum, “Kak Claudia harusnya tahu aku pergi kemana kemarin.” “Kau sedang berusaha mewujudkan keajaiban yang aku katakan kemarin agar benar-benar menjadi kenyataan, kan?”  Ivy mengulas senyum tipis, dia pun mengangguk sebagai jawaban. Salah satu tangannya merogoh ke dalam saku celana dan mengeluarkan benda yang membuatnya berhasil membuktikan keajaiban yang dikatakan Claudia kemarin bukanlah sesuatu yang mutahil karena keajaiban itu benar-benar berhasil diwujudkan oleh Ivy.  Claudia, Miranda dan Carissa yang mengetahui persis benda apa yang sekarang sedang diperlihatkan Ivy pada mereka, hanya bisa membekap mulut. Tak percaya Ivy benar-benar menghentikan rencana kenaikan pajak dengan mencuri stempel milik Menteri Perpajakan.  “Ivy, kau benar-benar gila. Bagaimana bisa kau nekat mencuri stempel milik Menteri Perpajakan?” tanya Claudia, tak habis pikir dengan Ivy yang bertindak sampai senekat itu. Tak disangka-sangka gadis itu juga berhasil mencuri benda berharga tersebut yang seharusnya mustahil bisa dicuri karena pasti dijaga dengan ketat. Claudia kini tak sanggup membayangkan kejadian seperti apa yang sudah dialami Ivy selama berusaha mencuri stempel Menteri Perpajakan.  “Kak Claudia harusnya tahu persis aku ini orangnya seperti apa. Aku akan melakukan apa pun selama itu demi kepentingan rakyat kecil seperti kita. Aku tidak mungkin hanya diam menonton saat kerajaan seenaknya berencana menaikan pajak padahal mereka tak tahu kehidupan rakyat kecil seperti kita sudah tercekik dan sangat menderita. Di saat mereka hidup bergelimang kemewahan dan harta karena memakan uang rakyat, kita yang harus terseok-seok demi bisa bertahan hidup. Aku … tidak akan segan-segan melawan raja sekalipun jika orang itu tidak bisa bersikap adil pada rakyat kecil seperti kita!” ujar Ivy dengan lantang.  Ya, sangat lantang sehingga semua tantangannya itu begitu jelas tertangkap indera pendengaran Clyde yang dia lupakan keberadaannya. Terlalu senang karena akhirnya kembali ke padepokan, Ivy melupakan keberadaan si pria asing yang tidak lain merupakan seorang putra mahkota yang bisa saja melaporkan kejahatannya ini pada sang raja yang tidak lain merupakan ayah kandungnya.  Clyde menyeringai dan bergumam dalam hati, “Oh, jadi itu stempel milik Menteri Perpajakan. Tidak salah lagi gadis itu akan dianggap sebagai pemberontak kerajaan jika sampai aku melaporkan perbuatannya pada Ayahanda. Hukuman yang setimpal untuknya tentu saja adalah … dieksekusi mati dengan hukuman penggal.”  Ivy sama sekali tak sadar bahwa dirinya kini berada dalam bahaya besar dan semua yang dia katakan dengan penuh semangat barusan tidak diragukan lagi akan menjadi boomerang yang bisa membuatnya kehilangan nyawa.  Jadi, bagaimana nasib Ivy nantinya? Hanya Clyde yang menentukan hidup dan mati gadis itu saat ini karena satu kata darinya akan sangat mempengaruhi nasib gadis penolongnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN