Nganterin Istri Pulang

1070 Kata
Eksas tidak tahu harus mencari topik obrolan apalagi. Ia melihat jam di layar ponsel. Ternyata sudah pukul sembilan lewat. "Kak, udah jam sembilan lewat." "Hm." "Kalau begitu, aku mau pulang dulu." Daffa menatap sang istri. "Apa kamu sudah makan?" "Belum." "Kalau belum, kenapa mau pulang?" Eksas mengerutkan kening tanda kebingungan. "Karena sudah malam, Kak." "Nanti saja." Daffa bangkit dari sofa. "Kakak mau kemana?" tanya Eksas. Apa dia akan ditinggal lagi? Padahal Eksas masih belum nyaman berada di kos sang suami. "Ayo makan," ajak Daffa. Bahkan ia mengulurkan tangan. Meskipun sedikit ragu, Eksas menerima uluran tangan tersebut. Detak jantungnya semakin menggila. Padahal mereka hanya pegangan tangan saja. Jangan sampai saking gugupnya, tangan Eksas berkeringat. "Aku bisa makan sendiri di kos, Kak." "Apa kamu begitu tidak nyaman bersamaku?" tanya Daffa. Dia bukan tidak tahu bagaimana Eksas tidak merasa nyaman. Apalagi Eksas terus-terusan menatap layar ponsel saat mereka duduk di sofa ruang keluarga. Padahal Daffa ingin mereka terbiasa satu sama lain. Jika tidak, maka hubungan mereka tidak ada kemajuan sama sekali. Tentu saja, Daffa tidak ingin kehidupan rumah tangganya memburuk. "Ti-tidak." Eksas menjawab dengan panik. "Jangan salah paham," lanjutnya lagi. "Kalau begitu, kenapa kamu ingin segera pulang?" Eksas menunduk dalam. Jawaban apa yang harus keluar dari mulutnya tanpa menimbulkan salah paham. "Sepertinya aku terlalu berlebihan," ungkap Daffa. Padahal ia tidak ingin memberikan tekanan kepada sang istri. "Maaf." "Minta maaf untuk apa?" Daffa tidak mengharapkan permintaan maaf sama sekali. Eksas juga tidak salah. "Aku salah, Kak." "Kesalahan apa?" Daffa menatap Eksas dengan serius. "Seharusnya kita bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama. Tapi aku malah ingin cepat-cepat kembali ke kos." "Aku tidak memaksa jika kamu tidak merasa nyaman." "Tidak, Kak. Jangan bicara seperti itu." "Sudahlah. Kita tidak perlu membahas lebih dalam." Daffa membuka kotak bekal yang diberikan Eksas. Tentu saja sup di dalamnya sudah dingin. Eksas yang bangkit dari kursi meja makan, dia berinisiatif untuk menghangatkan sup tersebut terlebih dahulu agar terasa lebih nikmat. Daffa mengambil nasi dari rice cooker. Dia meletakkan ke masing-masing piring mereka. "Punya aku jangan banyak-banyak," ucap Eksas. "Kenapa?" "Nanti nggak habis." "Coba dulu, jangan bilang nggak habis." "Nanti kalau nggak habis gimana?" Sudah jelas porsi makan mereka berbeda. Tapi malah disamakan. "Aku yang makan." Eksas tidak bisa untuk protes. "Kak... Ini gimana cara nyalain kompornya?" Daffa mengajarkan Eksas dengan singkat. Kompor di kos Eksas jelas saja berbeda dengan kompor di kos Daffa. Makanya Eksas tidak mengerti menyalakannya. Sup dihangatkan lebih dulu. Daffa menunggu dimeja makan. Setelah hangat, barulah Eksas bawa ke meja makan. Mereka makan malam berdua saja untuk pertama kalinya. Suasana tidak jauh berbeda dari biasanya. Daffa lebih banyak diam, Eksas pun jadi ikutan diam. Sesekali Eksas bertanya tentang apa supnya enak atau tidak. Ataupun Eksas bertanya tentang teman Daffa yang tidak kunjung pulang. Daffa tidak sungkan untuk memuji masakan Eksas. Rasanya memang enak. Dia juga bosan membeli makanan diluar. Tapi dia juga tidak ingin merepotkan Eksas. Jadi Daffa mengingatkan agar Eksas tidak sering mengantarkan makanan kesini. Daffa berusaha menjelaskan dengan menyusun kata-kata yang baik agar tidak memberikan artian yang salah. "Uang kakak kurang nggak?" tanya Eksas. Terakhir kali Daffa meminta untuk dikirimkan nominal uang ke salah satu akun walletnya. Setelah itu, Daffa tidak lagi meminta. "Masih ada dua ratus