Pergi dari Rumah

1367 Kata
Joan sedang membereskan barangnya, dia sudah memasukkan sebagian ke dalam kardus. "Joan, bukankah lebih baik jika dipikir kembali. Bapak sama ibu marah besar, dan akan semakin marah, jika kamu benar-benar meninggalkan rumah ini!" bujuk Santi, wanita yang sudah bekerja di rumah itu selama hampir dua puluh tahun. Melihat Joan tidak mendengarkan, semakin panik nada bicaranya. Joan tidak mendengarkan bujukan mbak Santi, karena apapun yang dikatakannya tidak akan merubah tekadnya. "Mbak Santi gak perlu ngomong apa-apa lagi. Siapa di rumah ini yang gak tahu, kalau mama sudah lama kesal setiap melihatku di rumah. Papa juga sepertinya setuju dengan sikap mama itu. Karena pada dasarnya, mama sama papa udah muak dengan Joan, mbak!" Joan adalah anak sulung di rumah itu, tapi kehidupannya tidak lebih baik dari kedua adiknya. Karena kedua adiknya sangat pintar dan selalu bisa membanggakan orangtua. Sedangkan Joan yang sejak kecil nilai sekolahnya biasa saja, lulus kuliah di universitas dengan bantuan koneksi orangtua dan sudah lebih dari lima tahun menganggur. Merasa jika orangtuanya sudah muak setiap melihat keberadaannya. Puncaknya kemarin malam, dia bertengkar dengan orangtuanya hanya karena perkara tidak kebagian ayam goreng. Ayam goreng itu dipesan oleh mamanya untuk menu makan malam, karena mbak Santi tiba-tiba saja izin sakit. Tapi Joan yang sibuk menyelami mimpi terlambat untuk makan malam, saat dia akhirnya bangun dan mencari makan, hanya ada bekas tulang ayam di piring yang sudah diletakkan di wastafel. Joan bisa saja pesan makanan, tapi malam itu entah kenapa dia merasa sangat sensitif. Kenapa orang di rumah itu tidak ingat untuk menyisakan makanan? Terbiasa dianggap remeh oleh orangtuanya sendiri, membuat Joan berpikir mereka sengaja tidak menyisakan lauk untuknya makan. Gadis besar berusia dua puluh tujuh tahun itu menangis sambil makan nasi dengan sisa sambal udang kemasan yang ada di atas meja. Mikaila yang baru saja keluar kamar untuk mengambil air dingin di kulkas melihat kakaknya itu dengan aneh. "Jangan drama deh kak, atau mau aku pesenin makanan?" Mikaila tidak terlalu dekat dengan Joan, karena jarak usia mereka cukup jauh. Sepuluh tahun, saat ini Mikaila seorang siswi SMA. Joan yang saat itu masih makan sambil nangis tidak memedulikan tawaran adiknya. Dia hanya merasa kecewa, tapi tidak bisa mengatakan perasannya. "Tadi kak Ardio balik ajak pacarnya. Jadi porsi kakak dimakan. Mikaila pesenin makanan ya, kakak kan suka steik, aku bayarin deh!" Mikaila merasa tidak enak, sekalipun dia tidak salah dalam hal ini. Mendengar bujukan adiknya, hanya membuat tangis Joan semakin kencang. Apakah dia sangat picik? Hanya karena ayam goreng, membuatnya menangis dan memerlukan adik bungsunya untuk membujuknya. Mikaila yang melihat Joan menangis semakin keras menjadi takut. Dia belum pernah melihat kakaknya itu menangis. Joanne biasanya tidak akan menunjukkan kehadirannya. Dia lebih banyak diam saat di rumah. Kegiatannya hanya membantu mbak Santi masak atau tetap di kamarnya menulis lagu. Sebagai lulusan jurusan musik, dia sebenarnya bisa berkarya dalam dunia seni musik. Tapi tidak semudah itu. Karena beberapa alasan. Tangisan Joane terdengar hingga ke kamar orangtuanya. Jadi mereka keluar untuk melihat keributan yang terjadi malam-malam. Melihat Joane menangis dan tetap memaksa makan, membuat keduanya merasa bingung. Kemudian mereka menyadari setelah melihat piring Joane hanya berisi nasi dan sambal. "Please Joan! Kapan kamu jadi dewasa. Masak makan aja sambil nangis!" Nadin tidak mengerti jalan pikiran putrinya itu. Andre menepuk tangan istrinya. Kemudian melirik pada putri bungsunya yang masih terdiam di dekat pintu kulkas. "Kamu kembali ke kamar. Udah malem. Besok harus sekolah!" perintahnya dengan lembut, tapi cukup tegas. Mikaila tidak berani menolak, karena dia mengerti ada hal yang akan mereka bicarakan. Mendengar bagaimana papa dan mamanya begitu peduli dengan adik bungsunya, tapi mengabaikannya dan terlihat kecewa oleh sikapnya yang dianggap kekanakan membuat Joane sedih dan malu. Jauh di lubuk hatinya, dia juga sebenarnya sudah muak tinggal di rumah ini. Jika tidak ada dirinya, pasti keluarga ini lebih bahagia. "Joan, jangan terus seperti ini. Adikmu masih kecil. Dia akan memiliki pemikiran terhadapmu dan jangan memberi contoh seperti ini. Jika tidak melihat ada lauk, pesanlah makanan. Apakah itu sulit? Kenapa malah menangis di depan adikmu?" Andre menyayangi ke-tiga anaknya sama besar. Hanya saja, dia tidak banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi hanya mendengar dan melihat perkembangan anak-anak tanpa ikut dalam proses pertumbuhan mereka. Semua diserahkan pada istrinya. "Kalian malu? Aku hanya menangis, manusia pasti menangis!" Joan sedikit meninggikan suaranya, tapi kemudian menyadari kalau suaranya sedikit lebih keras dari nada bicara papanya. "Joan? Kami tidak pernah menuntutmu banyak. Hanya berharap kamu bisa memberikan contoh sikap yang baik untuk adik-adik. Apakah ada masalah? Jika ada, kamu bisa bicarakan dengan mama, jangan menangis seperti ini!" Andre sudah lelah dengan urusan bisnisnya. Jadi dia berharap anak-anak bisa akur dan suasana rumah yang tenang. Nadin menggelengkan kepalanya memerhatikan putri sulungnya dengan penuh kekecewaan. Melihat ketidakpuasan di sorot mata suaminya, karena tidak ikut membujuk membuatnya tidak senang. "Aku juga gak ngerti dengan Joan. Anak-anak lain sudah bisa membahagiakan orangtuanya, membantu adiknya sukses atau sekedar merintis usaha, tapi Joan hanya menghabiskan waktunya di kamar. Dia tidak pernah ikut membantu mengawasi adik-adiknya. Aku juga capek dengan urusan rumah. Dia sudah dewasa, tapi tidak memiliki sikap sebagai orang dewasa!" Nadin tidak ingin disalahkan. Karena dia sendiri tidak tahu kenapa putrinya sangat membosankan. Hidupnya tidak maju sama sekali. "Aku hanya menangis karena tidak disisakan ayam. Kenapa mama begitu ingin menghinaku? Apakah aku tidak membantu hal-hal di rumah? Aku juga ingin sukses seperti orang-orang. Tapi setiap kali aku mulai bekerja, mama terus mengeluh dan ingin aku segera berhenti bekerja!" Joan bicara dengan nada yang serak. Karena menahan tangis. Joan sudah beberapa kali pindah pekerjaan. Karena mamanya selalu tidak puas, menganggap pekerjannya bergaji kecil dan merugikan. Joan tidak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jurusan kuliahnya. Dia belum menemukan orang yang cocok untuk menyanyikan lagu-lagunya. Dan belum mendapatkan kesempatan untuk kontrak dengan agensi besar. Lagunya selalu dipuji bagus, tapi ada saja kendala dalam prosesnya, kadang tidak cocok dengan nilai royalti atau masalah dengan penyanyinya. Pernah sekali dia menjual lagunya pada seorang penyanyi, tapi penyanyi itu ternyata malah terjerat kasus obat-obatan terlarang hanya setelah tiga bulan lagunya rilis. Membuatnya diejek oleh rekan-rekan penulis lagu. Joan didesak untuk segera bekerja, maka dia pernah melamar sebagai karyawan perusahaan, tapi tidak bertahan lama. Mamanya bilang rugi, gajinya terlalu kecil. Pernah bekerja di KAI, sebagai operator. Pernah juga bekerja jadi karyawan toko. Semuanya dikerjakan, tapi semua pekerjaan itu dianggap mamanya tidak layak. Pernah sekali dia diminta untuk ikut papanya berbisnis. Tapi hanya sebentar, karena tidak tahu bagaimana melakukannya dengan baik. "Sudah jangan bertengkar. Nanti anak-anak terganggu. Joan, pesanlah makanan. Papa akan membayarnya!" "Aku udah gak nafsu makan!" Joan mengatakan yang sebenarnya. Mana mungkin dia masih ingin makan sekarang. "Kamu itu ya, teman-temanmu udah banyak yang menikah. Mereka sudah pada tahap menjadi wanita dewasa. Tapi kamu masih sama seperti anak kecil. Urusan makanan aja nangis!" Mendengar hal tersebut membuat Joane Menjadi marah. "Mama sebenci itu sama aku? Iya, aku emang anak gak berguna, tapi apakah mama masih perlu untuk mengejekku?" Sebenarnya Joane sedikit membesar-besarkan masalah. Tapi sekarang semua keluhan yang selama ini tahannya meledak. Dia butuh dukungan keluarga. Tapi rasanya keluarganya sendiri sangat membencinya. "Joan, kamu ini dungu sekali. Keras kepala! Inilah kenapa kamu gak punya temen dan gak bisa masuk ke dunia kerja. Karena kamu itu keras kepala!" Nadin kesal, karena terus disalahkan oleh putrinya saat bicara. Mendengar hal tersebut, membuat Joane menatap marah pada mamanya. "Ya, Joan memang keras kepala! Besok Joan akan pergi dari rumah ini. Dan kalian tidak akan lagi melihat anak keras kepala ini!" "Joan!" Andre melihat kalau situasinya berkembang semakin kacau. Dia memiliki masalah untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Dan merasa seharusnya dia bisa mengendalikan situasi dengan lebih baik. Melihat anak itu sudah berlari ke kamar, meninggalkan nasinya yang belum habis, membuat Andre merasa tidak nyaman. "Kamu kok gak nyisa'in ayamnya? Juga, bicaralah dengan lebih lembut. Anak itu sangat sensitif. Aku gak biasa bicara dengan mereka, tapi kamu harusnya bisa bicara dengan lebih baik 'kan?" Andre juga tidak mengerti, kenapa istrinya ini sering bertengkar dengan Joan. Padahal dengan anak-anak lain istrinya selalu sabar. Nadin yang disalahkan jadi marah. "Kamu gak liat gimana cara berpikir anak itu? Kita ini sudah sangat sabar menghadapinya. Hanya saja, Joan terlalu keras kepala dan merasa benar sendiri!" Keduanya berdebat dan Andre memilih untuk kembali menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja, sedangkan Nadin kembali ke kamar sendirian. Perkembangan malam itu menjadi titik balik dalam kehidupan seorang Joanne.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN