Nikah Dadakan

1070 Kata
Pupil mata Bima membulat dengan sempurna. Dia benar-benar kaget mendengar bahwa Daffa akan menikah. Sedikit tidak masuk akal, bahkan ia kira sedang bermimpi. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dijalankan dengan main-main. Meskipun Daffa mengaku sudah berbuat tindakan asusila terhadap perempuan bernama Eksas, tapi tetap saja Bima tidak percaya. Mereka memang nakal, tapi tidak akan mau merusak perempuan. Ada beberapa hal yang sangat mereka berempat hindari. Pertama adalah merusak perempuan, kedua minum-minum serta tawuran. Tapi Bima tidak bisa menghentikan keinginan Daffa sama sekali. Dia hanya bisa berdiri sampai berdoa agar semua berjalan baik-baik saja. Pernikahan terjadi dalam waktu singkat. Dengan segala perdebatan dan tekanan yang terjadi maka paman Eksas tidak bisa menolak untuk menjadi wali nikah Eksas. Awalnya paman Eksas menolak, tapi Papa Ali berusaha bernegosiasi. Dia memberikan sejumlah uang yang setara untuk membayar denda kepada paman Eksas. Orang yang gila uang tentu saja tidak akan menolak. Tanpa ada pakaian yang bagus, pernikahan tetap berlangsung. Ketua desa juga membantu mengurus pernikahan baik secara agama maupun secara hukum. Setelah pernikahan terjadi, keluarga Daffa membawa Eksas untuk pergi dari sana. Bagaimanapun kedua orang tua Daffa bertanggung jawab atas kehidupan dan keamanan Eksas kedepannya. Apa pernikahan anak mereka akan berjalan lancar sampai maut memisahkan? Entahlah, kedua orang Daffa hanya bisa berharap serta berdoa. Eksas hanya membawa kartu identitas serta ponsel saja. Yang lainnya tinggal seperti pakaian karena pakaiannya sudah kotor dan rusak. Keheningan terjadi. Eksas masih tidak nyaman. Dalam semalam, statusnya berubah menjadi sudah menikah. Apa yang harus Eksas lakukan kedepannya? Apalagi Papa Daffa terlihat tidak menyukai dirinya. Eksas menunduk dalam. Dia duduk di tengah bersama Daffa. Bima di belakang sedangkan Mama disamping Papa. Mungkin Daffa sangat mengantuk dan butuh istirahat. Maka sepanjang jalan dia hanya memejamkan mata. Tubuhnya juga sakit-sakit karena diamuk warga. "Apa kamu sudah mengabari Mami, Bim?" tanya Mama Asma. Dia meminta Bima untuk memberi kabar kepada Maminya agar tidak khawatir. "Sudah, Tan. Mami bilang istirahat saja dulu beberapa hari divila." Mama Asma tersenyum. "Tante sangat berterima kasih kepada Mami kamu, Bim. Tapi kita tidak bisa berlama-lama disini. Apalagi Dafina tinggal dirumah bersama Bi Ina saja." "Oh ya, apa Difina tidak menangis, Tan?" Bima tidak terlalu tahu perasaan seorang anak kecil yang ditinggal orang tua. Dia tidak punya adik dan selama ini Bima selalu dibawa kemanapun. Setelah lulus SMA barulah Bima diizinkan untuk kos sendiri. "Tadi Malam iya, tapi kata Bi Ina tidak lama." Mobil sudah sampai di villa. Mama Asma dan Papa Ali keluar. "Mas mau kemana?" tanya Mama Asma. Suaminya pergi begitu saja padahal yang lain belum keluar. "Istirahat." Setelah menjawab, Papa Ali menghilang dari pandangan. Mama Asma menghela nafas panjang. Tampaknya sang suami masih tidak menerima keputusan Daffa. Wajar saja karena setahu Mama Asma, Papa Ali menikah di usia muda karena cinta yang bergelora. Tapi sayangnya mental mereka belum siap sehingga banyak hal yang terjadi dan berujung pada perpisahan. Papa Ali sepertinya tidak ingin kejadian yang ia alami juga dialami anaknya. Mama membuka pintu. "Ayo keluar, Nak..." ucapnya dengan lembut. Bahkan Mama Asma tersenyum. "Terima kasih Tante." "Kok Tante?" Mama Asma mengerutkan kening. Sudah jelas Eksas sudah menikah dengan anaknya. Maka panggilannya bukan tante lagi tapi Mama. Eksas menunduk. Dia masih merasa tidak nyaman. Apalagi Eksas menyalahkan diri sendiri karena sudah membuat keluarga Daffa ikut terlibat dengannya. "Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja." Mama Asma mengusap pucuk kepala Eksas dengan lembut. Hati Eksas menghangat karena Bibinya tidak pernah melakukan hal seperti ini. "Iya, Tan. Eh maksudnya Ma." Eksas panik sendiri. Mama Asma membawa Eksas untuk masuk ke dalam Villa besar yang cukup terawat itu. "Daffa gimana, Tan?" tanya Bima karena sejak tadi sang teman tidak kunjung keluar. "Tinggalin aja. Dia pura-pura tidur itu." Mama Asma tidak peduli. Bima hanya memberi jempol sebagai respon. Kini hanya ada Bima dan Daffa di dalam mobil. "Lo kenapa sih?" tanya Bima setelah banyak hal yang terjadi. Daffa membuka mata. "Apanya?" "Kenapa bisa sampai kesana? Padahal gue udah kasih alamat lengkap, mana mungkin tersesat." "Tadi malam gue nyaris mati." Deg! Jantung Bima malah berdetak cepat. Perkataan Daffa terkesan serius, jadi jantungnya merasa tidak nyaman. "Lo ngomong apa sih?" Bima sangat kesal karena Daffa mudah sekali mengatakan kata-kata mati. Bikin merinding dan takut saja. "Gue nggak bohong." Intonasi bicara Daffa terdengar serius. Bahkan tidak ada tanda-tanda ia tengah berbohong sekarang. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Gue bakal cerita, tapi lo jangan bilang sama yang lain." Bima mengangguk. Dia juga penasaran apa yang sebenarnya terjadi. "Barang-barang gue diculik, ponsel hilang." "Ha?" Bima terkejut. "Kok bisa?" lanjutnya masih syok berat. "Gue awalnya juga nggak percaya. Tapi semua barang gue hilang." Daffa tidak ingin mengingat hal buruk yang terjadi. Sangat menakutkan sekali. "Dugaan gue, penculik memasukkan obat tidur ke minuman yang gue beli di dalam mobil. Setelah minum, gue ngantuk berat dan tidak ingat apa-apa. Setelah barang-barang diambil, gue dibuang di tengah hutan." Bima mendengarkan dengan serius. "Lo nggak lagi nulis skenario drama kan?" "Ck, gue serius!" Bima tertawa kecil. "Iya iya, terus gimana lo ketemu sama Eksas?" Daffa menceritakan lebih lanjut bagaimana kronologi ia bisa bertemu dengan Eksas. Tanpa ada yang ditambah-tambahkan. Setelah bercerita, Bima hanya bisa terdiam seakan tidak percaya. Kejadian yang dialami oleh DAffa seperti sebuah drama saja. "Lo sekarang udah jadi suami orang." Bima mengingatkan. "Terus?" Daffa tidak terlalu ingin memikirkannya. Setidaknya dia sudah menyelamatkan Eksas dari rencana gila Paman dan Bibinya. "Lo udah punya tanggung jawab, gila!" "Bodo amat." Bima menghela nafas panjang. "Selain mau nolong dia, lo sebenarnya juga suka, kan?" tudingnya. Tidak mungkin Daffa mau menikah kalau tidak ada rasa suka. Memang bukan cinta tapi sekedar rasa tertarik pasti ada. "Idih, sok tau." "Gue kenal lo bukan sehari atau dua hari, tapi bertahun-tahun. Jadi gue sedikit tau tentang lo." Bima sedikit pede, padahal dia asal tebak saja. "Terserah deh, gue pusing." Daffa keluar dari mobil. Bima mengikuti dari belakang. Mereka berdua masuk ke dalam Vila. "Makan malam sudah siap Mas," lapor Pak Asep. Sepertinya dia dan beberapa pekerja menyiapkan segala keperluan Bima dan keluarga Daffa selama disini. "Oke Pak, terima kasih." "Papa mana, Ma?" Daffa tidak melihat keberadaan Papanya. "Istirahat," jawab Mama Asma. "Kamu bersiin diri dulu sana, setelah itu makan malam. " Tidak hanya menyuruh sang anak, Mama Asma juga menyuruh Bima. Divila ini ada beberapa kamar sehingga Bima dan Daffa akan tidur dikamar sendiri-sendiri begitupun dengan Eksas. Keluarga Bima sangat banyak membantu keluarga Daffa. Mama Asma ingin membayar segala sewa villa selama mereka tinggal disana, tapi Mami Bima menolak. Mama Asma tidak bisa keras kepala karena Mami Bima lebih keras kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN