5. Gelagat aneh mantan

1574 Kata
Sepulang kerja, Danu menunggu semua orang yang lembur untuk pulang terlebih dahulu, baru dia juga pulang ke rumahnya. Di saat lelaki seusianya rata-rata sudah menikah, setelah dipertemukan kembali dengan Aleta, Danu tidak tahu apa yang akan dia lakukan di masa depan. Membawa mobilnya, dia memikirkan banyak hal sambil menyetir dalam kecepatan sedang. Tanpa disangka, mobilnya justru tiba di depan gedung apartment yang dia pilih untuk Aleta. Sial! Kenapa dia kepikiran untuk pergi ke sini?! "Duh, aku pasti terlalu capek." Danu baru akan memutar mobil, tapi dia tanpa sengaja melihat Bagas baru saja tiba dengan Aleta menggunakan motor. Mereka tampak sangat akrab bahkan berbasa-basi sebentar sambil tertawa. Keduanya benar-benar tertawa lepas tidak peduli bahwa di sana dalam keadaan sepi dan siapa pun bisa terganggu. Dari dalam mobil, Danu memang tidak bisa mendengar apa-apa, tapi dugaannya pasti tepat, dan ekspresi wajahnya segera memburuk. Ternyata setelah hari itu, kehidupan kantor yang dijalani Aleta bahkan lebih buruk. Danu menjadi lebih sering memarahinya setiap kali mereka bertemu. Bahkan dia marah untuk masalah yang kecil. "Parfum kamu terlalu nyengat, ganti baju kamu sekarang," kata Danu suatu pagi ketika Aleta mengantarkan kopi. Danu mengatakan itu dengan wajah datar dan ekspresi yang menyebalkan, tapi dia tidak menatap Aleta sama sekali. "Tapi, Pak, saya nggak bawa baju ganti." Aleta bingung. Danu mengeluarkan kartu kreditnya. "Pakai ini untuk beli baju baru, kalau bisa lima stel sekalian. Setelah istirahat, saya nggak mau nyium bau parfum itu lagi. Bisa sesak napas saya." Aleta mencium kepitan ketiaknya. Dia merasa wangi yang dipakainya tidak menyengat, justru sangat lembut dan segar. Dia biasa pakai parfum mahal dengan botol kristal koleksi unlimited dari brand ternama, tapi karena dia sekarang 'miskin', dia hanya membeli yang lebih murah di minimarket. Tapi terlepas dari itu semua, ini benar-benar aneh. Sikap Danu belakangan ini aneh dan tidak bisa ditebak. Dia menjadi seenaknya sendiri, suka marah-marah tanpa sebab, dan memerintahnya dengan hal-hal yang tidak masuk diakal. Bahkan dia pernah menyuruh Aleta untuk menghapus make up, dan sama sekali tidak diperbolehkan memakai lipstik. Itu masih beberapa hal. Ada yang membuat Aleta lebih aneh, setiap hari setelah jam makan siang, selalu ada kotak bingkisan makanan yang menunya selalu berubah-ubah. Terhitung dari hari pertama kotak itu ada, ini sudah hari ke enam. Ternyata bukan Aleta saja yang menerima kotak bingkisan itu, tapi seluruh karyawan. Apa Danu sedang pamer kekayaan? Saat dia bertanya pada karyawan lain, selain Bagas, mereka menjawab, ini pertama kalinya Danu melakukan hal itu. Memang Danu terbiasa membagi-bagikan makanan entah saat awal bulan atau akhir bulan. Tapi setiap hari berturut-turut, itu tidak pernah terjadi. Sambil memikirkan keanehan itu, di ruangannya, Aleta menceritakan hal yang barusan terjadi pada Bagas dan lelaki itu tertawa. "Masa sih? Pak Danu nyuruh kamu beli lima pasang baju?" Bahkan ketika Bagas mengatakannya, ini terdengar sangat konyol. Aleta memutar bola matanya. "Kamu bilang dia baik ke semua pegawai, apa dia beliin baju buat pegawai lain juga dengan alasan wangi parfum yang nyengat?" Kalau memang itu kejadiannya, Aleta siap untuk sakit hati karena cemburu. "Nggak sih, Al. Cuma ke kamu aja." Bagas mengingat-ingat. Melihat Aleta masih cemberut, dia mengacak rambut wanita itu. "Tapi lumayan 'kan, bisa dapet baju baru gratis. Nggak apa-apa terima aja." Aleta berdecak. "Kalau aku terima berarti aku murahan dong?" Kalau saja dia bisa menghilangkan bau parfum secara instan, dia akan menolak kartu kredit ini mentah-mentah. Tapi Aleta berpikir lagi, jika dia membantah Danu, bukan hanya dia tidak sopan, dia bahkan bisa dipecat. Duh, dia masih waras dan butuh uang! "Berarti kamu anggap Pak Danu hidung belang, yang lagi beli kamu, gitu?" tanya Bagas dengan ekspresi jenaka. "Eh?" "Iya, kamu anggap diri kamu lagi dibeli, kalau kamu terima, artinya kamu murahan. Dan pembeli kamu ini bisa disebut hidung belang, 'kan?" Mendengarnya seperti ini, Aleta jelas tidak setuju. "Nggaklah, Pak Danu bukan hidung belang!" "Trus apa?" "Dia tuh memang terlalu baik." Mata Aleta berbinar-binar ketika mengatakan pujian itu tanpa ragu-ragu, seolah-olah dia sedang memuji dewa laki-laki yang dikaguminya. Hal ini mau tak mau membuat kening Bagas mengerut. Dia mulai memikirkan lagi hubungan antara Aleta dan sang bos. Tapi sepertinya hubungan itu tidak berjalan dengan baik. "Gini aja, mau aku temenin beli baju sambil makan siang di luar?" Tanpa pikir panjang, Aleta pun setuju. Baju itu akhirnya dipakai setelah jam istirahat selesai. Untuk meyakinkan Danu, Aleta segera menunjukkan wajah di ruangan lelaki itu. Dia membawa s**u sebagai gantinya. "Saya nggak suka s**u," komentar Danu saat dia mengintip ke dalam cangkir yang dibawa Aleta. "Tapi minum kopi terus nggak baik, Pak." Aleta beralasan. "Kamu ngatur saya?" Mata Danu tidak pergi dari bundalan kertas di mejanya, sementara tangannya membolak-balik halaman untuk membubuhkan tanda tangan. "Saya cuma khawatir sama kesehatan Bapak. Karena Bapak udah baik sama saya." Telinga Danu bergerak saat dia mendengar dua kalimat itu. Dia akhirnya mendongak, hampir menyemburkan kemarahan lain, tapi alih-alih terdiam. Matanya melirik Aleta dari atas ke bawah. Aleta tiba-tiba sedikit mendekat. "Saya mau balikin kartu ini ke Bapak. Sekaligus mau berterima kasih." Danu terbatuk ringan. "Kamu beli lima setelan sekaligus?" "Ya, Pak. Masukin aja ke catatan utang saya, nanti akan saya bayar lunas semuanya, termasuk sewa apartment." Mana mungkin Danu mempermasalahkan uang itu, tapi dia tidak mau terlihat seperti orang baik. Dia berdeham lagi. "Oke, lain kali jangan ulangi kesalahan yang sama. Kalau perlu kamu harus buang parfum itu." Aleta tak percaya dia mendengar perintah aneh Danu. "Salah parfum itu apa, Pak? Dia nggak mencelakai saya." "Tapi dia mencelakai saya," kata Danu dingin, tatapannya tajam. "Parfum itu terlalu menyengat dan bisa ganggu pernapasan saya. Itu nggak nyaman." "Kalau saya ganti parfum lain?" "Kamu nggak boleh pakai parfum, bahkan make up tebal dan lipstik." Aleta tidak bisa berkata-kata, sepenuhnya linglung. "Apa kamu paham?" "Pak, kalau boleh tahu kenapa saya nggak boleh pake make up? Kalau muka saya pucet, nanti saya dikira keabisan darah, Pak!" Mendengar nada bicara Aleta yang mulai meninggi dan tidak sabaran, kemarahan Danu terpancing. Dia berdiri. "Kenapa semua harus ada alasan? Apa kamu pantas bertanya sama atasan kamu seperti ini?" Nada Danu meninggi. "Jadi kamu lebih suka pakai parfum dengan bau tajam gitu, dan bikin saya sesak napas? Kamu mau saya mati?" Aleta bingung sekaligus bengong. "Gimana maksudnya, Pak?" tanya Aleta polos. "Gimana parfum bisa bunuh orang?" "Bisa," sahut Danu keras. "Coba kamu pakai terus parfum murahan itu, kalau nggak saya sesak napas, paling saya mati. Oh, apa jangan-jangan itu tujuan kamu?" Serius? Ini Aleta yang