lagi." "Apa mau ditambah?" Daffa mengangguk. Siapa yang bisa menolak uang jajan? Tentu tidak ada. Eksas mengeluarkan 3 lembar uang dari dalam kantong hoodienya. "Terima kasih." "Kalau memang butuh, minta aja kak." Daffa mengangguk. Berhubung sudah pukul sepuluh lewat. Eksas harus pulang ke kos. Kalau tambah malam, akan lebih bahaya untuk dirinya. "Biar aku yang antar." Daffa sudah memasang jaket. "Antar gimana?" Eksas bingung. Jelas saja dia bawa sepeda. "Sepedanya bisa disini dulu. Besok ambil." "Nggak bisa. Ini sepeda bukan punya aku." Eksas menolak. Sepeda ini tidak hanya dia sendiri yang menggunakan, tapi ada penghuni kos lain yang juga ingin menggunakannya. "Kalau gitu, apa kamu bisa naik motor?" "Bisa." "Kamu naik motor, biar aku yang naik sepeda." "Kok gitu? Nanti Kakak capek." Eksas tidak setuju. Jaraknya tidak dekat. "Aku mau olahraga malam. Jadi tidak masalah." Daffa mencari alasan yang masuk akal. "Tapi-" "Kalau kamu tidak mau, nginap disini aja." Daffa berkata dengan santai. Dia tidak serius, hanya sedikit membuat Eksas menjadi takut. Mata Eksas langsung membelalak. "Apa kakak tidak ingat pesan Papa?" tanyanya. Daffa mengangkat bahu. "Papa larang kita tinggal bersama sampai Kakak punya pekerjaan sendiri." Eksas mengingatkan. "Papa dan Mama nggak akan tau. Jadi tidak masalah." Bulu kuduk Eksas merinding sendiri. Berada dalam satu kamar yang sama? Apa mereka tidak akan semakin canggung? Memikirkan saja sudah membuat tubuh Eksas mendapat lemah tidak berdaya. Dia belum menyiapkan diri. "Nginap saja disini," ucap Daffa lagi. Dia ingin masuk kembali ke dalam rumah. Eksas panik dan langsung menghentikan langkah kaki sang suami. "Biar aku yang naik motor," cicit Eksas sambil memegang jaket Daffa. Daffa tersenyum tipis. Dia begitu punya banyak cara membuat Eksas mau menuruti perkataannya. Pada akhirnya, Eksas menggunakan motor sedangkan Daffa menggunakan sepeda. Mereka mulai menelusuri jalan. Tentu saja jalanan tampak ramai. Bahkan sesekali Daffa bertemu dengan kenalannya. Dia menyapa dan kenalan Daffa malah menggoda Daffa. "Apa kakak populer di kampus?" tanya Eksas. "Populer gimana?" "Buktinya banyak yang kenal." Daffa tertawa kecil. Kenapa istrinya jadi lucu begini sih. Daffa jadi ingin mencubit kedua pipinya saja. "Banyak yang kenal bukan populer." "Tapi Kakak juga ganteng, pasti banyak yang suka." "Kalau itu, aku juga nggak tau." Daffa tidak ingin terlalu percaya diri. Tapi wajahnya memang termasuk dalam kategori ganteng. "Ingat pesan Mama sama Papa." Rasanya Daffa ingin tertawa. Mama dan papanya banyak memberi nasehat. Salah satunya akan Eksas dan Daffa tidak saling mengkhianati satu sama lain. "Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak lupa kalau sudah punya istri." Perkataan Daffa membuat Eksas merasa malu sendiri. "Tumben sepedaan, mau kemana lo?" sahut seseorang yang menggunakan motor. Dia entah datang dari mana. Eksas bahkan sedikit kaget. "Antar istri," jawab Daffa dengan jujur. Detak jantung Eksas menggila. Daffa begitu terang-terangan menyebut dirinya sebagai istri. Kenalan Daffa tertawa. "Bisa ngelawak juga lo," ucapnya. Memang sulit untuk percaya. Tapi Daffa tidak ambil pusing. "Wajahnya nggak kelihatan." Kenalan Daffa berusaha melihat wajah Eksas. Tapi karena Eksas memakai masker, maka tidak akan bisa sama sekali. "Nggak usah lihat, sana lo!" Daffa mengusir kenalannya itu agar segera pergi. "Teman kakak?" tanya Eksas. "Iya, satu jurusan." Eksas mengganggu mengerti. Agar Daffa tidak terlalu lelah, dia memegang besi yang ada di belakang motor. Jadi Daffa tidak perlu mengayuh sepeda lagi. Hal ini membuat mereka berdua cepat sampai di kos Eksas.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN