1. Mantan pacar

2176 Kata
Lazuardi Senandanu sedang menyetir ketika ponselnya berdering. Pria yang akrab dipanggil Danu itu mengabaikan panggilan di ponselnya itu sejenak sampai akhirnya dering berhenti. Hari ini, seorang teman lama menghubunginya untuk meminta bantuan yang sangat mendesak. Awalnya Danu menolak, apalagi ketika penelepon itu mengatakan bahwa dia harus menjemput mantan kekasihnya di bandara pukul satu siang ini. Apa-apaan? Danu sudah lama tidak berhubungan dengan mantan kekasih yang telah dia hapus dari hidupnya itu dan kini dia harus menjemputnya? Siapa yang ingin melakukan hal sebodoh itu? Namun, Danu bisa disebut bodoh pada akhirnya. Hanya karena Arumi mengatakan bahwa ini demi hidup dan mati, dan tidak ada yang bisa dimintai tolong lagi selain dirinya, akhirnya Danu mengalah. "Sial!" umpatnya. Ponselnya berdering lagi, membuatnya kesal. Di atas panggilan tertera nama Arumi. Akhirnya dia menghela napas sebelum menerima panggilan. "Apa lagi, Arumi? Ini aku lagi jalan ke bandara." "Kamu nyetir sendiri?" Suara wanita menjawab dari seberang. "Iya, karena kamu maunya buru-buru." "Maaf, ya, Danu. Ngerepotin kamu." Arumi mendesah. "Ini tuh bener-bener urgensi." "Kamu sebenernya bisa cari orang lain, Rum. Kenapa harus aku?" Danu menarik tuas lampu sen kanan dan berbelok masuk ke pagar bandara besar. Sebagian tempat penuh dengan mobil. Di halte, setiap orang menyeret koper mereka dan masuk ke tempat check in tiket. Danu sendiri masih melaju ke tempat penjemputan. Terdengar suara letih dari telepon. "Dan, udah aku bilang, nggak ada yang bisa dimintain tolong selain kamu. Tau sendiri gimana Aleta, dia nggak punya banyak teman. Dia kalau nggak dipantau bisa kabur entah ke mana. Rumah lama udah dijual, mau ke mana dia, Dan, sendirian kayak gitu?" Begitu nama Aleta disebut lagi di tengah percakapan itu, pegangan Danu pada setirnya mengerat. "Apa Aleta bener-bener nggak jadi nikah?" "Apa kamu penasaran sekarang?" Nada Arumi tidak menggoda sama sekali. Danu tidak menjawab. Bukannya dia peduli apakah Aleta akan menikah atau tidak, dia hanya penasaran. Lama terdiam, Arumi berdecak. "Ya udah, jangan bahas itu sekarang. Yang penting cari Aleta dulu. Kamu nggak akan kebayang gimana situasi yang aku hadapin sama dia lagi sulit banget. Lihat sampe Papa tahu kami bertukar peran, dia pasti abis sama Papa." Danu tidak menjawab lagi. Kurang lebih Danu tahu bagaimana situasi menjadi seperti ini di pihak mereka. Beberapa bulan lalu, Danu mendengar bahwa Aleta akan dijodohkan oleh ayahnya dengan seorang pria berkebangsaan Turki. Semuanya baik-baik saja, Danu awalnya tidak bisa menerima dan merasakan marah dan dendam masa lalu. Namun ketika dia sudah pasrah, dia tiba-tiba menerima kabar ini; bahwa Aleta kabur di hari pernikahannya dan membuat Arumi mengambil peran. Arumi Felicita Shihab dan Aleta Felicia Shihab adalah saudara kembar identik yang telah dikenalnya sejak kecil. Mereka sangat dekat karena rumah mereka berdampingan di masa lalu, sampai akhirnya Danu pindah setelah ibunya meninggal. Sebelum kepergiannya, Aleta pernah menjadi kekasihnya. Saat itu Aleta merupakan adik kelasnya di SMA. Hubungan mereka sebenarnya berjalan cukup baik selama setengah tahun. Entah bagaimana hubungan itu tiba-tiba kandas tanpa ada kata putus secara pasti karena wanita itu tidak mengabarinya setelah mereka melakukan hubungan jarak jauh. Sudah lima belas tahun sejak saat itu. Danu tidak tahu bagaimana kabar Aleta, tiba-tiba hanya mendengar kabarnya akan menikah. Dia telah menganggap Aleta bukan bagian dari kisah hidupnya. Yang semakin dia coba lupa, semakin pikirannya jatuh pada wanita itu. Semenjak hubungannya dengan Aleta menggantung belasan tahun, tidak tahu mengapa Danu mendapat kutukan cinta. Hubungannya dengan kekasih-kekasihnya tidak pernah bertahan lebih dari dua bulan. Lalu di saat dia terpuruk seperti itu, dia akan mengingat kembali Aleta dan kebencian mulai muncul di hatinya. Dia bahkan trauma untuk jatuh cinta lagi. Danu pikir kutukan cinta itu telah hilang setelah sekian lama, bahkan setelah dia mencoba untuk menggapai wanita pujaan terakhirnya, dia bahkan ditolak sebelum berjuang. Seolah-olah ada benang takdir yang menariknya ke arah lain. "Trus kamu nggak masalah gantiin peran dia?" "Thanks udah nanya, Dan. Aku nggak masalah sama sekali dengan ini, aku yakin cinta bisa datang karena terbiasa." Arumi terkekeh pelan, yang sepertinya terpaksa. "Soal masalah kamu sama Aleta, bisa 'kan kamu maafin dia?" Pandangan Danu menjadi dingin. "Aku hanya harus bantu dia cari rumah untuk tetap tinggal, 'kan?" "Hm, ya." "Aku cuma bisa ngelakuin itu." Lalu, sambungan terputus. Sembari menahan perasaan enggan, Danu berjalan dengan langkah tegap menuju pintu masuk Bandara Internasional. Setelah mengecek lokasi peta bandara, dia segera menuju ke bagian Arrival Lobby sambil menenteng sebuah papan nama. Lokasi sudah penuh sesak dengan para keluarga yang akan menjemput saudara mereka yang tiba. Jadi, karena Danu tidak terlalu suka keramaian, dia menyingkir di sudut seorang diri. Ini sebenarnya bukan weekend, dan bagi seorang petinggi atasan yang sibuk seperti Danu, dia tidak punya waktu seluang itu untuk mengurusi hal yang lain. Untungnya ketika dia meminta izin untuk urusan mendadak, tidak ada yang mencegahnya. Danu sudah 31 di tahun ini, usia yang sudah cukup untuk menikah. Kalau dipikir-pikir, berarti Aleta berusia 29 tahun. Ah, Danu mengacak rambutnya begitu mengingat Aleta. Danu bersumpah bahwa dia tidak akan berhubungan lagi dengan mantan kekasihnya itu. Tidak setelah apa yang dia alami lima belas tahun ini. Bahkan jika dia berdiri di sini sekarang menawarkan bantuan, itu hanya karena Arumi memintanya. Danu menghela napas. Penantiannya berakhir ketika dia melihat seseorang di kejauhan. Jarak mereka cukup jauh dan Danu tidak bisa melihat jelas wajahnya. Tapi di sekitarnya tidak ada siapa pun selain dirinya, punggungnya langsung menegak. Untuk memastikan lagi, Danu melambaikan papannya, wanita itu terus berlari. Pakaiannya mencolok berupa jaket tebal berwarna marun, dan celana ketat hijaunya, di kepalanya terpasang topi rajut miring, juga kacamata hitam besar. Itu jelas Aleta ... mantan kekasihnya lima belas tahun lalu. Untuk sesaat Danu mematung di tempatnya berdiri. Saat pihak lain akan lewat di depannya, Danu maju, tapi bahkan dia hanya dianggap angin lalu dan dia dilewati begitu saja. "Ah?" Danu linglung. Kepalanya menoleh ke belakang untuk melihat sosok Aleta yang barusan dia lihat, kabur tergesa-gesa ke arah pintu keluar. "Al? Aleta?!" Tentu saja, Aleta tidak mendengarnya. Danu mengumpat kecil, membuang papan namanya ke tempat sampah dan menyusul Aleta. Sayang sekali area kedatangan penuh dengan penumpang pesawat dan anggota keluarga yang menjemput. Danu dengan tubuh ramping dan tinggi menyelinap di antara orang-orang, mengucapkan kata 'permisi' yang rendah. Dari balik tembok, dia akhirnya melihat sosok baju yang sama yang dipakai Aleta, masuk ke area khusus merokok. "Kenapa dia lari, sih?" umpatnya lagi. Danu tidak berhenti sampai dia tiba di area merokok, tapi dia belum sempat masuk, seseorang dari dalam menabraknya dengan kuat. Karena Danu tinggi, dia bisa menjaga tubuhnya tetap stabil. Seseorang yang menabraknya jatuh ke depan. Tangan Danu segera terulur menangkap pinggangnya. "Maaf, maaf, saya buru-buru," kata orang itu. Tetapi saat dia mendongak, Danu sudah membeku dan tiba-tiba saja dia merasakan cengkeraman di pinggangnya menguat. Punggung kecil di hadapannya, masih ramping meski dalam balutan jaket. Dari wajahnya yang bingung dan letih, ada rasa sedikit nostalgia yang tak terkatakan. Inilah Aleta, mantan kecilnya di masa lalu, dengan perubahan wajah yang agak dewasa dan adil. Akan tetapi lekuk hidung mancung wanita blasteran Arab itu, masih sama. "Danu?" Danu tersadar, melepaskannya dan mundur memberi jarak. Lalu berkata, "Bandara bukan tempat buat lari-larian." Aleta meringis. Dia tahu bahwa itu Danu dalam sekali pandang dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Setelah sekian lama berlalu, dia mendengar suara ini telah berubah lebih berat dan dia merasa tertekan. "Aku takut ketemu orang-orang Papa." Kali ini kening Danu berkerut. "Apa Om Adiyaksa udah tau kamu kabur dari pernikahan?" Aleta bingung darimana Danu tahu hal itu. tapi kemudian dia mengangguk. "Kenapa Arumi bilang kalau Papa kamu belum tau?" "Arumi?" "Kalau gitu, ayo, pergi. Aku bakal cariin tempat tinggal buat kamu." Tanpa menghiraukan kebingungan Aleta, Danu mengambil alih koper dan berjalan menuju tempat parkir. Aleta masih tidak mencerna situasi, tapi dia seger mengejar Danu. "Tunggu dulu. Jadi kamu ada di sini karena jemput aku?" Danu, "..." "Danu, aku beneran nggak tau kalau kamu yang bakal jemput. Siapa yang kasih tau kamu kalau aku pulang ke Indonesia hari ini? Arumi?" Aleta tak berhenti bertanya. Danu tentu saja tetap berjalan dan tidak menjawab. Aleta menarik kopernya. "Entah siapa pun yang nyuruh kamu jemput aku, terima kasih. Tapi nggak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri." Akhirnya Danu berhenti setelah koper terlepas dari tangannya. Dia berbalik untuk melihat Aleta pergi ke arah lain, dia mengejar dan menarik lagi kopernya. "Ikut aku." Koper berpindah tangan lagi. "Nggak mau! Aku bilang aku bisa sendiri!" Aleta berusaha menarik kopernya lagi, tapi kali ini gagal. "Please, Danu, jangan ikut campur! Kita nggak ada hubungan apa pun lagi." Baru setelah kata-kata ini keluar, Danu berhenti dan berbalik. "Arumi yang nyuruh aku untuk bantu kamu. Dia juga yang nyerahin kamu sepenuhnya ke aku, jadi aku bakal bertanggungjawab sampai urusanku selesai. Kalau mau protes, silakan protes sama Arumi." Aleta meradang. "Emangnya aku barang, main serah-serahin gitu aja? Nggak apa-apa, aku bakal bilang sama Arumi kalau kamu bertanggungjawab banget udah nolong. Sekarang kita pisah di sini." Aleta tak bisa lagi melihat Danu, jika dia melakukannya, dia hanya akan goyah. Sedikit banyak Aleta masih merasa bersalah dengan insiden di masa lalu. Selama lima belas tahun ini, meskipun dia telah memiliki pacar lain, dia tetap memikirkan Danu dan kesalahan yang dibuatnya dulu. Setelah mengingat Danu, dia punya kebiasaan memandangi foto lama Danu semasa sekolah yang masih disimpannya. Koper yang ditarik Aleta, ditarik lagi oleh Danu. Aleta yang tak mau kalah menariknya kembali dengan paksa, begitu juga Danu, sampai akhirnya mereka saling tarik menarik dengan emosi. Danu menarik dengan kekuatan lebih besar. "Ikut aku, jangan bikin masalah jadi runyam." "Kamu yang bikin jadi runyam, Dan! Tunggu! Kamu mau bawa aku ke mana?" tanya Aleta cepat-cepat, mengikuti Danu sampai ke mobil. Dulu, Danu adalah lelaki yang baik dan lembut. Melihatnya kasar, pemaksa dan dingin seperti ini, Aleta tidak mengenalnya lagi. Dia merasa sedih dan kehilangan. "Hotel atau apartemen. Pilih." Danu membuka pintu dan mendorong Aleta masuk. Kemudian dia masuk ke pintu yang lain. Sambil memasang seatbelt dia berkata, "HP kamu mati. Kabarin Arumi pake HP ini." Aleta hanya terdiam melihat ponsel yang diberikan Danu. Dia mencari nomor Arumi dan melihat panggilan terakhir yang masuk dari saudara kembarnya itu. Walaupun Danu tidak meliriknya sama sekali, dan hampir tidak mau peduli, dia masih bertanya, "Hotel atau apartemen?" Sambil mengetik pesan di ponsel Danu, Aleta berpikir; kartu kreditnya sudah diblokir oleh sang ayah, yang tersisa hanya uang di kartu debitnya saja, jika dia memilih hotel, mungkin dia tidak akan bisa hidup lama sampai kehabisan uang. Kalau dia memilih apartemen, itu juga butuh biaya besar, uangnya akan segera habis bahkan hanya untuk menyewa. "Hotel," katanya. Danu mendengar nada letih itu dan mati-matian tidak menoleh. Suara itu, suara yang kecil dan tinggi, seperti melempar Danu ke masa sekolah. Di mana Aleta menembaknya dan memintanya untuk berpacaran. Gadis kecil yang dulu sangat imut dan menggemaskan, semua yang telah terjadi membuat gambaran lucu tentang Aleta hancur lebur. Setengah jam berikutnya, Danu membawa Aleta ke sebuah hotel bintang lima yang punya gedung tinggi. Entah berapa lantai yang ada di atasnya, karena ketika Aleta melihat ke atas, dia tidak menemukan atap gedung. "Satu kamar." Danu mengetuk meja resepsionis, tidak melirik Aleta sama sekali. Petugas resepsionis melihat Danu tidak sendirian dan bertanya, "Double room? Kebetulan di hotel ini sedang ada diskon untuk kamar Double room dan Suit room untuk pasangan suami istri yang baru menikah sebulan lalu." Mendengar kata menikah, rahang Danu mengeras. "Standard room aja. Kami bukan suami istri." Aleta mendahuluinya menjawab. "Oh, maafkan saya. Ini kartu kamarnya, boleh saya lihat kartu identitasnya?" Aleta menarik dompet kecil dari tas tangannya dan menarik kartu identitas. Begitu dia melihat list harga, dia agak kaget, itu lumayan tinggi untuk satu kamar. Sepertinya hotel yang dipilih Danu benar-benar bergengsi. Setelah resepsionis menyebutkan harga, Aleta baru akan mengeluarkan kartu debitnya, tapi dia tidak menemukannya di mana pun. Danu melihatnya kewalahan berdecak, mengambil kartunya sendiri. "Pakai ini, Mbak. Check in tujuh hari," kata Danu. Aleta terkejut, masih mencari kartunya sambil mencegah. "Tunggu, aku bisa bayar sendiri." Resepsionis itu menunggu, tapi Danu memberinya isyarat untuk memakai kartunya segera dan petugas itu mengerti. Setelah p********n dan nota keluar, Danu mengambil kartunya dengan tergesa-gesa. Aleta sendiri masih sibuk mencari kartu debitnya. "Duh, ke mana coba? Masa ilang," gerutu Aleta. "Aku udah bayarin kamu untuk seminggu. Nggak perlu diganti dan aku akan pergi sekarang." Danu baru saja berbalik, tapi Aleta menarik tangannya. "Apalagi? Kamu nggak berpikir aku bakal bantuin angkat koper kamu lagi, 'kan?" Jujur saja, dia benci sifat Danu yang begini. "Bukan itu, biar aku ganti uangnya, aku nggak mau berutang." "... Ya udah, mana?" "Aku cari dulu bentar." Aleta masih mencari lagi, Danu yang merasa tidak punya kesabaran lebih, mendesah. "Udah, Al, masalah uang segitu bisa kamu bayar kapan pun. Ada yang namanya e-money di dunia ini. Aku nggak seluang itu untuk nungguin kamu ngebongkar semua isi tas." "Tapi, kartu itu tadi ada di—" "Udah, cukup." Tangan Danu terangkat, mengisyaratkannya diam. Wajahnya sangat dingin. "Selamat tinggal." Dan begitu saja, Danu pergi ke luar pintu lobi. Pergerakan Aleta berhenti total, seperti dunianya yang juga berhenti. Setelah sekian lama tidak bertemu, Aleta punya keinginan untuk meminta maaf pada Danu dan menjelaskan semuanya, tapi dia rasa itu mustahil. Danu pasti telah membencinya sepenuh hati. Dengan begini, hati Aleta merasa tidak nyaman dan dia hanya bisa tersenyum pahit. tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN