MENGAMATI

1112 Kata
Duahari kemudian… Ayahnya mulai sadar, tapi bukan berarti sembuh, hanya gejala yang membaik. Dokter sudah memberinya ultimatum untuk tidak lagi bekerja dan harus menjalani pengobatan. Ada peluang untuk sembuh. Kalimat itu jadi penguat Danu dan Dara untuk juga menyemangati ayahnya. Danu merasa lega, setidaknya bisa berbincang dengan ayahnya. Senyum diwajahnya membuat Danu yakin bahwa keputusannya untuk kembali ke Tanah Air adalah yang terbaik. “Aku sudah putuskan kembali dan siap untuk melanjutkan perjuangan ayah. Tapi aku tidak bisa kalau ayah sakit. Tolong berobat dan sembuh,” Danu setengah memohon pada ayahnya. “Terima kasih anakku. Ayah tahu ini keputusan besar bagimu. Dan, Danu, jangan lupa janjimu, ayah mendengarnya,” senyum lebar menghiasi wajahnya. “Jangan lupa untuk mengenalkan calon istrimu dan membawa Abisatya junior ke hadapan ayah,” kali ini tawa kecil keluar dari mulutnya. Danu tergelak, ternyata bisikan itu terdengar oleh ayahnya, “Aku berjanji.” *** Selang dua hari kemudian, ayahnya berangkat untuk menjalani pengobatan ke Singapura dengan Dara menemaninya. Danu tidak akan tenang kalau ayahnya pergi tanpa ada orang yang ia percaya untuk mengurusnya. Siapa lagi kalau bukan Dara? Om Aji mendampinginya untuk mempelajari semua hal mengenai Grup Abisatya Besari. Secara garis besar, Danu sudah cukup tahu. Tiap hari ayahnya bercerita, dan ia cukup cerdas untuk menangkap maksud ayahnya. Bahkan, ada nama-nama yang melekat dibenaknya. Mana yang harus ia waspadai dan mana yang bisa ia percaya. Ayahnya telah memberikan banyak petunjuk dalam setiap hari komunikasi mereka. Hal itu membuat Danu tersadar, kalau ayahnya secara perlahan telah menurunkan pemikirannya. Semua terasa mudah baginya. Tinggal bagaimana mengenal orang-orang yang ada disekitarnya? Danu ingin beradaptasi sebelum terjun langsung. Ia mengamati suasana sekitar dengan sesekali datang ke kantornya. Duduk di lobi dan mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Bagaimanapun suasana bekerja di sini berbeda dengan Inggris. Sampai, matanya tak berkedip menatap seorang perempuan muda yang terlihat memapah seorang nenek tua. Terdengar perempuan itu bertanya, “Ibu mau kemana?” Satpam menghampirinya, “Bisa kami bantu bu?” “Ibu tidak tahu mau kemana,” perempuan tua itu menjawab linglung. Dari pakaiannya terlihat rapi, sepertinya faktor usia membuatnya linglung dan terlepas dari pantauan keluarganya. “Apa saya lapor polisi bu?” Tanya satpam pada perempuan itu. “Jangan dulu pa, ibu ini dari baju dan sepatu terlihat rapi, artinya tidak jalan kaki terlalu jauh. Saya pikir keluarganya ada di gedung ini. Mereka juga mungkin mencarinya. Pa, bisa cek informasi? Saya jaga ibu ini di sini?” “Baik bu,” satpam itu beranjak pergi. Perempuan itu terlihat memapahnya dan memintanya duduk. Ia menemaninya mengobrol. Sampai ada temannya menghampiri, “Jangan lupa rapat sebentar lagi.” “Ah, aku tidak mungkin meninggalkan ibu ini sendiri,” ujarnya. “Jangan lupa, siang ini deadline,” temannya kembali berkomentar. “Project plan aku sudah selesai, aman. Tolong info aku telat,” katanya lagi. “Ok, aku duluan,” Temannya kemudian pergi. Tanpa sadar, Danu tersenyum. Pemandangan langka, pikirnya. Tiba-tiba satpam kembali mendekati, “Iya bu, ada yang mencarinya. Bagian informasi sudah menghubungi nomor telepon anak dari ibu ini. Tadi terpisah saat ke restroom. Jadi saya bawa ibu ini ke bagian informasi sekarang.” “Syukurlah,” tak lama perempuan itu melihat jam lalu bergegas pergi. Danu memperhatikannya, ia berlari menaiki eskalator ke lantai 1. Setelah itu, hilang dari pandangannya. *** Esoknya, Danu duduk di tempat yang sama. Hati kecilnya berharap bisa melihat perempuan itu lagi. Senyum tersungging dimulutnya mengingat hal itu. Tak disangka, perempuan itu melintas begitu dekat dihadapannya, sambil menghirup secangkir kopi. Lalu diam berdiri membuka ponselnya, tak jauh darinya. Danu memperhatikan wajahnya yang cantik, tatapan matanya yang lembut, rambutnya sebahu terurai rapi, badannya tinggi semampai dan senyumnya ternyata begitu memesona. Diam-diam Danu tersenyum dibalik maskernya. Tak lama, ada temannya yang menghampiri, “Ah lama.. Jadi mana?” Telapak tangannya membuka menunggu pemberian dari temannya. “Sabar bu, ini.” Terlihat temannya memberikan selembar tiket. “Ok thanks,” wajahnya menunjukkan rasa senang dan berseri-seri. Entah tiket apa, dan itu berhasil membuat Danu penasaran. *** Hari yang baru, Danu sedang berjalan kaki kembali menuju kantornya. Agak siang, karena tadi ayahnya menelepon cukup lama. Saat hendak memasuki lobi, dari kejauhan kembali terlihat perempuan cantik itu sedang berlari. Entah mengejar apa… Perempuan itu berhenti berlari, menarik nafas, menopang kedua tangannya pada lututnya. Kedua pipinya merah merona. Danu tertawa kecil, kenapa kamu harus lari? Tiba-tiba dari belakang, ada yang merangkulnya. “Ahh… Buat aku kaget,” ujarnya. “Lari pagi?” Tanya temannya. “Cukup lelah hari-hariku, rasanya tidak perlu tambah lari pagi kalau memang tidak perlu.” “Terus kenapa kamu lari?” Temannya keheranan. “Ah, scarf aku terbang tertiup angin. Kesukaanku. Sepertinya tidak terkejar,” Perempuan itu menarik nafas panjang, ekspresinya terlihat sedih. Danu tersenyum lebar. Senyum yang mampu membuat perempuan manapun tergila-gila. Sayang, saat itu pesonanya tertutupi masker, menyembunyikan identitasnya. Ia tersenyum lebar karena melihat scarf itu tersangkut di salah satu pohon. Saat perempuan itu memasuki bangunan kantor, Danu memencet nomor telepon, “Om, bantu aku. Temanku kehilangan scarfnya, ternyata tersangkut di salah satu pohon halaman depan kantor.” Danu memotretnya, dan mengirimkannya pada Om Aji. Om Aji tertawa, “Kamu sudah punya teman? Senang rasanya. Nanti om urus, itu bukan hal besar.” Sorenya, ada box berisi scarf di meja kamar tidurnya. Hmm.. Kenapa ia peduli? Danu hanya menggelengkan kepala dan menyimpan scarf itu kembali ke dalam box. *** Pagi ini, Danu begitu penasaran, apa lagi yang akan terjadi pada perempuan itu? Senyum selalu hadir tiap melihatnya. Saat berjalan mendekati area kantor, Danu sengaja mencari jalan berbeda. Tak sengaja ia melihat seorang laki-laki berciuman dengan perempuan berambut panjang. Pemandangan tidak asing saat dia berada di negara orang, tapi di sini? Rasanya ciuman sevulgar itu tidak sepantasnya. Ingin rasanya menegur mereka, tapi Danu tidak mau menunjukkan diri. Danu terdiam, secara reflek bersembunyi di balik salah satu pohon. Kenapa aku harus bersembunyi? Tapi rasa canggung menahan gerak kakinya. Lelaki itu tiba-tiba berbalik dan merapihkan dirinya. Perempuan itu terlihat mengancingkan bagian atas pakaiannya. Siapa mereka? Danu mencoba mengenali wajah keduanya, tapi tidak ada dalam ingatannya. Setelah keduanya menghilang, Danu melanjutkan perjalanannya. Ia memasuki lobi kantor dan membeli kopi di coffee shop bawah. Saat berbalik, langkahnya tercekat. Lelaki barusan terlihat berbincang mesra dengan perempuan itu. Bahkan, tangannya sesekali mengelus rambut perempuan itu. Perempuan yang tiap pagi membuatnya tersenyum.. Mereka.. Berpacaran? Lalu perempuan tadi? Yang berciuman dengannya itu siapa? Rasa geram tiba-tiba melanda Danu. Lelaki ini kurang ajar. Rasanya tidak lebih dari 20 menit sebelumnya berciuman dengan perempuan lain. Sekarang dihadapannya, mengelus rambut perempuan itu dan berbicara dengan manis. Sekilas ia mendengar ucapannya kalau lelaki itu mengucap rindu. Oh… Danu hanya bisa menyembunyikan kekesalannya dan berharap perempuan itu menyadari kalau lelaki ini bukan orang baik. Tapi, sudahlah, bukan urusannya juga.. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN