Bagian 4
Di sepertiga malam, aku bersimpuh di atas sajadah. Meminta kekuatan dan pertolongan kepada Allah, sang pemilik kehidupan. Padanya kuadukan semua sesak yang menghimpit d**a ini.
Ya Allah, hamba sangat mencintai suami hamba. Hamba mohon, kembalikan suami hamba ya Allah. Buatlah Mas Fahri meninggalkan wanita selingkuhannya itu. Buatlah suami hamba kembali menjadi Mas Fahri yang dulu, yang sangat menyayangi dan mencintai hamba ya Allah.
Ya Allah, yang maha membolak-balikkan hati manusia, hamba mohon jaga dan lindungi rumah tangga hamba dari godaan orang ketiga ya Allah. Padamu hamba pasrahkan semua urusan. Tiada daya dan upaya hamba selain hanya memohon pertolongan kepadamu ya Allah.
Air mata mengalir deras dari kelopak mataku, menandakan betapa rapuhnya aku saat ini.
***
"Zahra, kenapa kamu melamun? Itu telurnya sudah gosong, loh! Matiin dulu kompornya, Nak."
Astaghfirullah! Aku tidak sadar, ternyata telur mata sapi yang sedang kugoreng sudah gosong.
Segera kumatikan kompor, lalu mengangkat telur yang sudah gosong tersebut.
Terlalu banyak fikiran membuatku tidak bisa fokus. Padahal aku sedang memasak untuk menyiapkan sarapan.
"Zahra, kamu kenapa, Nak? Sakit?" Ibu terlihat mengkhawatirkanku.
Aku hanya menggeleng. Aku memang sedang sakit, tetapi bukan fisikku yang sakit, melainkan hatiku.
"Zahra, kenapa matamu sembab, Nak? Kamu habis menangis?"
"Enggak kok, Bu. Mungkin Zahra cuma kurang tidur, soalnya enggak bisa tidur semalam," kilahku. Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya, takut ibu mertua kepikiran.
"Yasudah kalau begitu, kamu istirahat saja. Biar Ibu yang nyiapin sarapan." Ibu kemudian mengambil posisi di depan kompor, bersiap menggantikanku.
"Enggak usah, Bu, biar Zahra saja."
"Yakin? Gak apa-apa, biar Ibu saja yang nyiapin sarapan!"
"Yakin Bu, lagian Zahra gak kenapa-kenapa. Ibu enggak usah khawatir."
"Ibu bantuin, ya?"
Aku hanya mengangguk. Tidak mungkin aku menolak bantuan ibu mertua.
"Zahra, kamu sudah kasih tahu Fahri kalau kamu sedang mengandung?" Ibu bertanya di sela-sela aktivitasnya memotong-motong daun bawang dan seledri.
"Belum, Bu."
"Kenapa?" Ibu meletakkan pisau yang sedang ia pegang, lalu menatapku dengan serius.
"Apa ada masalah? Apa kalian bertengkar semalam?" tanya Ibu lagi.
"Kabar baik tidak boleh disembunyikan loh, Nak. Ibu yakin pasti Fahri akan bahagia sekali saat mengetahui kabar kehamilanmu."
"Bukannya berniat menyembunyikan, Bu. Sebenarnya semalam Zahra udah mau ngasih tau Mas Fahri, tapi Mas Fahri kecapean dan langsung tidur setelah tiba di kamar."
"Oh, syukurlah kalau begitu. Tadi Ibu sempat khawatir. Takut kalian bertengkar. Ya sudah, nanti saat kita sarapan, kamu kasih tahu suamimu, ya."
Aku mengangguk. Mungkin sudah saatnya memberitahu Mas Fahri. Semoga saja setelah mengetahui kalau istrinya ini sedang hamil, Mas Fahri tidak lagi mempedulikan wanita itu.
"Wah, baunya harum sekali. Pasti nanti Fahri suka. Boleh Ibu cicipi?"
"Ya boleh dong, Bu, masa enggak boleh?"
Ibu hanya nyengir mendengar ucapanku. Beliau kemudian mengambil sendok kecil, lalu mencicipi nasi goreng tersebut.
"Enak," ucapnya sambil mengacungkan jempol.
"Dari dulu masakanmu memang enak, ya," puji ibu mertua.
"Alhamdulillah, terima kasih kalau Ibu menyukai masakan Zahra."
Aku kemudian mengambil tempat nasi, lalu memindahkan nasi yang ada di dalam wajan tersebut ke tempatnya.
Saat sedang memindahkan nasi tersebut, tiba-tiba perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Gegas aku berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi di dalam perutku.
Ternyata Ibu menyusulku, beliau datang dengan membawa segelas air putih di tangannya.
"Minum dulu, Nak."
"Iya, Bu."
"Hal seperti ini biasa terjadi pada ibu yang sedang hamil muda, Nak. Biasanya terjadi di awal-awal kehamilan. Tapi kamu enggak usah khawatir, setelah melewati trimester pertama, maka nanti kamu tidak akan mengalami mual dan muntah lagi. Ibu juga dulu gitu, saat mengandung Fahri."
"Oh, gitu ya, Bu. Zahra masih kurang paham soal kehamilan."
"Iya, Nak. Nanti Ibu akan mengajarimu banyak hal tentang kehamilan. Sekarang kamu kumur-kumur dulu, habis itu kamu panggil Fahri ke kamarnya."
Aku mengangguk patuh. Segera melaksanakan perintah wanita yang sangat kuhormati tersebut.
"Sarapannya biar Ibu yang bawa ke meja makan. Kamu panggil Fahri saja."
Aku segera menuju kamar yang aku tempati bersama Mas Fahri. Begitu tiba di depan pintu, aku memutar kenop pintu dengan pelan.
Saat pintu terbuka, aku tidak menemukan keberadaan Mas Fahri di dalam kamar. Namun aku mengetahui di mana ia berada karena aku mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
Sambil menunggu Mas Fahri keluar dari kamar mandi, aku menyiapkan baju kerjanya. Meskipun aku masih marah dan kesal padanya, sebisa mungkin kupendam semua itu. Berusaha bersikap biasa saja di depan Mas Fahri.
Lima menit kemudian, Mas Fahri sudah keluar dari kamar mandi. Dari tubuhnya menguar aroma shampo yang berhasil membuat perutku mual lagi. Ya, aku tidak tahan mencium bau masakan dan wangi-wangian.
Untungnya gejolak ingin muntah bisa kutahan. Aku takut tubuhku lemas jika muntah terus-menerus.
Bukannya langsung berpakaian, Mas Fahri malah mengecek ponselnya terlebih dahulu, membuatku kesal saja dibuatnya. Pasti Mas Fahri ingin mengecek apakah ada pesan dari wanita itu.
Sabar … sabar. Aku harus lebih sabar lagi menghadapi tingkah suamiku ini. Demi anak yang ada di dalam kandunganku.
"Mas, udahan dong main hp nya. Buruan pake baju, Ibu sudah menunggu kita di ruang makan," protesku saat melihatnya semakin asyik saja mengotak-atik ponselnya.
"Iya, bentar, ini lagi balas chat."
"Chat dari siapa, sih? Sepertinya penting banget," tanyaku sambil mendekatkan kepalaku ke ponselnya, berniat mencari tahu sedang berkirim pesan dengan siapa suamiku.
"Kamu kok' kepo banget, sih? Mas lagi balas chat dari atasan, Dek."
Atasan? tidak mungkin! Pasti Mas Fahri sedang berbalas pesan dengan wanita itu. Aku yakin sekali!
"Yasudah, pake bajunya dulu. Habis itu kita sarapan. Sekalian nanti ada yang mau aku omongin."
"Kamu mau ngomong apa? Katakan saja sekarang, kenapa harus nanti?"
"Nanti saja, Mas. Yang jelas, aku ingin memberikan kejutan untukmu."
Mas Fahri pun menurut, ia kemudian mengambil pakaian yang telah aku siapkan di atas kasur, lalu memakainya.
Biasanya setelah selesai berpakaian, Mas Fahri akan menggandeng tanganku menuju ruang makan. Namun sekarang tidak lagi. Mas Fahri berjalan mendahuluiku sambil memainkan ponselnya. Suamiku benar-benar tidak menghiraukanku lagi.
"Fahri, silakan duduk, Nak. Kalian lama sekali, Ibu hampir kelaparan menunggu kalian," protes Ibu. Namun Mas Fahri tidak menghiraukan ibunya, ia tetap fokus pada ponselnya.
"Fahri, makan dulu. Jangan main HP terus, dong."
"Iya, Bu." Mas Fahri kemudian mulai memasukkan suapan pertama ke mulutnya, namun tatapannya tidak beralih dari ponselnya. Satu tangannya memegang sendok, satu lagi memegang ponsel.
"Fahri, fokus sarapan dulu. Taruh dulu HP-nya." Ibu kembali mengingatkan.
"Iya, Bu, bentar! Ini lagi penting soalnya."
"Fahri, taruh dulu hp nya. Zahra mau mengatakan sesuatu, loh!"
"Iya, iya! Ini udah!"
"Nah, gitu dong! Zahra, bicaralah, Nak. Kasih tahu sama Fahri."
Aku mengangguk. Sekaranglah saatnya. Semoga setelah mengatahui kalau istrinya ini sedang hamil, Mas Fahri bisa berubah.
"Mas, sebenarnya aku--"
"Bentar, ada telepon."
Mas Fahri langsung beranjak dari tempat duduknya, menjauh dari kami.
Biasanya Mas Fahri tidak pernah bersikap seperti ini. Kalaupun ada telepon penting, Mas Fahri akan mengangkatnya di depanku dan tidak pernah main rahasia segala.
"Zahra, kenapa Fahri berubah? Apa ada sesuatu yang tidak Ibu ketahui?"
Bagaimana ini, apa aku harus mengatakan semuanya pada ibu? Tapi aku takut sakit Ibu kambuh jika mendengar kabar yang buruk tentang anaknya.
Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar dilema.
Aku tidak tahan Mas Fahri memperlakukanku seperti ini. Namun aku tidak mau Ibu sakit karena kepikiran nantinya.
Sebaiknya aku mencari bukti tambahan dulu. Aku tidak bisa membiarkan Mas Fahri membohongiku dan Ibu terus-terusan. Ibu harus tahu kelakuan anaknya dan Ibu harus bersikap tegas pada Mas Fahri.
Jika Mas Fahri mau berubah setelah dinasehati oleh Ibu, maka aku masih bersedia memberikan maaf untuknya demi janin yang ada di dalam kandunganku. Namun jika Mas Fahri tidak mau meninggalkan wanita itu, maka aku yang akan bertindak.
Bersambung