bodoh atau Danu yang berlebihan? Ucapannya ngawur. "Trus apa hubungannya sama make up, ya, Pak?" Aleta masih belum puas. "Kamu mau ke kantor apa ke kondangan? Masih berani nanya kenapa?!" Danu tersenyum miris. "Inilah, awal mula kenapa banyak kejadian pelecehan di luar sana yang korbannya wanita, tapi semua orang menyalahkan laki-laki yang nggak bisa jaga hawa nafsu. Padahal kalau wanita bisa sedikit aja menjaga dirinya, mana ada sih laki-laki yang mau ngeganggu?" Apa maksudnya ini? Tadi soal pembunuhan, sekarang pelecehan. Apa mereka sedang menjadi orang penting yang membahas soal kejahatan di dunia ini? Aleta berdecak dengan lelah. "Ah, udahlah terserah Bapak." "Emang terserah saya, karena saya Bos di sini." Perdebatan itu rupanya hampir terdengar dari luar ruangan karena kebetulan ruangan Danu tidak kedap suara. Ditambah pintu kaca yang terbuka sedikit, semua orang yang lewat jelas melihat semua ini dan bergosip. Mereka terbagi dua kubu, satu untuk pembela Danu karena Aleta yang pembangkang, dua untuk pembela Danu karena make up tebal bisa mengundang nafsu jahat lelaki. "Sebel! Sebel! Sebel!" teriak Aleta frustasi di kamar mandi, dia membasahi tisu wajah dan mengusap wajahnya. "Nih ya, aku turutin semua mau kamu, Danu. Jangan salahin aku kalau disangka pasien kritis yang lari dari rumah sakit!" Untungnya kamar mandi itu kosong setelah Aleta memastikannya. Para pegawai saat ini sedang makan siang, dan Aleta sendiri masih harus lapor Danu setelah make up dihapus. Sial banget! "Lihat sekarang, apa kamu bakal lebih suka sama muka pucet kayak gini, Dan!" Melihat wajah pucatnya, Aleta merasa itu seperti dirinya di masa terpuruk. Melihat cermin, kemarahannya menghilang, tanpa sengaja air matanya jatuh. Aleta tidak merasa ingin menangis, dia tidak sedih sama sekali, sebaliknya dia sangat merindukan Danu yang dulu. Sebenarnya, walaupun kesal, dia senang karena ada kemajuan soal Danu yang mau bicara dengannya. Jadi dia menangis karena terlalu bersemangat. "Dia masih suka makan permen jahe ternyata. Dia masih Danu yang dulu." Aleta tertawa di tengah tangisannya. Perlahan-lahan mengusap wajahnya dengan tisu kering. "Aku mungkin bakal siapin permen jahe yang banyak." Kemudian dia berhenti ketika mengingat kalimat Danu, 'Jangan berpikir saya ngasih harapan ke kamu. Jangan mimpi kamu.' Itu adalah balasan Danu ketika Aleta iseng berterima kasih atas lemon cake yang diberikannya. Mengingat hal itu, Aleta menjadi kesal lagi dan dia menendang salah satu pintu bilik. Kemudian terdengar suara pekikan dan benda yang berdenting jatuh. "Ah, maaf? Apa ada orang di dalam?" Aleta mencoba mengetuk pintunya. 'Mampus! Kalau ada orang di dalam berarti dia denger semua omongan aku dong?!' Aleta malu setengah mati. Mana dia menyebut nama Danu frontal banget. Astaga. Tapi kalau berharap yang di dalam itu hantu, nggak mungkin juga, 'kan? "Halo, ada orang?" Aleta mencoba lagi. Hening .... Seperti jejak suara jatuh tadi tidak pernah ada. Bahkan tidak terdengar suara orang sedang bernapas dan tanda-tanda kehidupan. Aleta, entah bagaimana mulai gugup. Bulu kuduknya berdiri. Dia meneguk ludah. Mau pergi, tapi kakinya gemetar dan dia ingin menangis lagi. Masalahnya dia takut hantu beneran! "I-Ini aku, Al." Tiba-tiba terdengar suara yang familier dari dalam bilik. Aleta tertegun. "Marwa?" tanyanya. Tanpa ada jawaban, pintu terbuka lebar, dan sosok yang ada di dalamnya memang Marwa dengan kotak bekal makanan yang tercecer di lantai. tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN